back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Senin 22 Maret 1999 |
Kompas |
MAS'UN (20), tidak mengerti mengapa putrinya, Savitri (2 tahun) dan istri yang dikasihinya, Musrifah (17), serta abangnya, Farid (40), menjadi korban kebrutalan massa. Pada Jumat (19/3) dini hari, kampungnya, Desa Sungaipalai, Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat) dikepung ratusan massa. Puluhan rumah dibakar dan penghuninya dibunuh.
"Kalau ada yang bersalah, mengapa bukan orang bersangkutan saja yang diadili dan dihukum. Mengapa anak, istri, dan abang saya, yang tidak ada kaitan dengan kejahatan, harus ikut menanggungnya?" ujar Mas'un kepada Kompas hari Sabtu dengan suara yang lemah. Pria itu berada di tengah-tengah 1.671 pengungsi di markas Kompi "B" Batalyon Infantri 641 Beruang (Pemangkat). Mas'un jatuh pingsan. Sersan Zakaria menahan tubuhnya agar tidak membentur lantai.
Bukan hanya Mas'un yang kehilangan orang-orang yang dikasihinya dalam kerusuhan di Sambas. Masih ada Sapukri (29) warga Desa Harapan yang kehilangan ayahnya, Mislam (55). Tanya Sapukri, "Ibu saya orang Melayu Sambas. Artinya, saya pun masih memiliki darah Melayu dari ibu. Mengapa saya harus ikut dikejar-kejar?"
Ribuan orang di pengungsian menangisi peristiwa di Kabupaten Sambas yang sudah menewaskan lebih dari seratus orang dan menghanguskan lebih dari seribu rumah di berbagai lokasi itu.
Kerusuhan di Sambas meledak sejak sebulan lalu, tepatnya 22 Februari 1999, akibat pertikaian antara penumpang bus, Rodi bin Muharap (22), dengan kernetnya Bujang Lebik bin Idris. Rodi tak mau membayar, bahkan membacok kernet bus. Insiden itu berlangsung sekitar 10 hari, menewaskan 17 orang dan menghanguskan 70-an rumah.
Setelah itu suasana di Tebas, Pemangkat, dan Sambas, mereda. Tanggal 14 Maret, terjadi bentrokan di Kecamatan Pemangkat, menewaskan empat orang dan melukai empat lainnya. Tanggal 16 Maret, 31 warga Kecamatan Samalantan yang pulang kerja naik mobil dicegat warga Madura di Desa Perapakan, Pemangkat. Satu orang dibunuh, selebihnya selamat. Kerusuhan meluas ke sebelas kecamatan di Kabupaten Sambas, yaitu Pemangkat, Tebas, Sambas, Jawai, Samalantan, Sanggauledo, Selakau, Sungairaya, Sungaiduri, Tujuhbelas, Roban.
Dalam sepekan terakhir ini, massa membawa senjata tajam dan senjata api rakitan dengan ikat kepala kuning dan merah, terlihat di mana-mana. Potongan tubuh tak utuh juga dipajang di sejumlah tempat.
MENGAPA mereka beringas?
Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie MSc, Dekan Fisipol Universitas Tanjungpura Pontianak kepada Kompas hari Minggu mengatakan, kebrutalan massa (Melayu) terhadap warga pendatang (Madura) akibat akumulasi persoalan yang sudah menumpuk, dan tidak diselesaikan segera. Gubernur Kalbar Aspar Aswin menilainya sebagai akumulasi kejengkelan dan kemarahan warga asli Kalbar.
Syarif Ibrahim Alqadrie memberi contoh, insiden berdarah di Desa Paritsetia, Kecamatan Jawai pada hari pertama lebaran (Idul Fitri) 19 Januari 1999 silam. Awalnya, Hasan (Madura), warga Desa Sarimakmur, kepergok mencuri di Desa Paritsetia, lalu dihajar penduduk setempat. Hasan mengadu ke keluarganya, lalu tepat hari Idul Fitri, ratusan orang dari Desa Sarimakmur menyerang perkampungan Desa Paritsetia, menyebabkan tiga warga (Melayu) tewas.
Menurut Alqadrie, insiden ini tidak segera diselesaikan aparat. Hingga sekarang pelaku penyerangan dan pembunuhan belum ditangkap dan diadili. Ia mendesak agar polisi segera mengumumkan pelakunya sudah ditangkap, untuk menenangkan situasi. Dikemukakan, penyerangan saat Idul Fitri itulah yang membuat warga Melayu Sambas sakit hati.
Gubernur Kalbar Aspar Aswin yang sudah belasan tahun bertugas di Kalbar menyebut karakter Melayu sangat terbuka dan akomodatif, sepanjang warga pendatang memahami adat-istiadat dan tradisi setempat. Aswin, yang pernah jadi Komandan Korem di sana, mengatakan, "Banyak warga pendatang yang tidak mau mengerti adat-istiadat masyarakat setempat, baik Melayu maupun Dayak. Bagi masyarakat asli Kalbar, orang ketahuan mencuri bisa dikenakan hukum adat."
Aswin dan Alqadrie yakin, tidak semua pendatang mempunyai kebiasaan jelek. Mereka berharap warga pendatang mawas diri.
Komandan Korem 121/ABW Kolonel (Inf) Encip Kadarusman yang pernah bertugas di Sambas pada 1975-1986 silam mengutarakan hal senada. Seperti Alqadrie, Kadarusman tidak setuju para pengungsi ini dikembalikan ke Pulau Madura, karena bertentangan dengan wawasan Nusantara dan negara kesatuan RI. Ia mengusulkan, pemerintah daerah membangun perkampungan khusus di lahan kosong, misalnya di dekat Bandara Supadio Pontianak, dan memperlakukan mereka sebagai transmigran, diberi jaminan hidup dan lahan. Kadarusman mengatakan, "Sulit menyatukan kembali warga pendatang dengan masyarakat asli Kalbar,"
JUMLAH warga Madura di Kalbar sekitar 0,8 persen dari 3,7 juta penduduk Kalbar, atau sekitar 300.000 jiwa. Di Kabupaten Sambas, jumlah mereka sekitar 10 persen dari 900.000 jiwa atau 90.000 jiwa.
Saat ini belasan ribu warga Madura yang diungsikan ke Pontianak sulit memperoleh makanan dan obat-obatan. Kehadiran mereka di Pontianak bisa menimbulkan problem baru di ibu kota Kalbar itu.
Akankah kerusuhan meluas ke kabupaten lain, seperti kerusuhan Dayak-Madura pada 1996-1997 silam? Alqadrie menolaknya.
"Secara individual orang Melayu bukan tipe yang suka melakukan kekerasan. Namun, secara massa dan adanya dukungan etnik lain membuat mereka lepas dari kemelayuannya. Apalagi sudah ada dendam terpendam terhadap pendatang. Ini merupakan letupan emosi yang tertekan puluhan tahun," kata Alqadrie. (adhi ksp)