back
Serambi KAMPUS PadepokanVirtual
Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

OPINI
Kamis, 30 Desember 1999
Surabaya Post


Surabaya Menuju Abad XXI:
Sebuah Skenario Masa Depan

oleh Johan Silas

Saat-saat terakhir memasuki abad XXI/milenium, banyak pihak mencoba membuat kajian dan prediksi tentang keadaan mendatang. Yang realistis, mencoba melihat lebih detail tentang keadaan lima tahun ke depan dan sedikit gambaran umum lima tahun berikutnya. Hanya pola seperti ini yang dapat dipakai untuk membuat visi bagi kota seperti Surabaya.
Ada tiga alasan mengapa skala waktu yang dipilih lima tahunan. Pertama, karena legitimasi pemerintahan yang ada hanya sebatas konsolidasi setelah melewati tahap peralihan semasa Presiden Habibie. Dikatakan konsolidasi karena pranata agar sebuah orde dapat berfungsi baik sedang ditata seperti tampak pada pembentukan berbagai "dewan" serta kabinet yang menghadapi proses bongkar pasang.
Alasan berikutnya, penataan ekonomi makro yang jauh dari rampung. Jadi sulit membuat kebijakan ekonomi lokal yang akan dipengaruhi oleh ekonomi nasional. Alasan terakhir, berkait dengan proses otonomi daerah yang belum jelas bentuknya.

Tantangan dan Peluang

Tahun-tahun terakhir banyak pihak membahas visi, misi, dan strateginya. Banyak visi dibuat sekadar ikut-ikutan tanpa pemahaman atas maknanya. Visi adalah gambaran dari suatu keadaan di masa depan. Visi tergantung dari di mana saat itu berada, ke arah mana memandang dan berapa jauh jarak pandangan.
Untuk merumuskan Visi Surabaya harus sadar bahwa saat berada pada tahap konsolidasi untuk bangkit setelah melewati tahap panik saat terjadi krisis; dilanjutkan tahap adaptasi yang kini hampir usai.
Seperti dijelaskan di atas visi yang hendak dilukis adalah ke keadaan lima tahun ke depan dengan wawasan lima tahun berikutnya. Dari sini Visi Surabaya dilihat dari tiga dimensi berikut.
Pertama, dimensi masyarakat, artinya masyarakat kembali sebagai pemilik kotanya dan mulai menempatkan diri pada bagian kota yang paling pas baginya.
Masyarakat perlu membentuk forum untuk berdialog dan merumuskan aspirasinya sebagai pemilik agar dilaksanakan pemerintah kota yang dipilihnya. Bila ini berhasil, maka akan tampak masyarakat menikmati berbagai lapangan, bersantai di Jl. Urip Sumoharja, Tunjungan, Blauran, dan lainnya. Untuk itu trotoar dibenahi kembali dan semua lapangan dikembalikan fungsi aslinya.
Kedua, dimensi keberdayaan. Surabaya harus berfungsi kembali untuk memberdayakan seluruh warganya. Tak ada satu orang pun yang melakukan usaha atau kerja yang sah dilarang dengan alasan apa pun juga. Sebagai contoh pedagang kaki lima yang melakukan kegiatan berdagang yang sah tapi di tempat yang "salah", memberi tugas pada pemerintah untuk memperbaiki yang salah (di kaki lima) tanpa mematikan yang tak salah (berdagang).
Ini dahulu dilakukan dengan menetapkan 60 lokasi binaan PKL serta melalui program KIP dan Adipura. Menghidupkan kembali shopping street merupakan jawab yang memberikan manfaat ganda.
Dimensi ketiga adalah wawasan. Dimensi ini bukan sekadar kemampuan melihat ke depan yang sedikit lebih jauh tapi sekaligus menetapkan apa yang harus dilakukan agar masa depan tersebut tercapai dengan baik dan efektif.
Yang menjadi pertanyaan, apakah masalah banjir dan kemacetan lalu lintas tak menjadi prioritas visi? Jawabnya tidak, sebab hal itu sudah harus menjadi tugas rutin Pemda, termasuk kebersihan dan sebagainya.
Bila ini tak tercapai maka Pemda yang bersangkutan nilainya merah. Untuk melaksanakan visi ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Keterbatasan sumberdaya bukan masalah serius. Dari survey di kampung, ternyata penghuni kampung cukup tangguh menghadapi krisis, dan banyak yang mampu bangkit setelah menemukan peluang "baru" dari dampak krisis termasuk membuat produk substitusi karena mahalnya barang diimpor seperti cetakan (mould) plastik, mebel, dan lainnya.
Tantangan berat adalah mengubah sikap mental dari semula serba dibimbing dan diarahkan menjadi "tuan" yang harus mengambil inisiatif dan berbuat sendiri demi kota yang maju mencapai masyarakat yang sejahtera.
Untuk lima tahun berikutnya, visi Indamardi masih relevan namun dengan rumusan kualitas yang berbeda. Kegiatan industri lebih ditekankan pada pengelolaan berbagai kegiatan industri yang ada dari Surabaya sampai ke Pasuruan, Tuban, dan sebagainya.
Perdagangan harus dilakukan dalam skala internasional sebagai bagian dari sistem global dan pola perdagangan bebas. Maritim melebarkan lingkup kegiatan sampai mencakup kapal pantai (coaster) dan membangun keahlian di bidang geologi laut agar mampu memanfaatkan tambang di dasar laut yang kaya.
Pendidikan juga bergeser dari pendidikan umum ke pendidikan keahlian (beda dengan kejuruan atau keterampilan).
Dengan mampu merumuskan visi itu, maka terbuka peluang mengambil inisiatif yang terbaik dan dini serta mampu menempatkan diri pada keadaan baru yang berlaku bagi Surabaya. Banyak peluang baru hanya dapat dibuka oleh mereka yang ulet, kreatif, dan tidak cepat putus asa.
Otonomi daerah memberi kesempatan pada semua untuk menciptakan peluangnya sendiri. Tak ada lagi arahan atau petunjuk, apalagi diberi atau dibukakan peluang oleh pemerintah. Walikota harus diberi tugas dengan pemerintahan yang dipimpinnya mendukung dan menciptakan keadaan yang kondusif agar peluang yang sudah dibuka masyarakat menjadi efektif dan berkembang.
Saat ini Surabaya sudah menjadi bagian utuh dari sistem global (globalisasi) dan harus sadar bahwa kota bertanggung jawab dalam memajukan bangsa dan negara.

Tuntutan Abad XXI

Aspek ini hendaknya dibaca dari kepentingan Indonesia dalam jangka pendek tanpa mengesampingkan tuntutan internasional yang terkait dengan kota sebagai sistem global. Tiga ciri utama dari era abad XXI akan makin menonjol, yaitu kemanusiaan, lingkungan, dan persaudaraan.
Peribahasa di Afrika mengatakan, manusia adalah manusia bila ia telah memanusiakan manusia lainnya. Memanusiakan manusia bila manusia menikmakti hak asasi secara utuh, termasuk aspek sosial, ekonomi dan budaya. Sesuai dengan peribahasa itu, hak ini tak dapat dan tak boleh diwujudkan secara parsial atau egoistis baik perseorangan maupun kelompok.
Kemanusiaan berdimensi global makin jelas, artinya dunia tak lagi dapat dipotong atau disekat atas dasar negara, etnis, atau kepercayaan. Dunia mengawasi apakah kemanusiaan di suatu tempat tak dilanggar atau diingkari.
Soal lingkungan, kini sudah tak perlu diungkap atau dibicarakan rinci masalah lingkungan serta sudah sering dikemukakan tentang rusaknya lingkungan hidup manusia di kota yang akan menjadi bencana dan ancaman bagi manusia sekarang dan mendatang. Yang kini dihadapi lingkungan hidup adalah keadaan yang sudah amat rusak dan masih terus dirusak pihak-pihak tertentu; termasuk ketidakadilan mencapai sumber daya serta masih tak ada sense of crisis di kalangan pejabat, termasuk terhadap lingkungan seperti perusakan taman, lapangan terbuka, dan lainnya.
Sedang aspek persaudaraan kelihatan sebagai sesuatu yang baru. Persaudaraan merupakan dasar dari kultur manusia di mana saja dan menjadi dasar pembentukan PBB serta perangkat yang menjadi bagian dari sistemnya. Aspek persaudaraan harus dilihat sebagai solidaritas luas antarsesama manusia. Aspek ini harus diwujudkan mulai dari tindakan sederhana melalui pengerahan akal dan kemampuan bersama untuk menjalankan tugas mewujudkan kehidupan dan penghidupan manusia yang layak tanpa kecuali.

Masterplan?

Bila semua gagasan itu hendak direalisasikan, maka harus tertuang ke dalam sebuah rencana pembangunan. Saat ini Surabaya tak punya rencana pembangunan (masterplan atau RTRW) yang sah. Kalau ada, maka dasar-dasarnya sudah tak relevan. Sebab semua rencana pembangunan yang disusun sepuluh tahun terakhir amat ditekankan pada pertumbuhan ekonomi bagi sekelompok masyarakat saja. Akibatnya ada banyak bentuk penyelewengan (KKN) dan rakyat biasa menjadi korban.
Ke depan rencana pembangunan harus tertuju untuk memberdayakan semua anggota masyarakat, terutama agar tak menjadi manja dan hanya ingin dilayani. Apakah tugas seperti ini mampu dilaksanakan oleh Walikota Surabaya yang bakal dipilih? Apakah ia juga sanggup mengubah cara pandang masyarakat yang di satu sisi menuntut otonomi penuh, namun di sisi lain tetap minta dilayanai.

Penulis adalah guru besar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS.