back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Opini Senin, 19 April 1999 |
Kompas |
PADA awal Maret 1999 lalu, dalam pembukaan pertemuan Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BMPTSI) di Istana Negara, Presiden BJ Habibie antara lain menyatakan adanya ketimpangan populasi mahasiswa di perguruan tinggi, antara mereka yang belajar di bidang ilmu eksakta di satu pihak, dan di bidang ilmu sosial dan humaniora di lain pihak. Dilihat dari segi jumlahnya, mereka yang belajar di bidang ilmu eksakta dianggap terlampau sedikit (kurang lebih 30 persen di perguruan tinggi negeri, dan 25 persen di perguruan tinggi swasta), dibanding dengan sisanya yang belajar di bidang ilmu sosial dan humaniora.
Sebenarnya pernyataan Presiden tersebut bukan hal yang baru, karena keadaan itu telah berlangsung selama 20 tahun. Keprihatinan itu telah dirasakan oleh pengambil keputusan pendidikan waktu merencanakan peraturan pemerintah tentang perguruan tinggi (PP No 5 Tahun 1980) yang mengharuskan perbandingan antara fakultas ilmu eksakta dan ilmu sosial/humaniora 7:3. Tetapi ternyata keharusan peraturan itu tidak diindahkan, terutama di sektor perguruan tinggi swasta, sehingga pada awal tahun 1990-an 76 persen fakultas yang dibuka adalah di bidang ilmu sosial/humaniora, dan 24 persen di bidang ilmu eksakta.
Fakultas ilmu eksakta pun dipilih yang mempunyai kadar ilmu sosial cukup besar, misalnya jurusan sosial-ekonomi pada fakultas pertanian. Untuk mengoreksi ketidakseimbangan ini, selama tiga tahun yang terakhir Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi memaksakan pengurangan penerimaan mahasiswa baru di bidang ilmu sosial/humaniora, dan menambah jumlah penerimaan mahasiswa baru di bidang ilmu eksakta.
Dalam kurun waktu di mana kehidupan ekonomi tumbuh dengan tingkat yang cukup tinggi (sekitar 7-8 persen setahun antara tahun 1986-1993) daya serap pasaran kerja bagi sarjana termasuk kelompok ilmu eksakta pun cukup rendah. Mengapa? Karena tingkat teknologi di semua sektor produksi (dengan beberapa perkecualian) masih rendah, dan teknologi itu dibeli sebagai barang jadi dari luar negeri. Untuk mengoperasikan teknologi rendah siap pakai dari luar negeri itu tidak memerlukan tenaga pikir (brain power) yang bermutu tinggi; lulusan pendidikan sarjana sudah terlampau tinggi.
Kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) belum berkembang baik di sektor industri swasta maupun di instansi pemerintah. Pelacakan pascastudi mahasiswa yang belajar ilmu eksakta seperti matematika, fisika, kimia, biologi, astronomi, peternakan, pertanian, kedokteran hewan, dokter gigi, teknik sipil, arsitektur, geodesi dan sebagainya menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka tidak bekerja di bidang ilmunya. Bagi mereka yang biasa berpikir berdasar konsep cetak biru pembangunan, ini merupakan pemborosan. Kalau di seluruh dunia orang berpikir pendidikan mengikuti kebutuhan masyarakat (demand driven education), kita masih terjerat pada konsep pendidikan mengikuti reka-rekaan pejabat. Dari data di seluruh dunia menunjukkan bahwa perencanaan pendidikan lebih banyak melesetnya daripada berhasilnya. Kalau banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur, para pejabat keluar dengan ide atau rekaan baru lagi: Berikan pendidikan wiraswasta di perguruan tinggi! Para lulusannya supaya tidak bergantung pada upah atau gaji, tetapi dapat menciptakan pekerjaan sendiri. Berapa modal awal untuk berusaha, dan dari mana modal itu? Tidak ada yang memberitahukan.
Semakin banyak informasi yang tersedia semakin baik. Biaya pendidikan memang mahal; jangan mereka atau orangtuanya dibiarkan kebingungan seperti membeli kucing dalam karung. Untuk dapat menyediakan informasi yang lengkap, rinci, dan akurat penyelenggara pendidikan tinggi perlu bekerja erat dengan dunia usaha dan industri. Proses pendidikan ganda (di kampus dan industri) bukanlah ide yang buruk.
Hal lain yang erat hubungannya dengan pilihan bidang studi, adalah teknik bagaimana pendidikan diselenggarakan. Teknologi pendidikan telah berkembang dengan pesat. Pendidikan jarak jauh, bahkan lintas negara lewat internet telah tersedia. Pemerintah sesudah melewati batas tertentu tidak dapat lagi mengendalikannya, seperti arus perputaran uang atau aset di pasar modal internasional. Sekarang orang bisa belajar program studi Harvard di Tokyo, atau program studi Carnegie-Mellon di Paris. Sudah pasti ada petualang-petualang pendidikan yang ingin menyalahgunakannya. Yang penting bukan melarang dan mengancam (yang ternyata tidak efektif), tetapi menyebarluaskan penerangan kepada masyarakat tentang duduk perkaranya secara jelas.
Kembali pada masalah ketidakseimbangan partisipasi mahasiswa di bidang ilmu eksakta dan ilmu sosial/humaniora, kiranya masih akan berlanjut seperti sekarang juga, sampai lapangan kerja yang memberi penghasilan yang layak terbuka bagi mereka. Kalau tidak ada kesempatan yang terbuka, pasti mereka akan pindah jalur. Data dari program magister manajemen yang bermutu di negeri ini menunjukkan bahwa calon pesertanya didominasi oleh para sarjana teknik, ada yang sudah bekerja, tetapi lebih banyak lagi yang masih menganggur.
(* Sukadji Ranuwihardjo, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dan mantan Ketua Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.)