Republika
Ahad, 16 April 2000
Pengungsi Sambas Menanti Ketidakpastian
Seorang ibu terbengong di atas tumpukan kayu. Di depannya tungku masak menyala. Sebuah panci berisi beras terpanggang di atas tungku. Sekeliling perempuan paruh baya itu tumpukan pakaian. Beras, kardus, bantal, piring, gelas dan panci masak bercampur jadi satu.
Ny Marsiah, wanita itu, tak terusik oleh riuh dan gemuruh warga pengungsi menyambut kedatangan ibu negara Ny Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid di Gelanggang Olah Raga Pangsuma Pontianak Kalimantan Barat pertengahan pekan silam. Tatapannya kosong. Lewat tatapan itu, dia seolah ingin menyampaikan pesan bahwa tak banyak yang bisa dia harap dalam hidupnya. Dia bahkan tak tahu sedang menunggu apa dan siapa.
Gelanggang Olah Raga Pangsuma, merupakan satu dari enam tempat penampungan korban kerusuhan Sambas Kalbar di Pontianak. Letaknya 145 km dari Sambas, tempat kerusuhan. Kerusuhan Sambas, terjadi awal tahun 1999, merupakan satu pertikaian etnis yang masih lekat dalam ingatan. Ketidakmanusiawian manusia terjadi di kerusuhan ini.
Selain Pangsuma, korban kerusuhan antaretnis di Sambas ditampung di Posko Kemanusiaan Universitas Tanjung Pura, asrama haji, GOR Bulutangkis, GOR Sultan Syarief, Gudang Pak Guntung dan Wajo (kabupaten Pontianak). Seluruh tempat itu menampung 3.383 kepala keluarga atau 18.934 jiwa. Selain yang menempati tempat pengungsian, 22.000 jiwa lainnya tersebar di berbagai kabupaten dan kotamadya di Kalimantan Barat.
Seluruh tempat yang ditempati pengungsi itu sudah tak tampak lagi bentuk asalnya. Gelanggang olah raga tak tampak lagi sebagai tempat pertandingan. Asrama haji pun tak tampak sebagai tempat karantina calon jamaah haji. Bahkan jamaah haji tahun ini tidak disinggahkan di asrama haji ini melainkan meminjam tempat lain.
Bagian dalam gedung olah raga yang tampak seperti aula tak jelas lagi wajahnya. Palang kayu melintang di sana sini untuk tempat pakaian. Peralatan memasak terhampar di seluruh ruang. Onggokan pakaian di mana-mana. Masih tampak pula palang kayu yang sengaja dibuat untuk ayunan tempat tidur bayi. Ratusan orang tertidur hanya beralaskan kayu tripleks. Anak balita bertelanjang dada dan kaki lalu lalang di segala pojok.
Bau tak sedap menusuk hidung. Udara pengap bercampur aroma keringat orang telanjang dada kepanasan dan asap dari kompor dan tungku yang masih menyala.
Di bagian luar, nyaris tak ada halaman tersisa. Bahkan lapangan bola disulap jadi perkampungan mini dan kumuh. Bedeng kayu berderet. Atapnya bukan genteng melainkan daun rumpia. Berwarna kekuningan dari kayu, rumah-rumah panggung mungil itu memenuhi halaman dan areal parkir gedung olah raga.
''Kami tak lagi punya tempat untuk pertandingan olah raga,'' kata Gubernur Kalimantan Barat Aspar Aswin. Dan sejak digunakan untuk menampung pengungsi, tak ada lagi event olah raga yang bisa digelar. Sementara fasilitas olah raga memburuk dan lapuk karena tidak terawat.
Banyak pihak menyalahkan kelalaian Pemda atas berdirinya gubuk mungil di sekeliling gelanggang olah raga itu. Ketua DPRD Kalbar termasuk salah satu di antaranya. Namun dia sendiri akhinya mengaku tak bisa berbuat banyak dengan alasan perbedaan budaya. Warga keturunan Madura, kata ketua DPRD termasuk agak kukuh pendiriannya. Dan itu kerap jadi kendala untuk dialog.
Kerusuhan Sambas memang sudah berakhir satu setengah tahun lalu. Tapi imbasnya masih sangat terasa. Satu setengah tahun, warga Sambas keturunan Madura itu berdiam di lokasi pengungsian. Tak jelas lagi mau dikemanakan mereka.
Ratusan balita tampak mulai kekurangan gizi. Perut buncit, mata menonjol dan rambut jarang menandakan kelangsungan hidup balita itu terancam. Mengingat lamanya waktu tinggal di pengungsian kondisi itu jadi tampak wajar. Tapi bisakah mereka didiamkan?
Sarana kesehatan di tempat pengungsian jauh dari memadai. Air bersih jadi barang mahal. Warga pun menggunakan air parit yang mulai menghitam untuk keperluannya kecuali untuk minum. Karena itu para pengungsi banyak menderita sakit kulit.
Udara pengap di aula yang luas juga bukan kondisi yang wajar. Ratusan bahkan ribuan orang hidup bercampur baur tanpa sekat dan ruang terbuka. Maka penyakit saluran pernafasan juga mewabah.
Ditambah lagi dengan pasokan makanan diberikan ala kadarnya. Satu kepala keluarga memperoleh 50 kg beras untuk satu bulan. Untuk keluarga besar tentu itu tak cukup. Kekurangannya harus dicari sendiri. Pasokan makanan bahkan pernah terhenti. Baru didatangkan lagi setelah PWNU dan World Vision turun tangan.
Kehidupan di tempat pengungsian warga Sambas keturunan Madura tampak seperti tanpa harapan. Tidur-tiduran tanpa kenal waktu bagi orang dewasa. Bermain juga tanpa kenal waktu bagi anak-anak. Tak ada pekerjaan. Tak ada pendidikan. Dan satu setengah tahun berlalu.
Gubernur Kalimantan Barat Aspar Aswin mengaku tak berpangku tangan untuk urusan ini. Berbagai alternatif penyelesaian bagi warga keturunan Madura yang telah beranak-pinak di Sambas ditawarkan. Di antaranya adalah menawari penduduk asal Madura pindah ke lokasi lain atau relokasi. ''Kami menyediakan beberapa tempat termasuk menyisipkan mereka di perkampungan penduduk di Pontianak ini.''
Beberapa tempat, Wajo, Tembang Kacang, dan Air Baru, disediakan bagi pengungsi. Selain itu mereka juga disisipkan di tengah perkampungan penduduk seperti di sekitar kotamadya Pontianak. Hanya saja tak banyak warga di pengungsian yang tertarik. ''Mereka tetap berniat kembali ke Sambas.'' Pada akhirnya, pengungsi ini tetap jadi pengungsi.
Dan ini membuat Pemda Kalbar kewalahan. Selain dana, masalah utama yang tak mudah diselesaikan adalah keinginan kuat sebagian besar pengungsi untuk kembali ke Sambas. Sesuatu yang sangat sulit dilaksanakan karena warga asli Dayak dan Melayu masih menolaknya. ''Sampai sekarang sulit sekali mencari kesepakatan antara warga Sambas (Melayu dan Dayak) dan warga keturunan Madura.''
Bahkan warga asal Dayak masih memerangi setiap warga keturunan Madura yang diam-diam kembali ke Sambas. ''Aparat keamanan sulit sekali mengambil tindakan.''
Di sisi lain, katanya, membiarkan pengungsi mendiami fasilitas umum dan sosial milik masyarakat juga tak mungkin. Berbagai sarana olah raga yang ditempati pengungsi mulai rusak. Masyarakat tak bisa lagi menikmati gelanggang olah raga yang telah tersulap jadi perkampungan penduduk. Sedang kondisi kesehatan fisik dan mental pengungsi pun melemah akibat tinggal di gedung terbuka secara massal.
Jadi untuk sementara waktu, kata dia, Pemda Kalbar masih bertahan pada penyelamatan sporadis. Bantuan pangan yang sempat terhenti dilanjutkan setelah ada kerja sama dari World Vision dan PWNU. Dialog pun masih diusahakan lagi meski tak juga tercapai kesepakatan.
Sementara bagi penduduk Sambas keturunan Madura, Pemda Kalbar diskriminatif. Itu karena mereka, secara etnis, tetap dipandang sebagai pendatang. Kendati sebetulnya, sebagian besar lahir dan besar di Sambas. ''Saya bahkan tak kenal dan tak pernah datang ke Madura,'' kata Sariah, seorang pengungsi yang berusia 32 tahun.
''Pemerintahnya kan orang sini. Jadi kami pasti dipinggirkan,'' kata Edi, seorang pengungsi. Dia menuduh pemerintah daerah setempat berpihak pada Melayu dan penduduk Dayak dalam penyelesaian pertikaian antar etnis tersebut. Kami, kata Edi, minta dipertemukan secara langsung dengan warga Dayak. Tapi Pemda setempat tak bisa merealisasikannya.
Kurang pedulinya Pemda setempat pada pengungsi, kata Edi, juga terlihat dari tidak adanya perlindungan dan jaminan bagi harta benda mereka yang ditinggal di Sambas. ''Rumah kami musnah. Tanah kami entah apa masih bisa dipertahankan.''
Sedang untuk kembali ke Sambas, meski sangat ingin, dia dan keluarganya tak bisa. Beberapa yang nekat kembali ke sana tak pernah kembali dengan selamat. ''Keamanan saudara kami yang pulang ke sana pun tak terjamin.''
Karena itu warga bertahan di tempat pengungsian. Dan mereka bertekad akan tetap berada di pengungsian hingga ada kepastian bisa kembali ke Sambas, memiliki penghasilan tetap di samping jaminan keselamatan dan keamanan harta benda yang ditinggalkan. ''Padahal kerusuhan sudah satu tahun setengah berakhir.''
Edi, ayah tujuh anak, memiliki dua hektar ladang di Sambas. Pekerjaannya sehari-hari bertani. Bergabung di gelanggang olah raga Pangsuma, dia memboyong istri dan tujuh anaknya yang masih kecil-kecil. Tak ada sekat khusus yang memisahkan dia dan 3.313 pengungsi lainnya. Mereka tidur bersama di ruang gelanggang yang sebelumnya lapangan basket. Jika ada sekat pemisah, hanyalah tumpukan beras, alat masak dan pakaian.
Sekarang, Edi tak punya pekerjaan tetap. Jika ada yang meminta bantuan tenaganya untuk tukang atau buruh bangunan, dia bekerja. Tapi sebagian besar waktunya dia habiskan bengong di dalam gelanggang olah raga Pangsuma. ''Paling cari kangkung untuk makan atau dijual.''
Anaknya pun tak lagi sekolah. Mereka hanya mengikuti kelas pengajian di gelanggang. Seorang ustad yang juga pengungsi bersedia mengajarkan anak-anak membaca Al Quran. Itulah sekolah formal mereka.
''Saya ingin pulang,'' kata Edi singkat. Dia ingin mengolah lagi ladangnya yang ditinggalkan di Sambas. Meski dia tak yakin apakah ladang itu masih ada dan bisa diolah. ''Soalnya rumah kami musnah semua. Bukan cuma dirobohkan tapi digergaji kayunya dan dibakar sisanya.''
''Tapi itu jika mungkin. Jika tidak, biar kami di sini saja. Seperti saudara kami yang lain.'' Masalahnya sampai kapan Edi dan pengungsi lainnya bertahan. Tak ada batas yang pasti.
atas