SURYA
OPINI - Sabtu, 25 November 2000
Mengatasi Dampak Pembangunan Jembatan Suramadu
Oleh Bagong Suyanto
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
SETELAH beberapa tahun vakum, rencana pemerintah membangun Jembatan Suramadu kemballi muncul. Seperti dijelaskan Gubernur Jawa Timur, pembangunan Jembatan Suramadu akan dimulai tahun 2001, dengan dana Rp 1,8 triliun hasil pinjaman Pemerintah Jepang. Kendati telah diajukan prasyarat agar pembangunan Jembatan Suramadu tak dikaitkan dengan industrialisasi, dan jangan sampai mengubah budaya masyarakat Madura, cepat atau lambat kehadiran jembatan tsb akan menjadi titik awal bagi terjadinya perubahan besar pada masyarakat Madura.
Secara teoritis kehadiran Jembatan Suramadu tak hanya meningkatkan derajat mobilitas warga, juga perubahan dahsyat, yang dihela dua faktor, yaitu industrialisasi yang dibarengi meningkatnya proses komersialisasi dan proses difusi karena adanya intervensi pada pendatang ke wilayah Madura. Industrialisasi dan komersialisasi mendorong tumbuhnya pola hubungan kontraktual yang didasarkan pada nilai tukar uang. Yang dimaksudkan proses difusi adalah penyebaran unsur budaya dari kelompok pendatang ke kelompok lainnya, biasanya penduduk asli.
Proses difusi berlangsung dalam masyarakat maupun antarmasyarakat. Difusi terjadi manakala terjadi kontak sosial. Difusi selalu merupakan proses dua-arah, namun bersifat selektif. Sebuah kelompok menerima beberapa unsur budaya dari kelompok lain, dan pada saat bersamaan kelompok itu menolak unsur budaya dari kelompok lain tsb. Difusi disertai dengan modifikasi tertentu terhadap unsur serapan.
Dalam proses industrialisasi, dengan asumsi keberadaan budaya komunitas lokal dinilai tradisional, tak efisien, menghambat pembangunan, dan indikator keterbelakangan, sering terjadi peran dan fungsi nilai, adat-istiadat, dan pranata setempat dihilangkan, demi keberhasilan pembangunan nasional, yang lebih menitikberatkan keberhasilan pada aspek ekonomi dan ukuran kontraktual. Faktor yang dinilai penting dan perlu ditransformasikan ke dalam kehidupan komunitas lokal, umumnya adalah nilai baru yang mendorong semangat berkompetisi, etos wirausaha, bantuan modal usaha, dan teknologi modern. Peran negara, umpamanya sebagai motor penggerak modernisasi, mulai dari peran sebagai penyedia dana untuk membiayai program modernisasi, melaksanakan, serta mengamankan proyek modernisasi yang mereka rencanakan.
Sedangkkan kekuatan komersial - kepentingan pemilik modal dan dunia industri - umumnya lebih banyak berperan sebagai pengeksplorasi dan pengeksploitasi - sumber yang seharusnya jadi hak milik komunitas lokal, yang kemudian menempatkan mereka sebagai pihak yang harus berhadap-hadapan dengan kepentingan komunitas setempat. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi jika di sebuah wilayah hadir sebuah perusahaan multinasional dengan seluruh pranata yang dimilikinya. Mulai dari soal rekrutmen pegawai, eksklisivitas gaya hidup para pendatang, pranata kerja, dsb. Perusahaan itu memiliki kriteria dan mekanisme tersendiri. Itu, tak mungkin dapat dipenuhi oleh masyarakat setempat, yang kebanyakan secara sosial belum memiliki kemampuan dan basis sosial yang memadai. Tak mustahil, pada saat kedua komunitas yang berbeda ini saling bertemu dan berinteraksi, pergesekan dan bahkan konflik, yang sifatnya terbuka, potensial akan muncul.
Berdasarkan pengalaman di Aceh, PT Freeport di Irian Jaya, Kaltim, Batam, dll, terbukti pertemuan dua subkultur yang berbeda dalam sebuah proses perubahan sosial dan budaya - terlebih antara kultur dunia industri yang dibawa pendatang dan masyarakat lokal yang acap kali dinilai tak paralel dengan kepentingan dunia industri - akan potensial memicu pergesekan, bila tak dikelola dengan baik.
Pergesekan, dari yang elementer hingga bersifat ideologis, biasanya terjadi bila ada kondisi sebagai berikut.
Pertama, bila terjadi kesenjangan budaya yang memperkecil peluang atau bahkan sama sekali tidak memungkinkan bagi penduduk lokal dapat terserap dalam kegiatan industri dan pembangunan yang dilakukkan. Sebuah perusahaan yang hadir di sebuah wilayah yang unik seperti Madura, dan terpaksa hidup menurut tata aturan yang serba kontraktual, impersonal, dan profesional, akan menyababkan ia tumbuh eksklusif dan mengalienasikan penduduk setempat yang puluhan tahun terbiasa hidup di bawah pola hubungan serba informal, menonjolkan kedekatan antar orang per orang, sifatnya personal dan mengandalkan loyallitas.
Kedua, bila kegiatan pembangunan dan proses industrialisasi yang berlangsung tak mengembangkan redistribusi aset atau pembagian kembali sebagian keuntungan untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia penduduk setempat. Banyak bukti menunjukkan, kegiatan industrialisasi yang semata mementingkan kepentingan produksi dan komersial, bukan saja menyebabkan berkembangnya kecemburuan sosial masyarakat lokal, juga melahirkan tekanan yang sifatnya struktural. Bisa dibayangkan, apa jadinya sebuah dunia usaha dibangun sedemikian gigantik, ternyata di sekitar mereka penduduk lokal masih hidup dengan cara mengais-kais kemiskinan, dan menjadi pesakitan di tanah kelahirannya sendiri.
Ketiga, bila forum, wadah atau titik temu yang fungsional untuk menetralisasi perbedaan yang ada tak berkembang atau justru ditutup-tutupi, sehingga terjadi segregasi sosial dan lingkungan fisik bersifat diametral. Secara teoritis, untuk mencegah pergesekan yang terbuka, bukan berarti semua perbedaan harus dihapuskan. Atau, dua subkultur yang berbeda dipaksa saling melebur, melakukan akulturisasi. Yang lebih penting adalah bagaimana menyosialisasikan dan mengajarkan kepada kedua pihak untuk secara terbuka bersedia mengakui dan menerima perbedaan yang ada. Kemudian berusaha menetralisirnya dengan mengembangkan forum pertemuan yang dapat menetralisir perbedaan di aspek yang lain.
Kegiatan industrialisasi dan model pembangunan yang top-down dan tersentralistik selama pemerintah Orde Baru, memberikan hasil yang cukup menggembirakan dalam aspek ekonomi. Namunn, di saat yang sama, justru melahirkan sejumlah kontradiksi. Selain melahirkan kesenjangan dan proses pemiskinan, pembangunan yang direduksi hanya sebagai proses industrialisasi, terbukti menyebabkan sebagian besar masyarakat lokal merasakan kemerosotan identitas budaya mereka. Kegiatan industrialisasi yang sering dipertentangkan dengan pranata sosial dan tradisi lokal, mendorong akselarasi proses marginalisasi dan alienasi masyarakat lokal. Akibat sosial semacam ini, tak bisa dibiarkan terus, yang akhirnya justru melahirkan sejumlah kericuhan.
Tahun 2001 nanti, jika pembangunan Jembatan Suramadu betul-betul direalisasi, agenda penting pemerintah adalah menentukan sarana paling efisien dan efektif untuk memasukkan nilai lebih industrialisasi dan program pembangunan ke dalam pola budaya, lembaga, nilai, dan sumber daya manusia di tingkat lokal, secara kontekstual. Ini bukan tugas ringan yang bisa dipecahkan dalam satu-dua hari kegiatan atau program. Yang diperlukan adalah kesediaan bersikap empatif dan mengembangkan pendekatan learning from the people. Bukan pendekatan learning about the people, yang selama ini terbukti a-historis dan rawan memetik terjadinya konflik. Dengan mengembangkan sikap bersedia selalu berdialog dan belajar dari kesalahan di masa lalu, pembangunan Jembatan Suramadu dan industrialisasi yang menyertainya tak lagi menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat lokal. Apa gunanya membangun sebuah jembatan dengan dana besar, jika akhirnya hanya melahirkan kesengsaraan dan konflik yang berkepanjangan antara pendatang dan penduduk asli.
atas