Aceh Mendesah, Air Matanya Mengalir Sampai Madura
Surabaya - Surabaya Post
Aceh hari ini masih bersimbah darah. Para pengungsi belum pulang ke rumahnya. Anak-anak sekolah telantar. Api terus menyala, membakari kantor pemerintah. Seiring dengan masih menguatnya kehendak untuk "berdiri di atas kaki sendiri." Sementara itu aparat keamanan terus menyisir desa sambil melepaskan peluru. Dan pasukan sipil bersenjata, menggugurkan satu demi satu nyawa polisi.
Dalam situasi Aceh seperti itu, di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta, Kamis (27/4) malam, digelar acara Aceh Mendesah. Melibatkan para seniman dari dalam dan luar Aceh. Sedianya akan dibuka oleh Pidato Kebudayaan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun mendadak batal. Para Paspamres yang sudah bersiaga di TIM sejak sore, membubarkan diri selepas Magrib. Pintu deteksi yang sudah dipasang pun, diringkesi sebelum terpakai.
"Keterangan dari Istana, Gus Dur harus kembali rapat konsultasi ke DPR," ujar Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Syahnagra Ismail kepada Surabaya Post.
Karena itu, acara yang digelar DKJ bersama Kasuha (Kampanye Seni untuk HAM Aceh) tersebut dibuka peluncuran buku bunga rampai Aceh Mendesah dalam Napasku (diambil dari judul puisi penyair Madura D. Zawawi Imron). Disusul orasi Prof T. Jacob, antropolog senior pensiunan dari Universitas Gajah Mada. Disusul pembacaan puisi Rendra, D. Zawawi Imron, Leon Agusta, Fikar E. Weda, Deavis Sanggar Matahari. Serta pembacaan cerpen Hamsad Rangkuti dan Wisran Hadi (Padang). Ditutup Tari Rampak Aceh garapan Noerdin Daud, salah satu penata tari terkemuka Aceh yang kini mengajar di Institut Kesenian Jakarta.
Di depan Gubernur Aceh dan para tokoh Aceh yang hadir antara lain Buya Hasan Metareum (mantan Ketua Umum PPP), Ali Djauhari selaku penerbit Kasuha menjelaskan, upaya penerbitan buku ini tidak ada artinya apa-apa jika dibanding dengan penderitaan yang ditanggung rakyat Aceh selama ini.
"Namun dari pikiran para sastrawan, yang penuh empati dan komitmen kemanusiaan, mudah-mudahan kita mampu merenungkannya," ujar salah satu tokoh muda Aceh ini.
Dari atas panggung hitam, yang berlatar belakang kain merah putih dalam gulungan kawat berdiri, Rendra dalam puisinya menyerukan inilah saatnya duduk bersama menyelesaikan persoalan. Sedangkan Zawawi dalam puisi Aceh Mendesah Dalam Napasnya, meski mengaku belum pernah berkunjung ke Aceh, ia merasa dekat karena Aceh selalu datang setiap hari diantar koran dan televisi.
Dengan mengambil pola sajak Ibu-nya yang sangat terkenal, dengan vokalnya yang lantang, Zawawi menegaskan sikap dan cintanya sesama warga bangsa:
... Jikalau Aceh terluka, Aceh berdenyut dalam denyut nadiku
Aceh mendesah dalam napasku, Aceh berdetak dalam jantungku
memukul-mukul jiwaku, memacu doaku
Dan Aceh kusebut di sela-sela dzikirku ...
Dan kepada orang-orang yang menggunakan lidah sebagai senjatanya (baca kaum politisi. Red), dari tengah pulau garam, Zawawi memperingatkan agar berzikir. Kenyataan yang dilihat mata dan dirasakan orang banyak, oleh lidah dikatakan lain: yang terlihat gunung, tapi disebut laut, racun disebut obat, maling dibilang guru. Sampai akhirnya ia bertanya:
Kenapa bohong jadi silatmu
Mengapa setan jadi imanmu?
(Lidah, Berzikirlah).
Sebuah ironi kemanusiaan, bila lidah-lidah demikian itu tidak segera insaf, bahkan terus mencla-mencle dan menggunakan bahasa kekuasaan peluru untuk mengucapkan dor. Dan kalau demikian halnya yang terjadi, mari kita simak puisi KH A. Mustafa Bisri: Sajak Dor-Dor Hure Dua yang semalam tidak sempat dibaca:
Dor!
Hidup Ketuhanan Yang Maha Esa!
Dor! Dor!
Hidup Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!
Dor! Dor! Dor!
Hidup Persatuan Indonesia
Dor! Dor! Dor! Dor!
Hidup Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
Hidup Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!
Dor! Dor! Dor Pancasila! Dor! Dor!
Aceh Mendesah, air matanya mengalir sampai ke rumah penyair Zawawi Imron di Madura. (Yusuf Susilo Hartono)
|