back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Jumat 03 September 1999 |
Radar Madura |
Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan
Seni Ukirnya Tak Kalah dengan Jepara Ukiran kayu dari Desa Karduluk mempunyai warna-warni yang meriah dan menyolok, itu tak lain adalah warna khas masyarakat Madura yang terbuka dan dinamis. Namun, ada perbedaan menyolok antara gaya seni ukir Jepara Jawa Tengah dengan yang disajikan para pengukir tradisional di Desa Karduluk Kecamatan Pragaan Sumenep. Sekali pun secara legenda ada kesamaan bertumbuhnya karya seni ukir di Jepara dan Sumenep, tapi penampilan hasil kayu ukir kayu seniman ukir kedua daerah ini berbeda karakter dan gayanya. Jika seni ukir Jepara sering dilukiskan suatu karya ukir yang sangat halus disapu warna coklat muda atau asam dengan bantuan plitur, tapi seni ukir Karduluk tidak hanya mengandalkan bantuan bahan plitur tetapi juga memakai cat kayu. Tidak terlalu banyak warna yang dipakai oleh para seniman ukir Karduluk untuk mewarnai hasil karyanya. Warna yang paling dominan terdiri dari tiga warna saja, yaitu warna merah, kuning dan hijau. Pak Zarnuji Basri, salah seorang pengukir di Desa Karduluk mengungkapkan bahwa seni ukir merupakan kelanjutan tradisi yang diwarisi dari nenek moyangnya. ''Kami saja merupakan generasi keempat yang sudah menekuni tradisi seni ukir,'' katanya sambil menolak bahwa karya seni ukir Karduluk kalah kelasnya dibandingkan seni ukir Jepara. Kejayaan seni ukir Madura di masa lalu dapat dilihat di Asta Tinggi tempat makam raja-raja Sumenep yang dipenuhi dengan seni ukir dengan tema naga bersayap dan kuda terbang. Karya serupa juga dapat disaksikan di Keraton Sumenep serta bangunan Masjid Agung Sumenep. Mengenai berkembangnya seni ukir di Desa Karduluk, berdasarkan legenda berawal dari kisah tokoh sakti Madura bernama Sungging Mangkoro. Dengan kesaktiannya Sungging Mangkoro memainkan layang-layang yang tanpa terputus benangnya serta mampu terbang melawan angin. Layang-layang Sungging Mangkoro konon sampai ke Bali dan Jepara. Sedangkan benangnya terurai di Desa Karduluk, bahkan terus ke negeri Cina. Dari cerita rakyat ini diyakini bahwa seni ukir Karduluk merupakan hasil kesaktian Sungging Mangkoro. Ukiran Karduluk bermacam-macam, mulai dari sangkar ayam bekisar sampai ornamen tempat tidur yang pernah dipakai raja-raja Sumenep, akuarium, kotak beras, kursi tamu, almari, pemisah ruangan, cindera mata, tempat mainan anak-anak, pigura serta berbagai bentuk ukiran sesuai dengan pesanan. Para pengrajin Karduluk beranggotakan 40 Pengusaha seni ukir dengan memperkejakan sebanyak 6000 seniman ukir yang berasal dari warga setempat. Kebanyakan diantaranya anak-anak usia sekolah. Bahkan tempat ini menjadi arena magang bagi anak-anak SD yang ingin belajar mengukir. Seniman ukir Karduluk yang bekerja pada pengusaha, rata-rata mendapat upah 10 ribu sehari. Upah ini termasuk tinggi untuk kawasan Madura, sebab para era krisis moneter ini upah buruh harian berkisar 8 ribu. Bahan baku ukian Karduluk umumnya kayu jati. Hanya sebagian kecil memakai kayu lainnya. Kayu jati didapat dari para pemilik kayu didesa-desa atau kalau perlu jumlah yang besar, biasanya ikut lelang kayu jati yang digelar pihak perhutani. Hanya, harga kayu jati yang sekarang mencapai jutaan rupiah perkubik menjadi kendala tersendiri bagi pengusaha ukiran kayu Desa Karduluk. ''Bagaimana kami bisa menjual ukiran kayu dengan harga layak, jika harga kayu jati sekarang sangat tinggi'', kata H. Murawi tak habis pikir bagaimana dapat mengelola usahanya, padahal jumlah pembeli berkurang sedangkan harga bahan baku meningkat. Istilah mereka, kondisi sekarang bagai makan buah simalakama. ''Ya kami kasihan pada para pengrajin, biar untung sedikit yang penting tidak ada PHK,'' katanya sambil memohon bantuan pemerintah tentang sulitnya mencari bahan baku dengan harga terjangkau. Tampaknya para pengrajin ukiran kayu ini perlu juga dilatih untuk memanfaatkan kayu jati dengan optimal. Misalnya, untuk dibuat souvenir kecil-kecil khas Madura yang dapat dijual ke wisatawan. Memang perlu ada beberapa terobosan untuk membantu kelangsungan para pengukir tradisional ini. Ini tentu saja bukan tanggung jawab instansi terkait semata, tapi harus lintas sektoral agar masalahnya dapat dikerjakan dengan menyeluruh. Masalah ini selain terkait bahan baku, juga menyangkut kualitas sumberdaya manusia setempat. Jika para pengusaha dan seniman ukir Karduluk telah berpendidikan dengan baik, maka kemandirian dan kreativitas akan berkembang dengan sendirinya. Apalagi dengan akan diberlakukannya otonomi daerah. Tentu saja, peluang seni ukiran Karduluk untuk masa mendatang sangat prospektif untuk diperkenalkan ke manca negara. (rasul junaidy) |