Sepercik Puisi KH As'ad Syamsul Arifin
D. Zawawi Imron
Awal November 1996, saya diundang untuk mengisi
dialog di Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo. Pengasuh pesantren,
KHR Fawaid As'ad, memberi saya sebuah buku sastra karangan ayahnya, KHR As'ad
Syamsul Arifin. Judul kitab itu Syi'ir Madura, ditulis dalam bahasa Madura
huruf Arab.
Kiai As'ad adalah seorang ulama sekaligus
patriot bangsa. Salah satu gebrakannya, bersama Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), KH Ahmad
Sidiq, dan beberapa tokoh lainnya, dengan bertempat di Pesantren Sukorejo pada 1984 ialah
mengembalikan Nahdlatul Ulama (NU) ke "Khitthah 1926". Khitthah itu
mencanangkan NU tidak lagi berada dalam fusi empat partai Islam yang berbentuk Partai
Persatuan Pembangunan.
Selain itu, Kiai As'ad pernah menjadi anggota
Konstituante pada 1950-an. Dengan demikian, selain ulama, ia seorang politikus yang
disegani dan dekat dengan Bung Karno. Kepeduliannya kepada kehidupan sosial umat terbukti
dengan keterbukaannya untuk menerima nilai-nilai baru yang dianggapnya positif. Meskipun
pesantrennya diberi label "salafiyah", cara kiai membaca gejala dan
mendeteksi keadaan sudah cukup maju. Adopsi terhadap pendidikan modern dengan diadakannya
pendidikan kejuruan dan perguruan tinggi di pesantrennya telah dirintisnya sebelum dia
wafat. Hal itu menunjukkan atensinya yang kuat untuk membentuk generasi penerus yang
berkualitas pada zaman mendatang.
Waktu senggangnya di sela-sela mengurusi umat dan
pesantrennya masih disempatkannya melihat kehidupan dari sudut pandang afektif. Itu
dibuktikan dengan puisi-puisi yang telah ditulisnya.
Sastra pesantren dulunya merupakan perpanjangan dari
sastra Islam yang pada asalnya menggunakan bahasa Arab. Tak heran kalau bentuk puisi Kiai
As'ad yang berbahasa Madura masih dalam bentuk konvensional seperti puisi
penyair-penyair Islam sebelumnya.
Salah satu keuntungan menulis dengan pola
konvensional ialah tersedianya ragam lagu yang sudah menjadi irama keseharian dalam
senandung khas masyarakat yang pernah meneguk ilmu di pesantren. Sedangkan dalam
masyarakat Madura tradisional, denyut pesantren merupakan bagian utama dari denyut
jantungnya. Pada kenyataannya, syi'ir (puisi-puisi pesantren) yang ditulis
generasi sesudah Kiai As'ad, misalnya, oleh KH Abdul Madjid Tamim dari Pamekasan,
sampai sekarang masih disenandungkan putra-putri Madura yang tinggal di pedesaan. Irama
itu terasa sangat padu dengan desir angin agraris yang mengusik-usik pucuk-pucul siwalan,
dengan langkah kuda beban yang sedang mendaki punggung bukit kapur, serta dengan suasana
hati penyabit rumput di sudut-sudut ladang pada pertengahan kemarau.
Bahkan, sejak 1970-an ketika lagu-lagu mulai
dikasetkan, syi'ir-syi'ir pesantren itu banyak juga yang masuk dapur
rekaman dan laris di pasaran. Salah seorang pelantun syi'ir itu ialah R. Moh.
Aminollah.
Syi'ir atau puisi Kiai As'ad banyak
bertema tata krama kehidupan (akhlaqul karimah) yang mengimbau kesejukan dan
kedamaian hidup dengan landasan nilai-nilai profetik. Artinya, kalau mau hidup damai
sejahtera, bertauladanlah kepada peri hidup Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, ada hal yang cukup mengejutkan apabila
merenungkan beberapa bait puisinya yang seperti menyoroti secara tajam situasi menjelang
sampai era reformasi yang sedang bergulir ini. Padahal, puisi itu ditulis Kiai As'ad
Syamsul Arifin lebih dari 30 tahun yang lalu. Kita perhatikan bait di bawah ini:
Zaman samangken raja fitnana
Rakyat sadaja padha sossana
Politik tenggi sulit jalanna
Sanget rumitta raja cobana
Terjemahan bebasnya: Zaman sekarang besarlah
fitnah/Seluruh rakyat tertimpa susah/Politik elite melangkah sulit/Besar cobaan rumit
berkelit/. Gambaran situasi seperti itu, tampaknya, terasa sangat aktual bila
memperhatikan situasi Indonesia akhir-akhir ini. Pergumulan elite politik yang disorot
dalam puisi itu, agaknya, tepat sekali dikaitkan dengan fitnah yang berupa kerusuhan dan
kekerasan, hujat-menghujat, dan lain-lain. Sekaligus dengan ketakutan dan keprihatinan
sebagian besar masyarakat kita. Dalam bait tersebut Kiai As'ad bukan hanya
menggambarkan situasi, lebih dari itu, memperingatkan dengan penuh kesungguhan.
Bahkan, pada bait selanjutnya ia memberikan sejenis
tanda bahaya:
Dhalem bahaya sala laguna
Dha' ekonomi sanget jatuna
Tambana ra'yat sanget bannya'na
Jumlana ningkat korang rizqina
Terjemahan bebasnya: Dalam bahaya oleh salah
tingkah/Ekonomi pun terpuruk parah/Semakin banyak penduduk negeri/Jumlahnya meningkat
kurang rezeki/. Akibat rumitnya situasi dan pergumulan politik itu, krisis ekonomi
menjadi penyakit yang sulit disembuhkan. Di samping itu, pertambahan penduduk dengan
"rezeki kurang" benar-benar menjadi kenyataan sehari-hari dengan
sulitnya sembilan bahan pokok (sembako) yang membuat semakin banyak orang miskin dengan
penderitaan yang hampir sempurna.
Menghadapi hal seperti itu, Kiai As'ad bukannya
tidak mempunyai advis. Solusi terhadap persoalan yang rumit itu ia berikan dalam bait di
bawah ini:
Wajib nambai hasel bumena
Wajib majuna dagang bahanna
Sossana kaula tadha' elmona
Nyo'on dha' Allah bellas morana
Terjemahan bebasnya: Wajib tingkatkan hasil
bumi/Wajib tingkatkan ekonomi/Repotnya ilmu minus sekali/Ya Allah, murahilah kami/. Dalam
bait di atas ada beberapa cara yang diadviskan Pak Kiai untuk mengatasi krisis.
Yang
pertama, meningkatkan hasil bumi. Bila dirujuk dengan Alquran, terutama dengan
penjelasan Allah SWT yang berbunyi: Huwa ansya-akum minal ardli wasta'marakum
fiihaa (Surat Hud: 61), Ia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi, dan kamu punya
tugas memakmurkan bumi.
Jelas bahwa memakmurkan bumi "termasuk tanah
air" adalah perintah Allah. Etos itu tak lain adalah menyelaraskan diri
"kemampuan daya insani" dengan alam, serta dengan irama ajaran Allah. Termasuk
juga upaya teknologi pertanian, perkebunan, dan pelestarian hutan merupakan upaya
menyelamatkan manusia, dalam tugas manusia sebagai "khalifah".
Yang kedua, meningkatkan perniagaan dan
perekonomian sehingga rezeki Allah bisa dinikmati seluruh rakyat. Berarti, peningkatan
ekonomi tanpa melihat kepentingan masyarakat bawah tidak akan menyelesaikan masalah.
Yang
ketiga, menyadari kurangnya "ilmu pengetahuan/teknologi", agar
ada usaha-usaha memajukan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan bangsa sesuai dengan
tuntutan zaman. Yang dimaksud, tentunya, harus mempertimbangkan kurikulum yang membuat
sekolah hanya sejenis "pabrik pengangguran".
Yang keempat, manusia memerlukan
"kesadaran tertinggi", yaitu kesadaran untuk mendekatkan diri kepada
Sang Pencipta. Dengan takwa, manusia akan mampu menciptakan kehidupan damai sentosa di
bawah naungan belas kasih Allah, tanpa keserakahan, dan bebas dari KKN.
Itulah sepercik hikmah, hasil membaca tiga bait
puisi Kiai As'ad Syamsul Arifin, yang cukup membumi dan aktual buat zaman sekarang.
Tidak salah kalau Cynthia Ozick, seorang sastrawan Amerika, berucap bahwa seorang penulis
mau tidak mau harus mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan
dibesarkan. Kiai Asad telah berbuat untuk peradaban kita, dengan sajak-sajaknya yang
tajam. Kurang dan lebihnya, Wallahu a'lam. ###