Surat Terakhir TKW Madura, Zaenab
'Ingin Cepat Pulang, Rindu Anak-anak'
Ny Milah (60), sangat terpukul mendengar kabar anaknya Zaenab, TKW asal Desa Martajasah, Kec. Bangkalan, yang diancam hukuman mati karena diduga membunuh istri majikannya di Madinah, Arab Saudi.
Setiap ingat anak perempuannya itu, dia selalu menangis. Bagaimana tak sedih, keadaan anak bungsu dari tujuh bersaudara yang menjadi tumpuan hidup keluarga ini tidak jelas.
Apa dia sekarang sedang menjalani proses pengadilan atas kasusnya, atau dia sudah dijatuhi vonis bersalah, dan telah dilaksanakan hukumannya atau belum, tidak ada yang bisa memberikan informasi sebenarnya.
Kesedihan Ny Milah bertambah, manakala melihat dua cucunya, Syafiuddin (7), siswa Kelas 1 SDN Martajasah, dan adiknya Ali Ridho (5), anak dari Zaenab.
Dua anak itu hasil perkawinan Zaenab dengan suaminya Usman (35), asal Sulawesi, saat sama-sama menjadi TKI di Malaysia 8 tahun lalu. Zaenab pulang dari Malaysia saat hamil lima bulan anak keduanya. Dan kemudian cerai dari suaminya yang belum pernah dikenal ibu dan keluarga di Madura.
"Anaknya selalu menanyakan, kapan ibunya akan pulang. Mereka sudah rindu hampir dua tahun tidak pernah ketemu," kata janda itu sambil menangis terisak-isak, saat ditemui di rumahnya, Kamis (9/3) siang.
Sebenarnya ibunya telah menasihati Zaenab agar berpikir lagi menjadi TKW di Arab Saudi, karena pernah gagal saat di Malaysia selama tiga tahun. Namun Zaenab yang sekolah hanya kelas V SDN Martajasah ini, tetap bersikeras berangkat menjadi TKW resmi.
Dua tahun lalu, 7 Maret 1998 melalui PJTKI Panca Banyu Ajisakti, Jakarta, berangkat dengan tujuan Madinah, Arab Saudi. Dia menjadi PRT (pembantu rumah tangga) dengan majikan Abdullah Muhsin Al Ahmadi.
"Dia mengatakan tetap ingin berjuang mengubah nasib dari kehidupan yang kekurangan ini. Apalagi saya mempunyai dua anak, dari mana mendapatkan biaya hidup, kalau tidak menjadi TKW," ujar ibunya menirukan alasan Zaenab bekerja di Arab.
Dikisahkan, pada mulanya kiriman uang dari Zaenab di Madinah, lancar-lancar. Pada 10 bulan (awal 1999) pertama bekerja, dia mulai mengirim uang sebesar 750 dollar AS. Enam bulan berikutnya dia mengirim lagi 950 dollar.
"Kiriman itu dipergunakan keperluan hidup ibu dan dua anaknya yang masih kecil, dan sebagin sisanya ditabung di bank. Bahkan dia berkeinginan akan memperbaiki rumah ini agar lebih bagus," kata Ny Milah.
Selain uang Zaenab setiap bulan selalu berkirim surat ke Bangkalan. Dalam suratnya dia selalu minta pada ibu dan pamannya Hatib (50), agar berkirim surat setiap dua minggu sekali atau sebulan sekali. Alasannya, dia selalu rindu dengan pesan ibunya melalui tulisan. Begitu pula ingin mengetahui kabar dua anaknya dan saudara lainnya.
Seperti surat terakhir yang diterima ibunya tertanggal 2 September 1999. Surat dengan tulisan tangan Zaenab di tiga lembar kertas bolak-balik.
Isi tulisan tentang kejengkelannya terhadap istri dan anak laki-laki majikannya. Juga semacam isyarat akan adanya persoalan di kemudian hari antara Zaenab dengan keluarga majikannya.
Bahwa surat-surat dari keluarganya di Madura banyak yang tidak sampai kepadanya karena sering dibuang ke sampah oleh majikan perempuan atau anak laki-lakinya. "Ini semua ulah majikan perempuan dan anak laki-lakinya. Dia juga jahat. Padahal dulu mereka baik, sekarang melebihi serigala," tulis surat Zaenab.
Tetapi ibu dan paman diminta jangan khawatir. Karena isfih (Zaenab menyebut dirinya dalam tulisan), tidak tinggal diam, akan melaporkan ke polisi.
Karena tidak kerasan dengan perlakuannya ini, Zaenab meminta doa ibu dan pamannya dari jauh, agar tabah. Dia berharap kontraknya selama dua tahun segera berakhir, untuk bisa berkumpul dengan keluarganya.
Dia juga berpesan untuk dua anaknya agar tidak sampai kelaparan. Jika meminta uang jajan, agar mengambilkan uangnya yang disimpan di bank. Ibunya diminta supaya mengawasi, yang tertua sudah mulai sekolah. "Kasihan kalau tidak diawasi, mereka tidak ada ayahnya. Tolong ibu dan paman yang menggantikan saya dan ayahnya," ujarnya memelas.
Dia juga tidak lupa, tentang ukuran sepatu dua anaknya. Pesanan pamannya berupa arloji, soal membeli emas apa dibelikan di Arab Saudi. Sebab dia berencana akan pulang setelah Lebaran Idul Adha (atau akhir Maret 2000). Malah dia akan mengirim uang 10 hari sebelum puasa lalu, untuk Lebaran orangtua dan anaknya di Madura.
"Tetapi bulan puasa lalu dia tidak berkirim uang seperti dalam suratnya, juga tidak ada surat lagi darinya sejak surat terakhir enam bulan lalu. Malah kami mendapat kabar dia ada masalah," kata ibunya.
Kabar itu dia terima dari Maksum, tetangga Zaenab yang pulang menjelang puasa sebagai TKI di Arab Saudi. Maksum mendapat informasi kalau ada TKW bernama Zaenab, meninggal dunia.
Sejak saat itu keluarganya di Madura kebingungan. Langsung mencari informasi ke PJTKI PT Panca Banyu Ajisakti, di Jakarta, awal Februari 2000. Ditelepon ke rumah juragannya di Madinah, kalau Zaenab ditahan polisi, tanpa diberi tahu alasannya.
Beberapa hari kemudian Hatip, menghubungi KBRI Arab Saudi, didapat kabar Zaenab diduga membunuh istri juragannya dengan menyiram air panas di dapur, dan menusuknya dengan pisau. "Sejak saat itu sampai sekarang tidak ada kabar beritanya. Bagaimana nasib anak saya itu, tidak jelas. Harus ke mana saya meminta penjelasan," ujar ibu Milah menangis. (Kasiono)
|