Pamekasan Tampil Memikat Lewat Mantan Toddu
Pergelaran Upacara Adat di THR
Surabaya - Surabaya Post
Pergelaran Festival Upacara Adat dalam Gelar Seni Budaya dan Pariwisata Jawa Timur yang dibuka Gubernur Imam Utomo, di Taman Hiburan Rakyat (THR), Senin (21/8), akan berlangsung hingga Jumat mendatang.
Enam kelompok dari lima daerah, tampil pada hari pertama. Peserta dari Pamekasan (Madura) lewat Mantan Toddu' tampil memikat. Peserta lain, dari Surabaya (Sedekah Bumi Desa Made), Mojokerto (Tingkep), Kab. Kediri (Tiban), Kotamadya Kediri (Nyai Dhiwut), dan Kab. Trenggalek menyajikan Nebus Kembar Mayang. Sedangkan peserta dari Malang tidak dapat tampil.
Surabaya lewat beberapa kesenian dan kegiatan warga Made, sempat ditonton Gubernur dan Walikotamadya Surabaya Sunarto Sumoprawiro. Bahkan pembaca narasi, sempat mengatakan, kalau kegiatan ini juga atas bimbingan Cak Narto.
Adat Mantan Toddu', merupakan salah satu upacara yang hidup di masyarakat Pamekasan. Upacara ini diperankan oleh anak di bawah umur. Upacara ini sengaja dilakukan orangtua yang sejak semula berhajat, merayakan putra-putrinya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Diharapkan, anak tersebut akan membawa kebahagiaan. Mantan Toddu', berasal dari bahasa Madura yang berarti "pengantin ditusuk". Artinya, pengantin anak di bawah umur yang ditusuk (ditancapi) berbagai bunga di bagian kepala.
Untuk memeriahkan dan merayakan upacara, sang pengantin diarak keliling kampung atau desa. Sebelum keliling, pengantin yang diperankan Andika, kepalanya ditutup kerudung. Setelah dibuka, kemudian di bagian kepala ditancapi bunga oleh masyarakat secara bergantian.
Setelah mengenakan kacamata hitam. Kemudian dipanggul dan keliling dengan tarian yang memikat. Warga yang dilewati, ada yang memberi bunga, ada pula yang memberi uang. Sebagai simbol orang terpandang, sesepuh menancapkan uang yang sudah terangkai panjang.
Seluruh narasi menggunakan Bahasa Madura yang langsung diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Sehingga penonton mengerti apa yang dimaksud dengan Mantan Toddu'.
Kota Kediri lewat Nyai Dhiwut, menampilkan upacara adat yang dikemasi seperti campursari. Ada cerita dan tarian. Bahkan dialog-dialog yang lucu.
"Sak jerone sesaji iki mau ana rasa kecut iku apa?" kata sesepuh. Kemudian dijawab yang lain, "Itu tadi kotoran asu." Penonton tertawa.
Tentang alat-alat yang dipinjam, seperti wajan, alu, kentongan bambu, tampah, piring untuk pentas, juga diungkapkan. "Ini semua nanti juga dikembalikan," kata seorang pemain sambil menunjuk penonton. "Pendamping saya ini juga pinjam. Sebentar lagi saya kembalikan," katanya sambil menunjuk wanita di sebelahnya.
Cerita Nyai Dhiwut merupakan kesenian tradisional dan merupakan ungkapan kegembiraan petani setelah panen padi. Pria dan wanita berkumpul di suatu tempat, tepat pada malam bulan purnama. Menurut kepercayaan petani, Nyai Dhiwut ikut meningkatkan penghasilan petani.
Sedangkan upacara Nebus Kembar Mayang, seperti juga upacara temu manten. Menggunakan narasi bahasa Jawa krama inggil. Sehingga kurang bisa dimengerti pengunjung, khususnya para remaja. Begitu juga simbol-simbolnya, penonton kurang mengerti. (gim)
|