Ratusan mahasiswa Surabaya turun ke jalan menuntut reformasi di segala
bidang. Saat iring-iringan sepeda motor mahasiswa itu memenuhi Jalan Raya Darmo, seorang
laki-laki paruh baya ke luar dari rumahnya. Entah siapa yang menyuruh, laki-laki itu berdiri
di tengah jalan sambil membentangkan kedua tangannya. Setelah menghela nafas sebentar ia
berteriak: "Allahu Akbar! Hidup reformasi!"
Laki-laki itu adalah H Moch Sukri Adnan. Pengusaha realestat itu kemudian
menjabat tangan para mahasiswa untuk kemudian memerintahkan anak buahnya menyiapkan air
minum kemasan. Dalam tempo singkat 60 dos air minum ludes. Melihat itu Sukri nampak puas.
Untuk menunjukkan dukungannya kepada gerakan reformasi, hingga kini, di
depan rumahn ya yang lumayan megah di jalan protokol Jalan Raya Darmo Surabaya masih terpasang
spanduk bertuliskan: H Moch Sukri Adnan Pro-Reformasi.
"Spanduk itu belum akan saya lepas sebelum berlangsung pemilu yang jurdil,"
katanya kepada Bangkit, pekan ini. Pria berusia kepala tujuh ini masih bersemangat tinggi. "Saya mendukung
gerakan reformasi karena saya menginginkan demokrasi yang murni, bukan demokrasi sulapan
seperti yang sudah-sudah," katanya.
Yang menurutnya masih bisa disebut demokrasi murni adalah pemilihan
kepala desa dengan sistem pemilihan langsung. Dengan dasar pemikiran itu, menurutnya, orang-
orang yang kini duduk sebagai anggota DPR dan MPR harus direformasi.
Menurut Anda apa masyarakat kita sudah siap pemilihan langsung presiden?
"Jangan katakan tidak siap. Buktinya kepala desa dipilih langsung. Pemerintah mengatakan
tidak siap itu kan alasan saja," ujarnya.
Tahun 1992, H Sukri sudah mengusulkan agar H M Soeharto tidak lagi
dipilih sebagai presiden. "Pertimbangan saya sederhana ssaja, saya kasihan Soeharto, sudah
tua kok masih mau dicalonkan jadi presiden. Kalau tahun 1992 saya usul begitu, berarti kan jauh
hari sebelum aktivis mahasiswa meminta Soeharto mundur," katanya.
Usulan itu ia sampaikan melalui H Wahono, mantan Gubernur Jatim, yang
kala itu menjabat Ketua Umum DPP Golkar. Bahkan dua bulan menjelang Sidang Umum MPR 1993
ia kembali menghubungi Wahono agar mencegah Soeharto mencalonkan diri sebagai presiden,
"Eh, saya malah didatangi dua tokoh Jatim agar menandatangani surat
pencalonan Soeharto. Tetapi saya tolak. Pencalonan itu kan hasil rekayasa," kata Sukri
dengan nada tinggi. Itu sebabnya Sukri menuntut perekayasa pencalonan Soeharto, yakni
pimpinan PPP, Golkar, dan PDI.
Sukri yang mengaku tak tahu menahu urusan politik, saat berlangsung
muktamar NU di Cipasung (Jabar), pernah 'menantang' Abu Hasan cs. Kala itu, beredar santer
berita yang menyatakan Abu Hasan akan memberi Rp 2 juta kepada cabang-cabang yang
mendukungnya. Mendengar itu Sukri menyatakan kesanggupannya mengeluarkan dana pribanya
sebesar Rp 6 miliar untuk kemenangan Gus Dur. Kepada cabang ia sanggup memberi tiga kali
lipat tawaran Abu Hasan.
"Soalnya apa sih, Abu Hasan itu siapa? Dari pondok mana? Warga NU
banyak tidak kenal, kok tiba-tiba ingin mencalonkan dirinya jadi pemimpin NU," jelas
H Sukri.
Menurut Sukri, yang pernah menjabat bendahara Syuriah NU Jatim
periode 1967-1980, NU organisasi ulama, bukan partai biasa.
Syukuran uang cair
H Sukri yang tahun ini berusia 74 tahun adalah anak kelima dari 11
bersaudara. Ia lahir di Galis, Pamekasan, Madura. Ia kini adalah ayah delapan anak dan
kakek 27 cucu. Dari isteri pertama (Ny Bahriah) ia dikarunia 5 anak, dan dari isteri kedua
(Ny Sutjiati) satu anak, sedang dari isteri ketiga (Saadah) mendapat dua anak. Isteri
pertama dan keduanya sudah ia cerai.
Oleh warga Surabaya H Sukri dikenal sebagai dermawan. Maklum, ia muslim
yang patuh. Sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, H Sukri senantiasa menyisihkan 2,5
persen dari rezeki yang diterimanya dari Tuhan. Setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri ribuan
fakir miskin mendatangi rumahnya untuk meminta bagian zakat maal dan fitrah H Sukri.
Meski begitu ia tidak bersedia menyebut jumlah seluruh kekayaannya,
kecuali bunga uang simpanannya di bank yang pajaknya mencapai saja mencapai Rp 75 juta per
bulan.
Itu sebabnya ia sempat stres saat Bank Harapan Sentosa (BHS) dan Bank
Pinaesaan terkena likuidasi. Di dua bank itu ia memliki simpanan Rp 3,4 miliar.
Begitu uangnya yang nyantol di bank dalam likuidasi (BDL) bisa dicairkan
Sukri lantas syukuran. Sengaja ia sishkan Rp 385 juta untuk dibagikan kepada fakir miskin.
"Saya yakin, Allah tahu niat saya. Membantu orang lain yang membutuhkan, tidak akan membuat
miskin, justru Allah akan memberikan rezeki lebih banyak lagi," ucapnya.
Sukri memang tidak miskin. Di Surabaya ia memiliki rumah di beberapa
tempat, seperti di Taman Bungkul, Jalan Raya Darmo, Ngopak, Ketintang, Menganti. Mobil ia
punya empat biji, sedan dan jip Mercedes, sedan Hyundai dan Citroen.
Semua sepatu dan 20 stel jas miliknya dibeli di luar negeri, seperti
Hongkong, Jepang, Amerika Serikat, Swiss, Perancis, Spanyol, Singapura, dan Itali. "Dulu
setiap tahun saya ke luar negeri untuk belanja kalau pikiran lagi kalut," kata Sukri.
Ia mengaku mulai menekuni dunia usaha saat berusia 22 tahun. Ketika itu
yang ia lakukan adalah membawa sarung tenun dari Pamekasan ke Besuki dan Probolinggo dengan
menumpang perahu milik ayahnya.
"Pulang dari Jawa saya bawa beras dan minyak tanah untuk dijual di
Pamekasan," kenang Sukri.
Gara-gara ulah penjajah Belanda makin menjadi-jadi, ia bersama sejumlah
kiai di Madura lari ke Asembagus minta perlindungan di Pondok Pesantren Salafi'iyah pimpinan
KHR As'ad (almarhum) dan setahun kemudian pindah ke Pondok Pesantren di Blok Agung Banyuwangi.
"Sambil belajar, saya berdagang kitab," kenang Sukri.
Tahun 1952, Sukri pindah ke Pondok nurul Djadid Paiton, Probolinggo. Di
pondok ini Sukri bertemu Bahria, santriwati di sana, yang kemudian dinikahinya hingga
memberinya lima anak.
Dari Probolinggo ia pindah ke Jember, menekuni bisnis ikan asin. "Modal
pertama Rp 2.000,00, itu pun hasil menjual cincin emas," jelas Sukri.
Baru berjalan dua bulan, ia sudah mampu membangun rumah sendiri senilai
Rp 25.000,00 dan enam tahun kemudian, Sukri beralih bisnis hasil bumi, termasuk tembakau
Besuki untuk diekspor ke Jerman.
Hasil ia mampu membeli sedan Impala seharga Rp 2 juta (setara 600 ton
beras). Kemudian ia pergi haji bersama istri dan dua anaknya.
Begitu memiliki satu mobil Sukri ingin memiliki mobil merek lain, yang
total berjumlah 11 buah. "Kala itu saya berani sampai ke Jakarta, walau tak ada SIM," kata
Sukri sembari tertawa.
Tahun 1970 bisnisnya jatuh dan setiap hari kerja Sukri naik mobil
keliling kota. Saat mengangggur itu Bupati Lumajang meminta Sukri menghadap Sudomo (waktu itu
Kopkamtib) di Jakarta. Kepada Sukri, Sudomo meminta agar dalam Pemilu 1977 suasana di Jawa
Timur aman. "Lewat pertemuan di Surabaya, pesan Sudomo saya sampaikan kepada sejumlah ulama
di Jawa Timur," papar Sukri.
Begitu Pemilu usai Sukri menghadap Sudomo. "Saya kemudian mendapat
fasilitas menyalurkan pupuk ke seluruh Jawa Timur," kenang Sukri.
Sukri yang hanya sempat duduk di kelas II Ibtidaiyah (setingkat SD) kemudian
hijrah dari Jember ke Surabaya, dan membeli rumah di Ketintang senilai Rp 125 juta.
Selain menjadi penyalur pupuk urea, Sukri juga menggeluti bisnis jual beli emas.
Sampai kemudian ia berhasil membebaskan tanah seluas 35 hektar yang kini sudah menjadi
kompleks perumahan Gunung Sari Indah, Surabaya, yang dibangun perusahaan miliknya PT Agra
Paripurna. Sejak itu H Moch Sukri Adnan dikenal sebagai pengusaha realestat. (muchsin)