Edisi 4/III/1998 18 Oktober 1998 | KONTAN |
EDISI 4/III/1998 Tanggal 19 Oktober 1998 |
Bambang Aji, Yus Santos, Iwan Hidayat
Oktober menjadi bulan penting bagi Haji
Sukri Adenan. Betapa tidak. Deposito miliknya sebesar Rp 3,4 miliar, yang
sejak November tahun lalu menyangkut di Bank Harapan Santosa, akhirnya
bisa ditarik kembali. Makanya, lebih dari sekadar zakat, Selasa pekan lalu,
ia bernazar dengan membagikan 50 ton beras kepada sekitar 10.000 kepala
keluarga yang tersebar di daerah Surabaya, Jombang, Bangkalan, Pamekasan,
Lamongan, Blitar, dan Lumajang.
Pak haji yang satu ini pun bukan sekadar dermawan melainkan juga terkenal
sebagai pengusaha yang sukses. Lantas, siapa sih sebenarnya pria berusia
73 tahun ini? Dari penuturannya, sedikitnya ia memiliki belasan usaha yang
bergerak di berbagai bidang. Mulai dari perdagangan hasil bumi, distributor
pupuk, pabrik kain sarung, realestat, pengolahan ikan pindang, perkayuan,
emas, hingga "bisnis" politik. "Saya pernah diminta pemerintah untuk meredam
aksi-aksi. Ternyata dunia politik mengasyikkan," katanya.
Sukri, menurut beberapa sumber, sudah puluhan tahun malang melintang
di bisnis perdagangan besi tua. Bukan cuma rel kereta api, kapal tua yang
sudah mangkrak pun dipretelinya lantas dilego ke pabrik peleburan besi
baja, seperti Krakatau Steel. Daerah operasi lelaki gaek ini, konon, mencakupi
pelabuhan yang bertebaran di sepanjang pantai Pulau Jawa, termasuk pelabuhan
Tanjungpriok, Jakarta. Benar begitu? "Saya tidak pernah bergerak di bidang
perdagangan besi tua," kata Sukri kepada KONTAN.
Berbicara gamblang dan terbuka, Sukri tua belum tampak letih membesarkan
belasan usahanya. "Semua bidang ingin saya kerjakan. Saya juga tertarik
untuk menjadi pejabat karena suka melihat orang pakai dasi," kata Sukri.
Dia mengaku pernah merasa akan menjadi pejabat. Soalnya, sebagaimana Eddy
Tansil, pengusaha berdarah Madura ini juga pernah lengket dengan mantan
Ketua DPA Sudomo. "Saya minta menjadi pejabat kepada Pak Domo, tapi tidak
diberi. Ya, saya minta bisnisnya saja," katanya.
Dengan bantuan Sudomo, Sukri mendirikan CV Seri, distributor pupuk
Sriwijaya. Setelah itu, tahun 1985, di Surabaya ia mendirikan PT Agra Paripurna,
yang bergerak di bidang perumahan. Selain di kota buaya itu, ia juga membuka
perumahan di kawasan Bangkalan, Madura. Tapi, pil pahit bisnis properti
kudu ia rasakan di sini. Sukri terpeleset dalam spekulasi tanah. Dia sudah
membebaskan 110 hektare tanah ketika bisnis properti anjlok. Apa boleh
buat, tanah yang ketika itu dibelinya Rp 14 miliar, akhirnya terbengkalai.
Modalnya cuma mulut dan telinga
Anak seorang pedagang asal Madura ini mengecap pendidikan di Pondok
Bustanul Ma'mun Genting, Banyuwangi. Kendati cuma jebolan pesantren, kemampuannya
dalam membuka relasi sudah tumbuh sejak menjadi santri. Ia, misalnya, masih
remaja ketika berhasil meyakinkan para kiai untuk membeli kitab dan buku
darinya. Setelah lulus dari pesantren, Sukri memilih tidak menjadi guru
mengaji, tapi berdagang seperti ayahnya. Baginya, bisnis cuma membutuhkan
modal mulut dan telinga.
Makanya, setamat dari pesantren, 1947, Sukri menggeluti bidang pengolahan
ikan pindang dan kain sarung di Madura. Di tahun pertama, ketika usianya
menginjak 22 tahun, ia sudah mampu mengadakan perdagangan dengan daerah
di Jawa Timur. Sebagai laskar, Sukri pun pernah membantu menyelundupkan
senjata dari Semarang ke Pamekasan, Madura. Setelah digelutinya selama
12 tahun, usaha ikan pindang akhirnya ditinggalkan. "Kalau usaha pengolahan
ikan pindang tetap dipegang, saudara-saudara saya pasti kalah bersaing,"
katanya.
Dengan modal tanah seluas dua hektare dan uang Rp 150.000, Sukri berkecimpung
di bidang perdagangan hasil bumi, seperti beras, gaplek, jagung, kedelai,
dan kacang. Daerah pemasarannya mencakup kawasan Jawa Tengah dan Barat.
Di sini, Sukri mulai berkenalan dengan yang namanya KKN (korupsi, kolusi,
dan nepotisme). Ia, misalnya, tak sungkan-sungkan "menyuap" pejabat PJKA
agar barang dagangnya bisa diangkut dengan kereta api. "Saya berani membayar
ongkos dua kali lipat dari pedagang lainnya," kata Sukri.
Yang tampak menonjol pada Sukri, sebagai pengusaha ulung, adalah kemampuannya
membina hubungan. Relasinya bukan cuma para pelanggan dan pedagang, melainkan
juga preman pasar. "Yang penting bagi pengusaha, selain disegani oleh pedagang
dan dipercaya oleh pelanggan, ia juga harus dipandang oleh penjahat," katanya.
Berkat kelincahannya, usaha Sukri berkembang ke berbagai sektor bisnis.
Pada saat gemilang itu, 1970, usahanya sempat mandek. "Saya mempunyai sisi
gelap," kata Sukri, tanpa merincinya.
Sukses setelah "bisnis" politik
Sejak itu, pelan tapi pasti, karena salah urus, usaha Sukri menurun
kegiatannya. Bahkan hampir bangkrut ketika beberapa usahanya macet. Masa
suram berakhir ketika Sukri, 1976, terjun ke "bisnis" politik. Seperti
diakuinya, ketika Indonesia dilanda demam aksi demontrasi, ia kerap diminta
pemerintah untuk melobi pondok-pondok pesantren. Dari bisnis politik inilah
ia kemudian dekat dengan pejabat pemerintah seperti Sudomo. Begitu akrabnya,
menurut Sukri, ia hampir saban minggu terbang ke Jakarta untuk menemui
Sudomo.
Setelah usaha perdagangan hasil bumi ditinggalkan, 1978, ia berkenalan
dengan usaha kayu dan jual-beli emas lantakan. Sukri juga pernah mengimpor
35 kontainer air zam-zam (sekitar 680.000 liter) dari Arab Saudi. Sayang,
bisnis yang telah memberikan keuntungan dari "ongkos angkut" sekitar Rp
750 juta itu distop Menteri Agama Tarmizi Taher. Namun, dari sekian banyak
usahanya, tampaknya CV Seri-lah yang banyak memberikan keuntungan. Perusahaan
ini, saban tahun, dipercaya untuk menyalurkan 150.000 ton pupuk Pusri.
Berapa kekayaannya? Tak satu yang tahu pasti. Tapi diperkirakan mencapai
ratusan miliar rupiah. Kesibukan lain di usia uzur, Sukri masih menyisakan
waktunya untuk kegiatan sosial. Lebaran lalu, misalnya, ia menyedekahkan
Rp 120 juta untuk para fakir miskian. Belum termasuk 2,5% zakat dari penghasilannya.
Sekitar 50 tahun ia bergerak di dunia usaha, Sukri tua masih menyimpan
cita-citanya menjadi seorang pejabat. "Kalau saya diberi kekuasaan (sebagai
presiden), dalam lima tahun saya bisa bebaskan Indonesia dari utang, dan
lima tahun berikutnya Indonesia bisa mengutangi 55 negara miskin," katanya.