Teknisi Lokal Belum Mampu Perbaiki Kabel Laut: Jaringan Bawah Laut Jawa-Bali Perlu Diwaspadai
Surabaya - Surabaya Post
Perbaikan jaringan listrik bawah laut Jawa-Madura yang putus diperkirakan akan memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya. Alasannya, teknisi lokal belum mampu mengerjakannya karena keterbatasan peralatan yang dimiliki.
Demikian diungkapkan Ir Syariffuddin Mahmud Syah M.Eng, Kepala Laboratorium Tegangan Tinggi Jurusan Teknik Elektro ITS, Jumat (26/2) pagi tadi. Ia dimintai komentarnya tentang putusnya jaringan listrik bawah laut yang terjadi sejak Jumat sore pekan lalu.
Karena itu, katanya, sepenuhnya tergantung dari political will pemerintah, mau cepat atau tidak untuk mengatasi kegelapan yang menimpa masyarakat Madura saat ini.
Dikatakannya, untuk memperbaiki putusnya jaringan kabel bawah laut sangat beda dengan pengerjaan penyambungan kembali kabel di udara. Jika kabel udara bisa disambung secara langsung, kabel bawah laut kalau putus kemungkinan besar harus diganti semuanya.
"Setelah kabel bawah laut itu putus, kemungkinan kemasukan air sangat besar, dan itu berarti harus diganti secara menyeluruh. Tak bisa dilakukan perbaikan tambal sulam seperti menyambung putusnya kabel di udara," katanya.
Karena itu pula, duga Syariffuddin, kenapa dua jaringan kabel bawah laut yang rusak sebelumnya juga tak diperbaiki tapi dibiarkan begitu saja oleh PLN.
Berkaitan putusnya kabel Jawa-Madura, mantan Dekan Fakultas Teknologi Industri ITS ini mengingatkan perlunya mewaspadai jaringan serupa yang menghubungkan Jawa-Bali.
"Jaringan kabel bawah laut Jawa-Bali itu, kalau tidak salah, juga ada tiga saluran. Dua di antaranya juga sudah tak berfungsi, sehingga kalau mengalami gangguan bisa fatal akibatnya," katanya.
Ditanya kenapa PLN lebih memilih teknologi kabel bawah laut ketimbang di udara, Syariffuddin mengatakan, sebenarnya ITS pernah mengusulkan untuk menggunakan jaringan kabel udara. Tapi saat itu dijawab, itu bisa dilakukan setelah ada Jembatan Surabaya-Madura. Dan untuk mengantisipasi itu, maka dipilihlah jaringan bawah laut yang sebenarnya mempunyai usia ekonomis 15 tahun.
"Pertimbangan itulah yang kemungkinan kenapa PLN memilih jaringan kabel bawah laut, meski sebenarnya secara teknis kita belum mampu untuk melakukannya," katanya.
Lebih Mahal Ditanya upaya yang diambil pihak PLN dengan mendatangkan genset untuk memulihkan keadaan Madura yang gelap, Syariffuddin menilai, harga listrik yang dihasilkannya akan jauh lebih mahal ketimbang yang dipasok selama ini lewat kabel bawah laut.
Seperti diberitakan kemarin, pemerintah akan mendatangkan genset-genset dari Jawa, yang kapasitas seluruhnya 13 megawatt. Kebutuhan di pulau itu 73 MW, tiga megawatt (bukan 13 MW. Red) dipenuhi dari PLTD setempat, sisanya dari Jawa.
"Dalam hitungan bisnis, upaya PLN untuk mendatangkan genset ke Madura saat ini memang baik, tapi harganya jadi jauh lebih mahal sekitar 20% dari biasanya," katanya.
Karena itu, katanya, sudah saatnya untuk memikirkan membangun pembangkit listrik di Madura dengan teknologi PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang bahan bakarnya dipasok dari gas alam yang memang melimpah di Kabupaten Sumenep.
"Persoalannya, sering ketika untuk membangun fasilitas pembangkit itu, pertimbangannya pada seberapa banyak industri yang akan mengkonsumsi. Sementara industri di Madura masih sangat terbatas," katanya.
Sekarang, tambahnya, pola pikir semacam itu harus diubah, sehingga yang terjadi dengan membangun pembangkit di Madura, pulau itu akan menjadi lebih hidup dan industri bisa tumbuh di sana. Soal listriknya berlebih, bisa disalurkan memasok Jawa.
Alternatif lain, katanya, mulai direncanakan untuk memasok listrik ke Madura dengan membangun jaringan di udara tanpa harus menunggu terwujudnya Jembatan Surabaya-Madura.
"Alternatif ini meski pada awalnya jauh lebih mahal, tapi dalam jangka panjang relatif lebih murah, termasuk jika misalnya jaringan udara itu putus," katanya. (kem)