back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long e-Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

Jawa Pos
Radar Madura - Sabtu, 02/12/2000

Dari Catatan Perjalanan Kepulauan Sumenep

Oleh HAMBALI RASIDI

Pekan lalu, Radar Madura ikut rombongan pemerintah kabupaten Sumenep mendatangi Pulau Pagerungan Kecil, Kecamatan Sapeken, Sumenep. Perjalanan tersebut untuk menyaksikan pemberian bantuan dana Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dari Menteri Eksplorasi Kelautan dan Perikanan Ir Sarwono Kusumaatmaja kepada 124 nelayan dari Kecamatan Sapeken dan Raas. Banyak catatan menarik dari perjalanan kepulauan yang selalu ingin berpisah dengan Kabupaten Sumenep?

BERJALAN-jalan ke pulau-pulau kecil di Sumenep memang selalu jadi imipian. Ketika ada rencana berjalan ke kepualaun saya langsung teringat beberapa bulan lalu, masyarakat kepulauan ingin berpisah dengan kabupaten Sumenep. Selain itu, banyak cerita-cerita tentang kekayaan alam kepualuan yang kurang di perhatikan pemkab dan dibiarkan "dijarah" orang luar. Maka, saat Kahumas Pemkab Sumenep Drs Didik Untung Samsidi menawarkan ikut rombongan pemkab, saya nyatakan setuju.

Rombongan berkumpul di kantor Bappeda jam 21.00 WIB. Lalu melanjutkan ke pelabuhan Kalianget naik Kapal Kartika menuju Pulau Kangean. Tepat pukul 21.35 WIB, rombongan berangkat naih kapal Kartika jurusan Kangean. Selama kurang lebih 8 jam, kapal sandar di pelabuhan Batu Guluk, Kangean.

Setelah itu, rombongan pindah kapal perintis yang menuju Pulau Sapeken. Sekitar empat jam atau pukul 12.00WIB kapal barang itu tiba di pelabuhan Sapaken. Dari Pulau Sapeken, masih butuh dua jam bila naik perahu mesin ke Pulau Pagerungan Kecil, pulau yang akan dituju rombongan dan Menteri Sarwono. Rombongan transit dan bermalam di kediaman Sekcam Sapeken Hainur Rasyid.

Baru, sore hari, rombongan melanjutkan perjalanan ke Pulau Pagerungan. Perjalan sore itu, sempat membuat kami lega. Karena trasportasi laut yang digunakan speed boad. Jadi waktu yang dibutuhkan menuju Pagerungan hanya sekitar satu jam. Saya benar menikmati perjalanan menuju Pagerungan itu, didukung cuaca tenang tidak ada ombak. Disamping kiri bisa menyaksikan pulau-pulau kecil yang ikut bergabung pada Desa Sapeken.

Di Kecamatan Sapeken terdiri dari 9 desa dan 33 pulau kecil. Sebanyak 5 pulau yang tidak terhuni warga. Pulau Sapeken luasnya hanya sekitar 3,5 KM2 dengan jumlah penduduk 11.343 KK. Luas Sapeken hanya cukup dihuni satu dusun. Tapi, Sapeken termasuk Desa dan Kecamatan yang meliputi pulau-pulau kecil. Yang masuk Desa Sapeken yaitu Pulau Sadulang Besar, Pulau sadulang Kecil, Pulau Saular, Pulau Saebus, dan Pulau Saur. Saking padatnya penduduk Pulau Sapeken, pendatang menyebut pulau metropolis.

Memang, bila dilihat dari padatnya penduduk dan pola hidup masyarakat Sapeken bisa tergolong warga metrokepulauan. Ini berbeda dengan kehidupan masyarakat kepulauan yang tereksan pasif dan homogen. Kendati pulau kecil, Pulau Sapeken mempunyai tiga masjid. Menunjukkan kehidupan keagamaan masyarakat Sapeken tergolong dinamis.Di situ banyak aliran agama Islam. Ada NU, Persis, Muhammadiyah dan aliran Islam lainnya. Umat non muslim hanya 0,5 persen saja.

Kerukunan antar umat beragama dan antra umat Islam tergolong rukun-rukun saja. Masyarakatnya tergolong dinamis kendati orang pualau. Warga tidak mau ketinggalan berbicara soal isu nasional. Dan lebih penting membahas kehidupan pemerinatahan Sumenep. Kendati Sapeken banyak yang tidak kenal dimana dan siapa pemimpin Sumenep.

Sapeken jadi metropolisnya kepulauan timur Sumenep. Pulau Sapeken sekitar 3,5 Km2 nyaris tidak lahan kosong. Semuanya dipadati rumah penduduk. Begitu pula tanah kosong untuk ditanami pepohonan. Hanya ada lapangn olahraga. Ditambah satu hektare tanaman kelapa. Selebihnya dipadatai rumah penduduk layaknya kehidupan metropolis. Bahasan masyarakatnya, tidak menggunakan bahsa Madura.

Pernah suatu ketika Wabup Sumenep Drs Abdul Muiz Aliwafa memberiakn sambutan dalam persemian Kantor MWC NU Sapeken menggunakan logat bahasa Madura. Tapi para undangan banyak yang clengas-clengus. Usut punya usut, mereka tidak ngerti bahasa yang disampaikan Wabup Muiz. Terpaksa Wabup Muiz mengganti bahasa Madura ke bahasan Indonesia.

Ada beberapa bahasa yang digunakan masyarakat dalam sehari-hari. Pertama, bahasa Indonesia, Bahasa Bajo, Bugis, Makasaar dan Mandu (semuanya Sulawesi). Hanya sejumlah orang saja yang bis bahasa Madura ala Sumenep. Kehidupan di Sapeken memang aneh berbeda dengan kehidupan masyarakat Madura pada umumnya.

Penduduk Sapeken dari sejarahnya memang pendatang dari daerah Makassar Ujung Pandang. Ketika itu, orang kampung Bajo Sulawesi Selatan beralayar cari ikan dan menetap di Pulau Sapeken.

Perjalanan laut Sapekan Sulawesi bila melalui perahu mesin mencapai 24 jam. Sapaken-Bali 10 jam. Sapeken-Banyuwangi memakan waktu 12 jam. Sementara ke Sumenep warga Sapeken harus ke Kangean sekitar 5 jam. Ditambah dari Kangean ke Kalianget naik kapal Kartika sekitar 8 jam.

Abdul Kadir salah satu warga Sapeken kepada Radra Madura mengakui kalau dirinya tidak kenal Sumenep. Dia hanya mendengar kota Sumenep lewat radio dan kata orang yang jadi pendatang dari Sumenep.

Masyarakat Pulau Sapeken tidak bisa mendengar RRI sumenep karena tidak terang lagi. Apalagi TVRi Surabaya. Masyarakat Sapekan banyak komunikasi dengan Bali, Banyuwangi atau Sulawesi. Maka tidak heran bila Abdul kadir bertanya tentang Sumenep. Kendati dia berkependudukan asli Sumenep, tapi tidak mengerti keadaan sebenarnya di Sumenep.

Penagkuan polos Abdul Kadir ini bisa jadi pelajaran bagi para pemerintahan Sumenep. Tidak heran, bila menjelang kedatangan Mneteri Sarwono ke Pagerungan bersama Bupati Sumenep KH Ramdlan Siradj sejumlah pengurus MWC NU Sapeken berdemo dan ingin menyatakan pisah dengan Sumenep bila Bupati Ramdlan kurang memperhatikan nasib warga kepulauan. Dia tampak antusias ingin bergabung dengan Pulau Bali, bila pemerintah kabupaten Sumenep tetap pada pendirian semula mengaktirikan pembangunan kepulauan.

Penghasilan penduduk Sapeken mencari ikan dilaut. Nelayan habis nangkap ikan di laut, kalau ada orang langsung diberi. Kalau mau dijual cukup dibawa keliling rumah-rumah penduduk. Tapi, ada pula nelayan yang ikannya layak jual kelas ekspor. Seperti, ikan layang, ikan kerapu, lobster dan sirip hiu.

PULAU Sapeken jadi metropolisnya kepulauan timur Sumenep. Kendati luas pulau Sapeken sekitar 3,5 km2 nyaris tidak ada lahan kosong. Semuanya dipadati rumah penduduk. Begitu pula tanah kosong untuk ditanami pepohonan. Hanya ada lapangan olahraga. Ditambah satu hektare tanaman kelapa. Selebihnya dipadatai rumah penduduk layaknya kehidupan metropolis. Bahasan masyarakatnya, tidak menggunakan bahasa Madura.

Bahasa mayoritas yang digunakan masyarakat adalah bahasa Bajo (suku Ujung Pandang). Lalu, Bugis, Makasaar, Mandu (semuanya Sulawesi) serta bahasa Indonesia. Hanya sejumlah orang saja yang bisa bahasa Madura ala Sumenep.

Penduduk Sapeken dari sejarahnya memang pendatang dari daerah Makassar Ujung Pandang. Ketika itu, orang kampung Bajo Sulawesi Selatan beralayar cari ikan dan menetap di Pulau Sapeken. Sehingga, penduduk pulau itu tidak lagi murni berbudaya Madura.

Bisa jadi itu, keterasingan warga Sapeken dengan kultur dan kejauhan jarak sekitar 135 mil dari Sumenep membuat sejumlah warga Kepualuan Sapeken tidak lagi merasa punya ikatan pemerintahan dengan pemerintah Sumenep. Apalagi, tidak ada upaya yang bisa merekatkan hubungan emosional dengan pemerintahan Sumenep.

Ini seperti yang diungkapkan salah satu warag Sapeken, Abdul Kadir. Saat ditanya Radar Madura dia mengaku kalau dirinya tidak kenal Sumenep. Bukan hnaya bahsa Madura ala Sumenep, tapi suasana kota Sumenep dan pemerintahan Sumenep banyak tidak ngerti. "Saya ngerti Sumenep lewat radio atau cerita pendatang dari Sumenep," ujar Abdul Kadir.

Tapi, sekarang masyarakat pulau yang berada di ujung paling timur Kabupaten Sumenep ini, akhir-akhir ini tidak lagi bisa mendengar siaran RRI sumenep, suaranya tidak terang lagi. Apalagi TVRI Surabaya. Masyarakat Sapeken lebih teratrik berkomunikasi dengan Bali, Banyuwangi atau Sulawesi. Maka tidak heran bila Abdul kadir bertanya tentang bagaimana Sumenep. Kendati dia pendudak berekpendudukan asli Sumenep, tapi tidak ngerti keadaan sebenarnya Sumenep.

Keterasingan masyarakat Sapeken begitu terasa. Bisa dibayangkan, alat transportasi laut iatu, kapal perintis hanya 10 hari sekali. Sementara, bila warga Sapeken ingi ke Sumenep hartus menyewa perhu mesin ke Pulau kangen yang memakan waktu skeitar 5 jam. "Penduduk Sapeken yang ingin jalan-jalan tidak lagi tertarik ke Sumeenp. Lebih baik tertarik ke Bali, Banyuwangi atau ke Sulawesi," ujar Abdul Kadir.

Perjalanan laut Sapekan Sulawesi bila melalui perahu mesin mencapai 24 jam. Sapaken-Bali 10 jam. Sapeken-Banyuwangi memakan waktu 12 jam. Sementara ke Sumenep warga Sapeken harus ke Kangean sekitar lima jam. Ditambah dari Kangean ke Kalianget naik kapal Kartika sekitar 8 jam.

Pengakuan polos Abdul Kadir ini bisa jadi pelajaran bagi para pemerintahan Sumenep kepemimpinan KH Ramdlan Siradj. Sebab, ini merupakan gejala yang bis menyulut amarah besar warga untuk menyatakan berpisah dengan kabupaten Sumenep. "Selama ini kami hanya jadi pononton orang darataan yang mengeruk kekayaan alam kepulauan Sapeken," jelasnya.

Memang warga Sapeken bersama warga Kangean sejak lama telah berusaha untuk mendeklarasikan berdirinya Kabupaten Kepulauan yang meliputi Sapeken dan Kangean. Dua pulau itu memang punya potensi alam terbesar di Sumenep. Bisa jadi, pemasok PAD terbesar ke Sumenp dari dua pulau itu. Karena pulau Kangean mempunyai ratusan hektare hutan kayu jati dan luas pertanian. Sementara di Sapeken kaya pulau-pualau kecil sebanyak 33 pualu yang menyimpan sejumlah keyaan alam lauat. Sperti sumber migas yang diproduksi Beyond Petruleum (BP) sebagian gantinya PT Arco beroepartsi di Pulau Paferungan Besar.

Akhir-akhir ini, masyarakat kepulauan berancang untuk mendirikan kabupaten sendiri menyatakan pisah dengan Sumenep. Jika tidak bisa tetap memilih ke pualua yang terdekat yaitu Bali, Banyuwangi, dan Sulawesi.

Penghasilan penduduk Sapeken mencari ikan dilaut. Nelayan habis nangkap ikan di laut, kalau ada orang langsung diberi. Kalau mau dijual cukup dibawa keliling rumah-rumah penduduk. Tapi, ada pula nelayan yang ikannya layak jual kelas ekspor. Seperti, ikan layang, ikan kerapu, lobster dan sirip hiu.(bersambung)

Pemerintah Kabupaten Dituntut Bisa Meringankan Beban Masyarakat

Kebutuhan ekonomi masyarakat kepulauan Sapeken tidak menjadi soal. Bisa jadi, taraf ekonomi masyarakat kepulauan Sapeken melebihi kesejahteraan ekonomi masyarakat daratan Sumenep. Tapi, masyarakat kepulauan Sumenep selalu menuntut adanya perhatian dari pemkab. Apa saja yang dituntut?

SEPINTAS, melihat kondisi ekonomi masyarakat Kepulauan Sapeken bukan menjadi persoalan yang serius untuk ditasi pemkab. Kendati masyarakat hidup di pulau-pulau kecil nan jauh dari keramaian, kebutuhan ekonomi masyarakat selalu tercukupi. Ini berbeda, dengan kondisi masyarakat daratan yang selalu mengharap bantuan-bantuan dari pemerintah, serupa JPS. Masyarakat kepulauan tidak suka bila ada bantuan-bantuan yang bersifat memanja masyarakat.

Sebab, bantuan semacam JPS tidak bisa mengajak masyarakat kepulauan kreativ untuk menggali potensi ekonomi kepulauan. Apalagi, bantuan semacam itu bertolak belakang dengan kinerja masyarakat kepualuan yang dikenal pantang menyerah sebelum sukses. Seperti, usaha orang pelaut atau nelayan sebelum berhasil menangkap ikan, tidak mau pulang ke darat.

Karena itu, masyarakat kepulauan kurang sreg bila ada bantuan semacam JPS. Masyarakat lebih tertarik bila dibina diberi ketrampilan untuk menggali potensi kepulaun. "Dikepulauan banyak potensi. Kenapa masyarakat tidak dibekali ketarmapilan untuk dibina. Seperti, budi daya ikan kerapu," ujar Sallal

Selain itu, bantuan semacam JPS sulit memenuhi harapan orang yang benar-benar membutuhkan bantuan. Ini sudah terjadi saat pengucuran dana Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Kepulauan (PEMP) oleh Menteri Eksplorasi Kelautan dan Perikanan Ir Sarwono Kusumaatmaja. Di Sapeken, masyarakat nelayan antara yang menerima dan belum kecipratan dana PEM, sempat ribut. Tidak tahu pasti apa yang melatarbelakangi keributan itu.

Kesejahteraan hidup masyarakat kepulauan memang tergolong makmur. Indikasinya bisa dilihat dari bangunan rumah-rumah penduduk yang tidak jauh beda dengan kemewahan rumah orang daratan. Rumah warga di sana tidak lupa melengkapi antena parabola, vcd, dan sebagainya. Kendati penerangan lampu pulau selain pulau Sapeken masih belum ada PLN. Warga menggunakan mesin diesel untuk menerangi rumah dan tetangganya.

Kemakmuran ekonomi masyarakat kepulauan banyak dipengaruhi dari penghasilan laut, yaitu menangkap ikan atau menjual ikan-ikan laut yang tergolong ekspor. Ada pula, yang merantau ke kota-kota besar di Indonesia. Seperti Bali, Banyuwangi, Surabaya, Sulawesi dan Malaysia. Dari hasil merantau itu, orang kepulauan banyak membangun rumah semewah-mewahnya.

Lalu kenapa masyarakat kepulauan selalu minta perhatian pemkab? "Masyarakat kepulauan hanya minta kompensasi dari kekayaan kepualan yang dikeruk oleh pemerintah daratan," ujar Abd. Azis Ketua LSM Forum Masyarakat Kepualauan (Formak) yang mendampingi perjalan Radar Madura di Sapeken.

Menurut Azis, persoalan ekonomi masyarakat kepualuan tidak akan menuntut keterlibatan pemerintah. Karena puluhan tahun masyarakat kepulauan sudah terbiasa mencari nafkah sendiri. Entah di laut atau berlayar ke pulau lain untuk menutupi kebutuhan hidup.

Apa yang dituntut masyarakat kepulauan terhadap pemkab Sumenep? "Masyarakat berpikir untuk apa ada pemerintah, kalau tidak bisa meringankan beban masyarakat kepulauan. Lebih baik mendirikan pemerintahan kepulauan sendiri. Ini kan tidak ada bedanya ada pemerintah dan tidak ada pemerintah. Lebih baik tidak usah ada pemerintahan daerah saja," jelas Yek Azis yang juga aktivis LSM Kepulauan yang setahun lalu getul menyuarakan Kabupaten Kepulauan Sumenep.

Yang dimaksud pemkab meringankan beban masyarakat kepulauan, kata Azis, pemkab bisa membantu kelancaran alat transportasi laut, adanya penerangan lampu, kualitas jalan raya yang enak dilalaui pengendara, nasib pendidikan dan kesehatan masyarakat.

Soal alat transpotasi laut,kat Azis memang tergolong utama yang benar dirasakan oleh masyarakat kepulauan. Dia mengusulkan pemkab bisa mengupayakan volume pemberangkatan kapal ke kepulauan. Selain itu, kata Azis, untuk memperlancar arus laut, pemkab bisa membuat perahu mesin yang menghubungkan antara pulau yang tidak bisa dilalui kapal. Seperti Pulau Raas, Sapudi dan pulau-pulau kecil di Sapeken.

"Kontribusi PAD dari kepulauan untuk pemkab Sumenep begitu besar. Masak, pemkab tidak bisa membuat perahu mesin atau kapal. Ini harus ditempuh pemkab, bila ingin merekatkan emosional masyarakat kepulauan denagn pemkab Sumenep," ucap pengusaha ikan ekspor ini.

Selain persoalan transportasi laut, tuntutan masyarakat yang lain berupa pertbaikan jalan, penerangan lampu, nasib pendidikan, dan kesehatan, Azis minta Pemkab bisa meagendakan dalam perencanaan pembangunan kepulauan Sumenep. Yaitu mencari putra daerah kepulauan terbaik untuk ditempatkan jadi tenaga pendidikan, tenaga kesehatan, serta tenaga birokrasi pemerintah yang bisa melayani masyarakat secara puas. Tujuannya, agar masyarakt benar merasakan adanya keterlibatan pemertintah. (bersambung) kalau mau ditutup ini Bisa jadi sambungan. Materi lain maish banyak kok. Sambung ya.. besok terakhir pasti.

Pegawai Negeri Sipil Tak Kerasan,
Memilih Bolos ke Kantor

Bila di pemerintahan daratan Sumenep ada mobil dinas instansi kecamatan, di Pulau Sapeken malah tidak ada. Yangada perahu mesin sebagai penggabnti mobil dinas itu. Perahui mesin tersebut menjadi alat transportasi antar pulau-pulau kecil di Sapeken. Begitulah kehidupan birokrasi di Kepulauan Sapeken tergolong unik.

JALAN di Pulau Sapeken sangat sempit. Jalan-jalan itu tidak bisa dilalui mobil. Hanya becak dan sepeda motor yang bisa digunakan penduduk. Sementara di pulau satu dusun itu, menjadi pusat kantor pelayanan pemerintahan kecamatan Sapeken. Di pulau-pulau itu, semua kantor muspika bertempat di Sapeken.

Karena di jalan Sapeken tidak bisa dilalui mobil, kendaraan dinas kecamatan dan instansi lain tidak bisa difungsikan. Lantas kemana mobil-mobil dinas itu? Khusus mobil dinas kecamatan sengaja tidak dianggkut ke Sapeken. Tidak tahu pasti ada dimana mobil dinas itu. Menurut salah satu petugas kecamatan, mobil dinas itu sengaja diganti perahu mesin sebagai alat transportasi para pegawai kecamatan. Tapi, saat Radar Madura ikut rombongan ke Sapeken tidak ada perahu mesin pengganti mobil dinas kecamatan. "Tak tahu lah mas kemana mobil dinas itu," tutur salah satu petugas kecamatan yang mewanti namanya tidak dikorankan.

Lain dengan mobil ambulans Puskesmas. Sebagia ganti mobil ambulans, Puskesmas Sapeken sengaja mengganti perahu mesin sebagai alat transportasi untuk mengangkut pasien atau tenaga medis puskesmas ke pulau-pulau kecil. Perahu senagaj didesain khusus dan diberi cat putih dengan nama Pusling (Puskesmas Keliling). Perahu Pusling ini cukup efektif di Sapeken.

Bagaimana denagn kehidupan para pegawainya. "Jika Pegawai Negeri Sipil (PNS) ditugaskan ke Pulau Sapeken pasti memilih mundur. Kalau tetap bertugas, dipastikan jarang masuk atau memilih bolos. Kecuali bagi petugas yang sudah kecantol dengan penduduk Sapeken dan berekeluarga sehingga bisa menetap di Sapeken," ujar Sallal.

Dia mencontohkan, para guru SD yang ditugaskan ke pulau-pulau kecil di Sapeken. Para guru SD yang asli dartaan Sumenep itu banyak diam di Sapeken daripada pergi bertugas ke pulau-pulau kecil.

Ini bisa dimaklumi, karena pulau-pulau kecil disana sangat terisolir. Sehingga, para guru berdiam di Sapeken. Bila terpaksa berangkat bertugas, paling hanya berapa hari sekedar melihat kondisi sekolah, lalu kembali ke Sapeken atau kembali ke pulau Sapeken.

Kondisi di Sapeken bisa dimaklumi beberapa hari berikutnya guru-guru itu kembali lagi ke Sumenep menunggu kedatangan kapal perintis 10 hari kemudian. Yang penting dirinya sampai di Sapeken. Ini yang perlu menjadi dasar perencanaan pembanguna pemkab Sumenep dalam membangun pulau-pulau kecil.

Kalau ada proyek pembangunan, di pulau-pulau kecil itu juga rawan kualitas pembangunan asal-asalan. Karena, si pemborong telah memperhitungkan ongkos pekerjaan di pulau-pualu kecil yang tergolong mahal. Lihat saja ongkos perjalan untuk mengangkut transportasi material bangunan ditambah ongkus tukang. Mau tidak mau, si pemborong mengurangi anggaran biaya material disesuaikan dengan anggaran dana pembangunan. Karena itu, umur pembangunan di pulau-pulau kecil itu, tidak bertahan lama. Kalau proyek fiktif di pulau-pulau kecil itu seringkali terjadi dijamannya orba dulu. (habis)

atas