back
Serambi MADURA https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long e-Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Daerah
Kamis, 12 April 2001
KOMPAS


Dari Sanggau Ledo hingga Sampit

HAJI Abdullah (53), tokoh masyarakat Madura di Kalimantan Barat nyaris tidak sanggup bicara ketika dimintai pendapatnya soal konflik etnis yang berkobar di Kalimantan Tengah (Kalteng). Tanpa sadar dia pun meneteskan air mata seolah meratapi kepiluan, kepedihan, serta malapetaka yang tak henti-hentinya diderita sesamanya warga Madura yang berdomisili di Pulau Kalimantan.

Kesedihan Abdullah cukup beralasan. Karena, sejak Desember 1996 secara beruntun warga Madura empat kali menghadapi pertikaian antar-etnis yang sangat dahsyat dan memilukan, mulai dari Sanggau Ledo (Kabupaten Sambas/ Kalimantan Barat) pada Desember 1996. Dari sana, pertikaian dengan etnis Dayak ini terus meluas ke sejumlah kecamatan lain dalam Kabupaten Sambas, Pontianak, dan Kabupaten Sanggau. Lalu, pertikaian itu berakhir 28 Februari 1999. Korban yang tewas diperkirakan sedikitnya 350 orang. Ribuan tempat tinggal hangus dibakar.

Belum tuntas masyarakat dari kedua etnis melakukan rekonsiliasi dan rehabilitasi psikis, tiba-tiba kasus yang sama berkobar lagi di Desa Parit Setia yang juga masih di Kabupaten Sambas pada 19 Januari 1999. Setelah itu, situasi keamanan pulih kembali. Namun, 22 Februari 1999 konflik etnis Melayu-Madura ini meletus kembali di Pemangkat, lalu disusul 16 Maret 1999 di Samalantan yang melibatkan etnis Dayak dengan Madura.

Sejak itu, emosi massa etnis Melayu dan Dayak sulit dibendung lagi. Pertikaian mulai berkobar ke hampir seluruh wilayah Kabupaten Sambas. Sedikitnya 500 warga dari etnis yang bertikai tewas dibunuh. Semua rumah dan tempat usaha milik warga Madura dirusak dan dibakar. Kurang lebih 68.934 jiwa terpaksa diungsikan ke berbagai lokasi di Kota dan Kabupaten Pontianak, serta Kota Administratif Singkawang. Bahkan, hingga kini warga Madura itu masih bertahan di lokasi pengungsian, dan belum dapat dipastikan kapan mereka akan kembali ke Kabupaten Sambas.

Bibit permusuhan yang berkembang di Sambas ternyata menyubur pula di Pontianak. Setahun kemudian, yakni pada 25-28 Oktober 2000, pertikaian Melayu-Madura kembali meletus di ibu kota Provinsi Kalbar, Pontianak. Untung saja, penduduk setempat secara bersama-sama tanpa membedakan etnis langsung meningkatkan pengamanan di wilayah permukiman masing-masing sehingga kerusuhan tidak meluas dan dapat dikendalikan. Kendati demikian, sekitar 17 orang tewas, puluhan becak serta kios milik warga Madura dibakar massa.

Dari Kalbar, pertikaian antara penduduk asli Kalimantan dengan Madura menjalar hingga ke Kalteng dengan meletusnya tragedi Sampit pada 18 Februari 2001. Tragisnya lagi, konflik di Kalteng tak hanya terkonsentrasi di satu wilayah, tetapi menyebar ke Palangkaraya, lalu Kualakapuas, dan kini di Pangkalan Bun. Dengan alasan penyelamatan jiwa, Pemda Kalteng bersama TNI dan Polri mengevakuasi warga Madura ke Jawa Timur.

Kerusuhan Kalteng juga telah menelan ribuan jiwa. Korban bukan hanya lelaki dewasa, tetapi juga perempuan dan anak-anak. Mereka umumnya sama sekali tidak tahu-menahu persoalannya. Akibatnya, tidak sedikit warga Madura baik di Kalbar maupun Kalteng yang kini menjadi janda, duda, yatim, piatu, dan yatim piatu. Mereka kehilangan harta dan tempat tinggal, sebab hangus dibakar.

"Melihat pertikaian antar-etnis yang tidak habis-habisnya ini, rasanya air mata kami takkan mungkin dapat kering. Apalagi, benih permusuhan sudah ditaburkan ke mana-mana di sebagian besar wilayah Pulau Kalimantan. Sewaktu-waktu dapat meletus, dan sasarannya hanya satu, yakni warga Madura," tutur Abdullah dengan suara terbata-bata.

***

AWAL pertikaian antar-etnis di Kalbar dan Kalteng sebetulnya dipicu oleh persoalan yang sangat sepele. Kerusuhan Sanggau Ledo, misalnya, dipicu oleh adanya kecemburuan seorang pemuda Madura, sebab pacarnya diajak menari oleh seorang pemuda Dayak dalam suatu pesta pernikahan. Kecemburuan itu diluapkan dengan menikam pemuda Dayak hingga tewas sehingga menimbulkan kemarahan keluarga korban.

Pertikaian di Parit Setia berawal dari seorang warga bernama Hassan yang kedapatan mencuri, lalu dihajar warga setempat. Tindakan penduduk Parit Setia ini tidak diterima keluarga Hassan, lalu tepat pada hari Idul Fitri, 19 Januari 1999, ratusan warga Madura menyerang perkampungan Parit Setia, mengakibatkan tiga warga (Melayu) tewas.

Sedangkan tragedi berdarah di Pemangkat pada 22 Februari 1999, disebabkan ulah Rodi bin Muharap (Madura), penumpang bus dari Singkawang yang tidak mau membayar. Saat ditagih Bujang Lebik bin Idris, kernet bus yang ditumpangi Rodi, dia malah membacok Bujang hingga tewas.

Sementara itu, kerusuhan di Samalantan pada 16 Maret 1999 juga dimulai dari kasus yang sangat sepele. Saat itu 13 pemuda setempat (Dayak) yang baru pulang kerja menggunakan sebuah mobil, dicegat warga Madura di Desa Perapakan (Pemangkat), lalu seorang di antaranya dibunuh.

"Jika demikian, mengapa bukan orang yang bersangkutan saja yang dikejar dan dibunuh? Mengapa kami yang tak tahu-menahu akar masalah, atau tidak pernah terlibat dalam kegiatan kejahatan harus menanggung deritanya. Ayah, ibu, suami, anak, istri, kakak, dan adik kami harus tewas dibunuh. Kami pun diusir, tidak boleh lagi menetap di tempat tinggal semula," kata Mas'un (22), yang putrinya berusia dua tahun tewas dibunuh dalam kerusuhan Sambas.

***

LH Kadir, pemuka masyarakat Dayak di Kalbar melihat ada empat hal dasar yang selama ini kurang dipahami masyarakat Madura yang berdomisili di Kalimantan. Pertama, bagi masyarakat adat Kalimantan, khususnya etnis Dayak, senjata tajam sangat dilarang keras dibawa ke tempat umum. Menemui ataupun bertamu ke rumah orang lain dengan membawa senjata tajam ditafsirkan sebagai ancaman atau ajakan bertempur.

Senjata tajam juga tidak diperkenankan mencederai atau melukai orang lain, khususnya anggota masyarakat adat Dayak. Apabila hal itu terjadi, pelakunya wajib membayar denda adat yang disebut pemampul darah. Jika korban yang dilukai itu tewas, maka pelaku dikenai hukum adat pati nyawa. Namun demikian, kalau tindakan mencederai orang lain itu dilakukan berkali-kali oleh kelompok yang sama terhadap kelompok masyarakat yang sama pula, persoalannya bisa menjadi lain. Kasus yang tadinya hanya sebatas individu, berubah menjadi masalah kelompok sosial, karena dianggap sebagai pelecehan terhadap adat.

Semangat solidaritas dalam menghadapi segala gangguan tercermin dalam simbol adat yang disebut "mangkok merah" (Dayak Kenayan) atau bungai jarau (Dayak Iban). "Apabila simbol ini sudah bergerak, maka keadaan bisa menjadi lain. Pertikaian kolektif pun tidak terelakkan lagi," jelas Kadir.

Kedua, dalam tradisi penduduk asli Kalimantan, mencuri barang orang lain dalam jumlah besar adalah tabu. Alasannya, menurut adat dan kepercayaan masyarakat setempat, barang dan pemiliknya telah menyatu; ibarat jiwa dan badan. Dengan demikian, apabila barangnya diambil tanpa izin, diyakini bakal mengganggu seluruh jiwa keluarga pemilik. Sebagai konsekuensi, pemilik barang akan sakit, bahkan tidak tertutup kemungkinan meninggal.

Ketiga, pinjam-pakai tanah antarpenduduk baik di dalam maupun di luar komunitas masyarakat adat tanpa pamrih merupakan hal yang lumrah. Dalam peminjaman itu biasanya hanya didasarkan pada saling percaya tanpa disertai surat perjanjian. Namun, pola ini cenderung dilanggar oleh warga pendatang, khususnya etnis Madura.

Ketika pemilik hendak mengambil lagi tanahnya, sering mendapat reaksi yang kurang simpatik dari peminjam. Bahkan, peminjam pun mengklaim tanah itu adalah miliknya, sebab dia yang menggarap. Mengingkari perjanjian lisan, dalam hukum adat Dayak disebut balang semaya (ingkar janji) atau penipuan. Hukumannya setimpal dengan perampasan hak orang lain dengan kekerasan.

Keempat, dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian harus bersifat abadi sehingga hanya dilakukan sekali oleh kelompok yang bertikai. Pelanggaran terhadap perjanjian damai dinilai sebagai wujud pengkhianatan sehingga ikrar yang diucapkan sebelumnya sebatas demi adat. Pelanggaran tersebut dikategorikan sebagai pelecehan adat sekaligus pernyataan permusuhan oleh semua anggota komunitas dari pelanggar perjanjian.

Upacara adat perdamaian yang digelar bukan hanya bernilai adat, tetapi juga moral sekaligus mengandung unsur magis-religius. Hal itu disebabkan perjanjian disaksikan penguasa alam semesta atau dalam bahasa setempat disebut Betara atau Jubata. Karenanya, perdamaian yang digelar setelah pelanggaran itu takkan pernah efektif lagi hingga kapan pun.

"Buktinya, hingga kini kerusuhan Dayak-Madura sepertinya sulit berakhir. Karena perjanjian damai pertama yang dibuat tahun 1959 telah dilanggar warga Madura," kata Kadir yang melihat kunci penyelesaian konflik kedua etnis ada pada kesungguhan seluruh lapisan masyarakat Madura untuk beradaptasi dan berperilaku sesuai tradisi serta adat warga Kalimantan. Tanpa didukung kesadaran itu mustahil perdamaian abadi dengan warga asli Kalimantan akan terwujud.

***

KEEMPAT hal yang diungkapkan Kadir ini diakui Abdullah. Bahkan, menurut dia, masyarakat Madura yang telah lama berdomisili di Pulau Kalimantan sudah sangat paham dengan adat dan tradisi penduduk asli, serta menghormati dan menghargainya. Sehingga, jarang terjadi konflik atau permusuhan dengan penduduk asli.

Namun, satu hal yang dilupakan adalah tidak pernah memberi tahu adat serta tradisi masyarakat Kalimantan kepada keluarga dan sesama yang baru datang dari Madura. Bahkan, mereka itu dianggap baik dan diperlakukan sebagai malaikat. Padahal, tanpa disadari ada di antara mereka yang preman atau pelaku kejahatan di Jawa Timur.

Tidak mengherankan, kebiasaan serta perilaku yang dilakukan di Madura pun tetap dipraktikkan, sekalipun bertentangan dengan adat dan tradisi setempat. Tragisnya lagi, begitu diingatkan oleh warga asli yang berbeda etnis, bukannya diterima untuk diperbaiki, tetapi dibalas dengan bacokan senjata tajam. Perbuatan mereka membuat warga Madura lainnya yang tak tahu-menahu akar persoalan harus menderita pembalasan dari keluarga atau kerabat korban.

Maka, ke depan, masyarakat Madura di Kalimantan harus lebih selektif terhadap sesama atau keluarganya yang datang dari Madura. Apabila ada warga Madura yang tak mau diatur, mereka akan diserahkan kepada polisi untuk dipulangkan atau dihukum. Peran Ikatan Keluarga Madura (Ikamra) pun sepantasnya tidak sebatas mendata warga Madura, tetapi juga mengingatkan dan menyadarkan anggotanya untuk memahami tradisi serta adat masyarakat Kalimantan.

"Bahkan Ikamra pun wajib menindak warga Madura yang bersalah atau mengganggu keharmonisan sosial dengan etnis lain. Hanya dengan cara ini permusuhan dengan masyarakat asli dapat berubah menjadi persaudaraan sejati. Apalagi, orang Dayak pun bukan tipe pendendam," ujar Abdullah yang kini menjadi anggota DPRD Kabupaten Bengkayang, Kalbar. (Jannes Eudes Wawa)

Berita daerah lainnya: