Selasa, 23 Maret 1999 |
Suara Pembaruan |
Kapolda Kalimantan Barat Kolonel Pol Drs Chairul Rasyid SH selaku Komandan Operasi pengamanan aksi kerusuhan di Sambas Minggu (21/3) telah meminta bantuan kepada Panglima ABRI agar segera mengirim pesawat C-130 Hercules TNI AU untuk mengangkut para pengungsi ke Pontianak. Pesawat ini diharapkan Senin siang sudah bisa berada di Kalimantan Barat untuk mengangkut para pengungsi yang masih ditampung di Sambas.
Komandan Korem 121/Alam Bana Wanawae Kolonel Inf Encip Kadarusman dalam percakapan dengan Pembaruan lewat telepon Senin siang mengatakan, arus pengungsian dari beberapa lokasi kerusuhan di Kabupaten Sambas ke tempat penampungan sudah demikian banyaknya sehingga mereka tidak tertampung. Disebutkannya, tempat penampungan di Kompi A yang berkapasitas 146 orang, ternyata diisi 2000 orang lebih. Demikian pula dengan penampungan di Kompi B yang sudah lebih dari 1400 orang sehingga untuk membawa mereka ke Pontianak tidak bisa lagi menggunakan kapal TNI AL.
Dari Pontianak koresponden Pembaruan melaporkan, jumlah korban tewas masih dalam aksi kerusuhan ini masih simpang siur, karena ada instansi yang menyebut 110 orang, tetapi ada pula yang mengatakan lebih dari 120 orang. Yang pasti korban meninggal sudah lebih dari 100 orang setelah pada hari Minggu terjadi aksi kerusuhan yang membawa korban lebih dari 10 orang. Dengan demikian sesuai laporan Komandan Korem 121/Alam Bana Wanawae yang menyebutkan, korban meninggal sampai Minggu pada ada 96 orang maka korban sudah melebih angka 110 orang.
Sedikitnya 20 truck penuh dengan ratusan pengungsi Minggu (21/3) mengalir dari Sambas ke Pontianak. Jumlah tersebut menambah semakin membengkaknya pengungsi yang di evakuasi ke ibukota propinsi Kalbar menyusul meletusnya kasus etnis yang menelan korban lebih 100 orang dan terbakarnya ribuan rumah sejak Selasa (16/3).
Dikatakannya, besarnya pengungsi itu dalam kerusuhan ini, selain karena kesadaran masyarakatnya untuk tidak menjadi korban, juga adanya imbauan dari petugas keamanan agar masyarakat pendatang yang rumahnya dekat dengan etnis tertentu untuk segera mengungsi. Sebab diku atirkan, etnis tertentu ini akan menghabisi para pedatang.
"Kami sudah meminta kepada kaum pendatang yang rumahnya berdekatan dengan pribumi agar mengungsi saja demi keselamatan mereka," ujar Danrem yang mengaku tidak bisa menjamin keselamatan satu per satu masyarakat di daerah ini akibat lokasi tempat tinggal mereka sangat berjauhan serta kekurangan tenaga.
Dikatakannya, ratusan penduduk Sambas yang mengungsi sudah dibawa ke Pontianak dengan menggunakan kapal TNI AL. Tetapi jumlah yang diangkut tersebut belum memadai jika dibanding dengan banyaknya arus pengungsi.
Menyinggung situasi keamanan di daerah ini disebutkan, belum dapat dipastikan karena umumnya para perusuh melakukan aksinya pada sore hari. Sebagai contoh disebutkan, pada hari Minggu situasi keamanan dari pagi sampai siang berlangsung baik. Tetapi tiba-tiba sore harinya terjadi aksi pembakaran rumah penduduk yang menyebabkan 161 rumah yang sudah ditinggalkan oleh pemiliknya dibakar oleh massa. Dalam aksi pembakaran itu tidak membawa korban jiwa. Tetapi di lokasi lain terjadi pembantaian yang datanya masih dikumpulkan.
Masih Didata
Sementara itu, jumlah pengungsi yang akan kembali ke Madura masih terus di daftar oleh pihak HIMMA, Himpunan Mahasiswa Madura Kalbar, dimana lokasi penampungannya di Asrama Haji Pontianak penuh sesak, sehingga harus menambah 3 tenda besar, 2 tenda dari Bekang TNI/AD, dan satu tenda dari Pemda Kalbar.
Sadiah Ainun Qoti dari HIMMA yang ditemui di Gelanggang Olah Raga (GOR) Pangsuma yang menampung 2.290 pengungsi asal Jawai dan Sambas prihatin masalah kesehatan terutama bagi anak anak. Sadiah mengatakan sementara pihak HIMMA mendaftar balita dan anak anak untuk pengaturan pembagian susu dan makanan bayi, sedangkan jumlah anak anak yang diperkirakan terancam putus sekolah mencapai ribuan orang. Diantaranya lebih dari 200 anak SD yang siap Ebtanas SD.
Yang jadi masalah bukan mereka yang akan kembali ke Madura tetapi bagaimana nasib dan kondisi mereka dipenampungan, demikian Sadiah.
Di Asrama Haji Pontianak, terdapat 3.300 pengungsi, menurut juru Penerang Deppen Pontianak, Herry Noviar kebanyakan berasal dari daerah rawan Tebas, Pemangkat, Selohan dan sebagian dari Sambas dan Singkawang.
"Jumlah tetap belum jelas, karena ada yang dijemput keluarga mereka," kata Herry, tetapi Minggu 21/3 malam, telah masuk penampungan 400 orang,
yang menurut Kodim setempat jumlah yang tiba dengan 20 truck asal Sambas mencapai 712 jiwa.
Para pengungsi kesulitan makan, pihak Depsos Kalbar yang menyelenggarakan dapur umum menyediakan puluhan ribu nasi bungkus yang dibagikan 2 kali sehari perorang.
Harianto (27) warga madura asal Purbolinggu yang sempat 24 jam sembunyi dihutan Samalanta, sekitar 40 kilometer dari Sambas mengatakan, sejak sabtu 20/3 ada orang yang melakukan pendaftaran bagi mereka yang akan pulang ke Madura."Saya mendaftarkan diri, cuma tidak tahu kapan akan diberangkatkan," kata Hariyanto yang sehari hari kerja sebagai motoris dompeng didesa Jirag, kecamatan Samalanta.
Jangan Ke Sambas
Dalam pada itu Ulama Madura yang tergabung dalam Koordinator Badan Silaturahmi Ulama se Madura (Bassra) meminta agar tidak ada pengerahan warga Madura dari Madura ke Sambas, karena yang sangat diperlukan sekarang ini adalah mempertemukan tokoh-tokoh adat di Sambas dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh Madura.
Koordinator Bassra Kabupaten Sampang, KH Dhafir Syah SH, yang juga pimpinan Pondok Pesantren Darussalam, Kabupaten Sampang, Pulau Madura kepada wartawan Minggu (21/3) mengatakan, menghadapi masalah kerusuhan di Sambas, hendaknya warga Madura dimana saja berada agar bisa menahan diri, dan harus ekstra hati-hati dalam mencermatinya agar jangan sampai masuk terlalu jauh sehingga penyelesaian konflik semakin jauh.
"Yang penting bagaimana ulama-ulama Madura bisa menjembatani pertemuan silaturahmi antara warga Madura dan warga lainnya di Sambas, agar masalah ini bisa diselesaikan dengan baik dan yang terpenting jangan sampai berkelanjutan," katanya.
Dikatakannya, kendati warga Madura di Sambas sudah ada yang merupakan generasi ketiga bahkan mungkin sudah tidak bisa berbahasa Madura, tetapi secara moral masih tetap memiliki ikatan emosional. "Masalah ini hendaknya dilihat sebagai kasus lokal, jangan ditafsirkan yang terlalu luas apalagi sampai menjadi masalah-masalah politik," katanya.
Tidak Taat
Sementara itu Timanggung (Pengurus Adat) Suku Kanayat, Kabupaten Sambas, Kalimantan, H. Nazarius ketika ditemui Pembaruan di Jakarta Minggu sore mengatakan, dirinya masih bingung untuk berbuat sesuatu agar dapat menyelesaikan pertikaian yang terjadi di kampung halamannya itu. Dikatakan, masyarakat adat di daerah ini dalam beberapa hari belakangan sudah tidak menghormati lagi tokoh-tokoh adatnya. Tapi satu hal yang disarankan adalah aparat harus mampu meredakan pertikaian sementara waktu.
Ketidakhormatan masyarakat terhadap tokoh adat selama ini lebih banyak disebabkan pemaksaan penerapan hukum nasional yang berakar dari budaya barat. Sementara penyelesaian secara adat yang pernah diterapkan tidak sesuai dengan hukum nasional, sehingga secara perlahan-lahan masyarakat semakin meninggalkan penyelesaian secara adat.
Menurut Nazarius, pertikaian yang terjadi di Sambas tidaklah disebabkan kebencian antar suku, melainkan disebabkan kondisi sosial ekonomi yang kian menghimpit. "Orang Dayak tidak pernah benci kepada pendatang dari Madura," katanya.
Masyarakat itu ibarat tumpukan rumput kering. Banyak persoalan-persoalan ketidakadilan di tengah masyarakat seperti misalnya kalau masyarakat kecil curi ayam dihukum 3 bulan. Sedangkan yang mencuri miliaran malah tidak ditahan.(129/029/U-2)
top | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |