Jawa Pos
Radar Madura, Sabtu, 28-30-31/10/2000
Sumenep 731 Tahun: Dulu, Kini, dan Masa Mendatang
Oleh ZAHRIR RIDLO dan HAMBALI
Pernah Jadi Pelabuhan Ramai dan Penting
Wilayah Sumenep telah dikenal semasa kerajaan Singosari. Dulu disebut Sungenep, lalu Songennep, dan akhirnya Sumenep. "Sri Ranggawuni atinggal putra lanang, aran Sri Kertanagara; sira Mahisacampaka atinggal putra lanang, aran Raden Wijaya. Siraji Kertanegara sira anjeneng prabhu, abhiseka bhatara Siwabudha. Hana ta wongira, babatanganira buyuting Nangka, aran Babak Wide sinungan pasenggahan Arya Wiraraja, arupa tan kandel denira, dinohaken, kinon adhipatia ring Sungenep, anger ing Madura Wetan."
ARTINYA, Sri Ranggawuni meninggalkan seorang putra laki-laki, bernama Sri Kertanagara, beliau Mahisacampaka meninggalkan putra laki-laki, bernama Raden Wijaya. Beliau raja (aji) Kertanagara menaiki tahta, dengan gelar penobatan betara Siwabudha. Ada orang beliau, juru terka/penasehat buyut di desa Nangka, bernama Babak wide, diberi nama Arya Wirarajaya, dan tidak dipercaya oleh beliau (Kertanagara), dijauhkan dan diperintahkan supaya menjadi adhipati di Sungeneb, bertempat tinggal di Madura Timur.
Menjadi jelas bahwa sebelum Kertanagara memimpin Singosari, wilayah Sungenep telah dikenal. Karenanya banyak pakar berpendapat bahwa kata ''Sungenep'' berasal dari bahasa Jawa Kuno. Sukarto K. Atmodjo mendukung dugaan ini. Demikian pula Edi Setiawan, SH pengamat dan pecinta budaya Madura, memiliki pendapat yang sama dengan Sukarto, bahwa kata ''Sungenep'' cenderung berasal dari kata jawi kuno.
Dari segi asal kata atau etimologi, perkataan Sungeneb berasal dari ''sung'' dan ''eneb''. Dalam bahasa Jawa Kuno sung (song) berarti rongga, lobang, teluk atau semacam tempat berlabuh. Perkataan eneb berkaitan dengan endap (mengendap), tenang, tutup. Jadi Sungeneb berarti tempat berlabuh, tempat mengendap, berteduh, dan tenteram.
Namun menurut pendapat Sukarto Atmodjo, Sungenep dapat berarti pula sebagai tempat berlabuh yang baik. Sebab ''su'' menurut bahasa Jawa Kuno berarti baik.
Argumen semacam ini didukung fakta, yakni lokasi Sumenep yang sekarang terletak hanya 5 km dari pantai Kertasada, Marengan Kecamatan Kalianget. Menurut Drs Abdurahman, mantan bupati Sumenep, meyakini bahwa pelabuhan Kalianget dan Sumenep dahulu kala merupakan pelabuhan yang penting dan ramai, dan banyak perahu berlayar hilir mudik yang menghubungkan Tuban, Surabaya, Madura, dan Bali.
Pada waktu itu perahu-perahu masih dapat berlayar masuk ke dalam sampai berlabuh di Kalianget, tepatnya di Desa Marengan. Sedangkan kantor bea cukainya ada di Desa Pabian yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Kota Sumenep.
Masih menurut Edi Setiawan SH, ia juga sependapat dengan argumen bahwa Sungenep mengacu pada arti tempat berlabuh, sebab menurutnya, dulunya kawasan Sungenep ini banyak berupa rawa-rawa. Ia mengutip penelitian antropolog Dr Adi Sukadana, bahwa pemukiman awal di Madura terdapat di bagian tengah atau punggung pulau Madura, yang umumnya terdiri dari pegunungan atau bukit-bukit kecil. Sedang di daerah-daerah yang terletak di dataran rendah, termasuk Sumenep, pada masa lalu sebelum abad XIII masih tergenang air rawa.
Lalu sesuai dengan lidah orang Madura, Kota Songennep lebih dikenal daripada Sungenep. Menurut Edi, dalam bahasa madura huruf "O" lebih banyak digunakan daripada huruf "U". Bahkan menurutnya, pengarang buku sejarah Madura juga menyebut Songennep dan bukan Sungeneb.
Perkembangan berikutnya sebutan Songennep menjadi Sumenep. Kitab kuno seperti Kidung Ranggalawe dalam nyanyian 1 telah menyebut Sumenep dan bukan Sungeneb.
"Mungge ing Sumenep pernah Madhura Wetan, lawasipun anganti, patang puluh tiga, duk andon balanabrang, sira Wiraraja dadi arasa-rasa, denen dinohan apti" yang kalau diindonesiakan, bertempat di Sumenep di Madura Timur, lamanya menanti empat puluh tiga, sewaktu berangkat bala menyeberang, beliau Wiraraja berfikir mengapa dijauhkan kehendaknya.
Kapan sebutan Sumenep lebih dikenal dari Songennep? Edi Setiawan punya catatan menarik. Menurut dia, sekitar abad XVII Belanda merubah sebutan Songennep menjadi Sumenep. Ini terbukti dari banyaknya terbitan Belanda yang menyebut Sumenep.
Misalnya, Brief Obituary of Pakunataningrat, Sulthan of Sumenep, (1781-1854). TNI 16 (1954) 2:72-73 nomor 017-KITLV; Biography of Pakuningrat, Sulthan of Sumenep (1781-1854), Mainly extracts from: W.R. Van Hoevell. Reis Over Java, Madura en Bali in het midden van 1874, Amsterdam, 1851; Madura en Zijn Vorstenhuis, ditulis Maurenbreher.*
Menghidupkan Kepeloporan Sejarah
Orang boleh saja berbeda dalam menatap, melihat, dan menakar perjuangan rakyat Sumenep. Tapi satu hal yang pasti, goresan sejarah negeri ini secara jujur mencatat keterlibatan rakyat Sumenep. Terlalu banyak cerita heroik dari perjalanan perlawanan rakyat Sumenep terhadap penjajah.
BENTENG Kalimo'ok adalah salah satu dari sekian saksi sejarah, bahwa Belanda pernah menapaki kakinya di Sumenep dan rakyat Sumenep mengusirnya. Untuk itu, terlalu murah seandainya Benteng Kalimo'ok hanya dipadankan dengan catatan-catatan romantik. Tidak juga sesederhana buku-buku perjuangan. Sebab sejarah perlawanan rakyat Sumenep pada hakikatnya adalah cermin dan pelajaran masyarakat Sumenep, refleksi perjuangan, serta dinamika masyarakat Sumenep tempo dulu.
Lantaran itu, belajar sejarah rakyat Sumenep tidak cukup dengan menghapalkan buku sejarah, namun yang terpenting lagi adalah bagaimana menghidupkan kembali semangat kepeloporan melalui bangunan bersejarah tersebut.
Sumenep kota paling ujung di Pulau Madura ternyata sampai saat ini memiliki potensi wisata yang perlu untuk terus dilestarikan. Misalnya saja terdapat banyak gedung peninggalan Belanda yang memiliki potensi wisata. Salah satunya adalah benteng dan makam belanda yang banyak dijumpai. Adanya banteng tersebut sebagai salah satu saksi kalau jejak Belanda di Sumenep. Namun, riwayat benteng tersebut sampai saat masih terabaikan .
Sebagai bukti bahwa kolonial Belanda pernah menginjakkan kakinya di Sumenep adalah banyaknya peninggalan kolonial Belanda yang masih dapat kita jumpai di kota Sumenep, hanya saja semua situasi yang memberikan goresan sejarah itu lapuk ditelan zaman.
Yang masih cukup baik adalah bangunan Belanda berupa Dam Air di Desa Kebunagung, 1 km ke arah barat Kota Sumenep. Lainnya hampir dalam kondisi yang memprihatinkan.
Bahkan, kalau kita dapat melihat perkampungan Belanda di kota Sumenep, di Desa Marengan, Kecmaatan Kalianget, yang sepanjang jalan raya berjajar bangunan peninggalan Belanda, namun nampak tidak terpelihara dan sebagian lain diabadikan sebagai tempat sarang burung walet. Penghuninya pun lebih banyak bersifat keturunan.
Saat Radar Madura menyusuri jalanan dimana gedung-gedung peninggalan zaman kolonial itu berada, tepatnya disusuran jalan kota Sumenep. Puluhan tahun silam gedung-gedung tersebut pastilah merupakan bangunan yang cukup megah bahkan dapat dikatakan pasti megah, penghuninya para Ny. Menner warga Belanda
Menyusuri arah timur sedikit memasuki Desa Kalimo'ok, terhampar lokasi pemakaman Belanda, semua makam disana teronggok merana. Lumut dan rumput menjadi hiasan nisan dan badan makam, namun siapa yang akan memperdulikan bila sanak saudara berada jauh disana, di negeri Kincir Angin.
Tidak banyak warga Madura yang tahu tentang Benteng Kalimo'ok, namun menurut DR Abdurahman, penulis buku Madura Selayang Pandang, benteng itu dibangun pada abad ke 14. Hanya saja bangunan itu mulai dikenal sejak zaman perang Diponogoro tahun 1825-1830
Benteng Kalimo'ok panjangnya sekitar 70 meter dengan lebar 60 meter, tinggi tembok mencapai 5 meter, dengan ketebalan satu meter didepen terdapat pintu gerbang yang ditengahnya terdapat pintu kecil. Disela-sela tembok tersedia tempat meriam yang siap tembak. Dapat dibayangkan betapa besar tantangan yang dihadapi para pejuang untuk melawan serangan Belanda kala itu. Dengan bertahan didalam benteng, pasti dijamin Belanda aman dari jangkauan para pejuang.
Kini, benteng itu teronggok lesu. Pohon-pohon tumbuh liar disela-sela tembok. Akar pohon itu menerobos bebatuan tembok, menambah kerusakan yang tampak pada benteng Kalimo'ok.
Barangkali bagi sebagian pejuang, benteng itu dapat menjadi saksi kegigihan mereka, sebagai saksi bisu perjuangan rakyat Sumenep menghadapi serangan kolonial belanda. Akankah saksi dan tonggak sejarah itu harus disia-siakan? Jawabannya pasti tidak, karena sedikit sekali daerah yang memiliki situs sejarah berupa benteng.
Benteng tersebut merupakan simbol heroisme bagi rakyat Sumenep, jika saja kekayaan ini dapat di pelihara, dilestarikan keindahan dan keagungan bangunannya maka secara pasti akan menjadi potensi wisata dan banyak generasi muda di Belanda yang ingin tahu sepak terjang para leluhurnya di bumi Indonesia.
Sebenarnya mereka dapat bernostalgia di Benteng Kalimo'ok. Mereka dapat berandai-andai waktu leluhurnya datang ke Kota Sumenep. Ini adalah potensi wisata sejarah bangsa Indonesia khusunya rakyat Sumenep. Mengapa kita tidak mencoba menggarapnya, meski bukan tanpa makna untuk merawatnya kembali.*
Pembangunan Kepulauan Masih Diskriminatif
Di antara kabupaten di Madura, mungkin Sumenep yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) laut yang melimpah. Misalnya, pengeboran Migas lepas pantai di Pagerungan, Kecamatan Sapeken, rumput laut, minyak mentah, ikan kelas ekspor, dan lain sebagainya. Sayangnya, eksplorasi minyak tersebut masih menyisakan sejumlah persoalan.
MISALNYA, ketidakjelasan penerimaan PBB untuk daerah Sumenep, kontrak kerja, produksi, luas area, dan lain sebagainya. Meski begitu, pihak Arco -sekarang berganti BP (Beyond petrolium)- tetap memperhatikan lingkungan masyarakat setempat.
Salah satunya dengan meningkatkan sumber pendapatan subsektor perikanan yang merupakan mata pencaharain utama penduduk Pagerungan Besar. Selain itu, sekaligus juga melestarikan terumbu karang melalui program community development telah dipasang 30 buah rumpon piramida dan I buah rumpon horizontal dari 200 buah ban truk di 3 lokasi terpilih.
Di lain pihak, guna meningkatkan mutu hasil tangkapan ikan, juga dibangun fasilitas cold storge dan pabrik es untuk penduduk lokal, yang kemudian dikelola melalui Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE). KUBE ini kelak diharapkan menjadi cikal bakal kegiatan perekonomian desa, terutama dalam menghadapi permasalahan peralihan tenaga kerja dari tenaga proyek.
Selain itu, melalui program community development juga telah dibangun 3 buah SD, 1 buah SMP, 3 rumah Kasek, 1 Puskesmas, dan rumah mantri, 1 Masjid Jamik, 1 balai desa, serta 1 pusat olah raga dan remaja.
Meski SDA daerahnya melimpah, sejumlah warga masih tetap merasa diberlakukan diskriminatif oleh Pemkab Sumenep dalam hal pembangunan. Terlebih lagi menaru curiga terhadap pengeboran minyak di Pegerungan yang dinilai sarat dengan ketidak transparanan, baik dari pihak BP maupun ekskutif.
Padahal untuk memasuki otonomi daerah (Otda) Januari 2001, SDA tersebut dapat menjadi primadona Sumenep untuk meningkatkan PAD-nya.
Seandainya saja ada kepastian dan kejelasan informasi tentang eksplorasi minyak tersebut, ini dapat berhasil untuk mengangkat potensi yang ada di kepulauan. Ini pula berarti juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumenep secara keseluruhan.
Herannya lagi, kepulauan juga dijadikan tempat "pembuangan" bagi para pejabat nakal. Padahal, tindakan tersebut berakibat pada pelayanan publik yang sangat merugikan masyarakat.
Misalnya, aktivitas mengajar berguru yang menurun, etos kerja aparat yang setengah hati. Sebab, selain karena tidak punya ikatan emosional dengan kepulauan, juga banyak aparat yang malas untuk kembali tugas ke pulau. Hal ini tentu ada penyelesaian yang tegas dari Pemkab Sumenep untuk kembali membuat kebijakan bahwa pulau merupakan tempat promosi bagi pejabat yang akan naik kariernya.
Sebenarnya masyarakat kepulauan berharap sekali keterlibatan Pemkab dalam membantu beban transportasi. Karena selama ini dari pemerinatah hanya menggunakan perintis seminggu sekali dari Kangean - Kalianget - Masalembu. Sementara dari Pulau Ra'as - Sapudi masih menggunakan perahu tradisional yang memakan waktu 4 dampai 6 jam.*
Sumenep Jangan Disandarkan Pada Pejabat KKN
Memasuki usianya ke-731 tahun, banyak setumpuk harapan dan tuntutan masyarakat kepada pemerintah mengenai agenda reformasi di Sumenep. Misalnya, menyangkut mentalitas pejabat yang KKN yang akhir-akhir ini banyak disorot sejumlah anggota dewan, LSM, dan elemen masyarakat lainnya. Bagaimana harapan dan komentar mereka tentang mentalitas aparat di Sumenep?
SUMENEP yang makmur ini dengan segala tantangannya tidak boleh disandarkan nasibnya pada pejabat yang korup, asal bapak senang (ABS), atau yang sejenis dengan itu. Kalau pejabat tersebut tetap dipertahankan, hanya akan menjadi parasit bagi pemerintahan. Demikian harapan Ketua DPR Sumenep Drs KH Busyro Karim dalam sambutannya dalam sidang paripurna istimewa di gedung DPR Sumenep
''Untuk itu, menuju Suemnep baru yang dicita-citakan bersama, dimensi yang sama sekali tidak boleh dilupakan adalah reformasi mental aparat pemerintah dan masyarakat,'' ujarnya.
''Apakah kita bisa demokratis, kalau misalnya pemerintahan diisi oleh mentalitas kerajaan, ABS, dan KKN? Bagaimana kita bisa menciptakan pemerintahan yang berwibawa, sementara mentalitas aparat birokrasi lebih pangreh praja yang sok berkuasa ketimbang pamong praja yang rajin melayani rakyat? Akankah terbangun clean government di atas tradisi lama yang nepotik, kolutif, dan korup? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain,'' tandasnya.
Namun, KH Busyro menyadari bahwa tugas tersebut amat berat dan amanat sejarah yang sama sekali tidak ringan. ''Tetapi, apakah karena itu kita akan pesimis dan kemudian mundur teratur? Tentu benak dan kesadaran kita akan bicara tegas: Bahwa kita sebagai masyarakat Sumenep akan menghadapinya dengan sadar dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai optimisme perjuangan,'' tegasnya.
Sudah lama masyarakat Sumenep disuapi dengan janji-janji. Dan itu tidak boleh lupa bahwa kesabaran masyarakat untuk menunggu terwujudnya janji-janji ada batas pinggirnya. ''Oleh karena itu, sebelum melewati batas, sudah seharusnya Kiai Ramdlan bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya,' kata Dedy Arfianto SE, anggota dewan asal PDI-P. ''Harus ada keseriusan dari pemerintah untuk merealisasikan dan mewujudkannya,'' tambahnya.
Lalu, apa kata aktivis LSM? Kalau pemerintahan Kiai Ramdlan masih dikelola oleh pejabat-pejabat yang tidak cakap, pejabat-pejabat yang rendah budi yang nepotis dan berpikir bahwa jabatan adalah hadiah dan kesempatan untuk memperkaya diri, menurut mereka, tidak mungkin tercipta pemerintah yang bersih dan berwibawa.
Senada dengan Busyro, mereka berharap agar para pejabat yang demikian harus dibersihkan dari dunia birokrasi pemerintahan Ramdlan. ''Sebab itu hanya akan menjadi parasit bagi proses pembangunan di Sumenep,'' kata Syarief Hidayat dari Oase (Kelompok Transparansi Sumenep) menirukan harapan ketua dewan tersebut.*
atas