Sabtu, 27 Februari 1999 | Kompas |
"Cuma ada pabrik es di sini," tutur Bupati Sampang Fadhilah Budiono, yang mencuat namanya karena kasus pemilihan umum (pemilu) ulang pada tahun 1997.
Entah dari mana informasi yang menyebutkan, ada 11.000 industri kecil di Madura. Data-data perlu dikaji lagi. Madura belum banyak beranjak dari usaha agro-ekonomi tembakau dan garam. Bukan listrik melainkan terik matahari yang menjadikan Madura sebagai produsen 70 persen kebutuhan garam nasional.
Madura produsen utama tembakau krosok maupun rajangan, bahan baku rokok kretek. Di Kabupaten Sumenep berdiri dua bujur gudang besar tembakau milik pabrik rokok PT Gudang Garam Kediri. Kualitas kretek dan kekeringan tembakau Madura hanya bisa disaingi oleh tembakau Virginia asal Bojonegoro. Pada musim penghujan ini, pusat-pusat pasar tembakau di kota-kota kecamatan, sepanjang Sumenep hingga Bangkalan, termasuk Jrengik hingga Blega, masih lengang.
MUNGKIN itu sebabnya pejabat Pertamina tenang di saat seluruh Madura mestinya panik. Yang langsung bereaksi hanyalah pasar minyak tanah. Itu karena naiknya harga hingga Rp 600 per liter pada hari-hari pertama terhentinya aliran listrik. Di Sampang, minyak tanah mencapai Rp 1.000 per liter. Padahal harga eceran tertinggi (HET)-nya cuma Rp 380 per liter, atau Rp 400 per liter di pasaran. Tidak ada gejala lonjakan permintaan solar. Jika diasumsikan mesin-mesin diesel pembangkit listrik milik industri mengkonsumsi solar, mestinya solar juga dicari.
"Tidak perlu ekstra dropping solar. Tambahan kebutuhan hanya minyak tanah, dan masih ada stok minyak tanah hingga 20 hari ke depan," tutur Tata Pandaya, Wira Penjualan BBM Pertamina Unit Pembekalan Dalam Negeri Jawa Timur, saat ditemui di Sampang.
Menurut Kepala Depot Pertamina Sampang, Sakiran, permintaan minyak tanah meningkat 45 persen, dari 290 kilo liter per hari, menjadi 420 kilo liter per hari. Pertamina menurut protokol kesiagaan menyiapkan tambahan 20 persen dari permintaan reguler, yang disebut stok untuk ekstra dropping, dan disimpan di depot.
Pertamina tahu tidak ada genset di Madura, yang membuatnya perlu menambah persediaan solar. Alhasil, terputusnya jaringan kabel interkoneksi listrik Jawa-Bali dengan Madura, yang menghubungkan PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap) Gresik dengan Madura melalui selat Madura itu tak membuat pasar dan ekonomi Madura panik.
Akan tetapi Madura baru benar-benar menikmati listrik interkoneksi dekade 1990-an ini. Begitu kata Mohammad Mochtar, Sekwilda Bangkalan. Sampai tahun 1989, Madura dihidupi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang terpusat di Pamekasan. Setiap kabupaten masih menyimpan PLTD-nya, untuk kebutuhan lokal.
Itu sebabnya, menurut dokumen "Data dan Statistik PLN Distribusi Jawa Timur tahun 1992/1993" pelanggan di empat kabupaten di Madura yang dilayani PLN Cabang Pamekasan hanya mencakup empat persen saja dibanding pelanggan se-Jawa Timur.
Banyak kalangan masih menyimpan sisa kegiatan akibat serba kekurangan listrik semasa PLTD masih beroperasi.
"Masih banyak warga menyimpan mesin genset kecil milik pribadi. Mereka yang terlanjur menjual, sekarang kerepotan," kata Mochtar.
Usaha penyewaan generator listrik masih tumbuh subur. Sewanya, sehari Rp 250.000 tidak termasuk solar dan konsumsi operator. Banyak warga menonton televisi menggunakan aki. Mereka menonton "Liputan 6" SCTV menayangkan berita terputusnya aliran listrik di Madura.
LISTRIK mati, tutur Ibnoe, Kepala SD Palolangan, Kecamatan Kota Sumenep, ketika siswa sedang menghadapi ujian catur wulan pertama. Katanya, "Meski siswa mengaku bisa belajar, tetapi saya tidak yakin. Tidak mudah membiasakan anak belajar dengan penerangan lampu teplok (lampu minyak) setelah biasa dengan lampu listrik."
Memang sektor domestik yang terkena dampak langsung putusnya kabel listrik bawah laut ini. Para ibu rumah tangga harus menambah pengeluaran untuk minyak tanah, dua liter per hari, atau Rp 800. Harga empat lampu teplok, untuk penerangan luar rumah, ruang tamu, kamar, dan dapur Rp 30.000. Belum lagi harus membeli setrika arang, arang, dan tali sumur timba pengganti pompa air listrik. Riza (30-an), warga Pamekasan, menyalakan lampu TL dengan aki mobil, agar anaknya yang bersekolah kelas tiga SD bisa belajar dengan baik.
Tak siap dengan generator membuat pengusaha cetak foto harus mengorderkan pesanan cuci dan cetak foto ke Surabaya, sementara kegiatan bisnis fotokopi dan wartel lumpuh. Pada pekan pertama hotel-hotel di empat kota belum menerima tamu. Tingkat kunjungan tamu turun drastis karena kegiatan ekonomi mandeg, dan harus mengeluarkan ongkos pembelian solar untuk menggerakkan generator listrik. Di Sumenep, sampai Selasa malam, hanya satu hotel yang bisa menerima tamu karena memiliki generator berikut rumahnya.
"Tarif tidak bisa kami turunkan, meski AC tidak menyala. Generator hanya untuk TV, pompa air, lampu, airphone. Telepon belum lancar," tutur Fadil (30-an), pengelola Hotel Wijaya seraya meminta maaf karena suara generator sangat keras mengganggu penghuni hotel.
Tetapi perhotelan hanya menggunakan seperseribu persen beban yang mengalir di Madura, tidak seperti yang terekam dari statistik PLN Jatim. Pengguna beban daya terbesar, sekaligus penderita kerugian terbesar, tetap rumah tangga yang mencapai 72 persen. Tidak ada kegiatan industri yang dibuat lumpuh, kecuali sektor domestik. Terputusnya jaringan kabel bawah laut itu, hanya membuat ibu rumah tangga di Madura kehilangan kegemarannya menikmati sinetron televisi swasta. (dody wisnu pribadi)
top | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |