back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Kamis 01 April 1999 |
Jawa Pos |
Matrawi Terus Bertanya ke Mana Dua Anaknya
Kerusuhan Sambas, Kaltim, meminta korban harta dan nyawa begitu besar. Seperti yang dialami Matrawi bin Dulkarim, veteran perang kemerdekaan yang sudah 40 tahun lebih tinggal di Pemangkat, Sambas. Dua anaknya meninggal dalam tragedi kemanusiaan itu. Ditambah harta bendanya habis. Muhaya, anak sulungnya, yang menuturkan duka yang dialami itu.
TIAP kali bapak menanyakan nasib Supari dan Abdul Muin, dua saudara saya yang ikut dikeroyok massa dalam kerusuhan Sambas itu dan kemudian tewas, saya selalu jawab jika mereka baik-baik saja. Sudah pulang duluan ke Madura.
Saya belum berani berterus terang. Sejak lolos dari musibah Senin malam 15 Maret itu, kondisi kejiwaan bapak agak labil. Dia jadi pendiam dan sering melamun. Saya bisa memahami, cobaan yang dialami bapak memang sangat berat. Tentang kematian saudara saya itu, saya sendiri baru tahu dua hari setelah kejadian. Tokoh Madura yang membantu mengurus pemakaman mereka yang memberitahu. Saya sendiri tinggal sekitar 1 kilometer dari rumah bapak.
Ketika peristiwa itu terjadi, Maghrib sudah menjelang. Tiba-tiba, rumah sudah dikepung puluhan orang yang bersenjata tajam. Ada yang bawa badik, parang, bahkan palu. Mereka langsung masuk rumah dan menghancurkan isi rumah.
Dua adik saya, Supari dan Abdul Muin, yang sehari-harinya memang masih tinggal bersama orang tua, berusaha melawan. Sementara bapak bertahan di balik pintu. Bapak sempat mendengar jerit kesakitan saudara-saudara saya itu. Merasa terpojok, bapak langsung lari.
Ketika menyelamatkan diri itulah sabetan parang sepanjang dua kilan mengenai punggungnya. Ditambah satu luka lagi di wajah. Dengan berlumuran darah, bapak mencari tempat yang aman. Syukurlah, meski sempat kehilangan darah cukup banyak, bapak segera mendapat pertolongan. Dia dibawa ke RS Singkawang, dan selang beberapa hari dipindahkan ke RS Pontianak.
Tak ada harta yang dibawa bapak ketika
lari. Satu-satunya dokumen yang selamat hanyalah Surat Keterangan dari Dephankam RI yang
menyatakan bahwa bapak saya veteran perang kemerdekaan. Selembar dokumen itu kami ambil
dari BRI Pemangkat, tempat bapak mengambil kredit. (ami/bersambung)
Pesantrennya Dibakar, Keluarganya Dihabisi Aksi kerusuhan di Sambas, boleh dikata
lebih kejam dari kerusuhan Mei 1998 lalu. Tak hanya dibantai dan dianiaya, ada juga warga
yang diperkosa. Tiga korban kerusuhan Sambas kemarin memaparkan kisah tragisnya di hadapan
para tokoh masyarakat Madura di Hotel Elmi. Berikut penuturan H Abdul Halim, seorang
pengasuh pesantren Darul Ulum Tebas, Sambas, yang pondok dan masjidnya ikut dibakar.
SELAMA 17 tahun tinggal di Tebas, baru kali
ini saya merasakan tragedi tidak berperikemanusiaan dalam hidup saya. Saya miris dan
trauma akibat peristiwa tragis itu. Tragedi itu diawali dengan datangnya segerombolan
orang-orang Dayak bersenjata dari pegunungan pada Senin, 15 Maret dini hari. Kedatangan
mereka di Tebas itu sangat mengagetkan kami dan para tetangga. Ketika kami tanya maksud kedatangannya, mereka
menjawab akan berperang dengan orang-orang Madura yang katanya akan datang menyerbu
Sambas. Namun, setelah berhasil diyakinkan kalau berita itu tidak benar, mereka pergi ke
pasar. Kabarnya di sana mereka mulai membuat onar dengan menyakiti orang-orang dari etnis
Madura. Malamnya, saya dan beberapa tokoh masyarakat
dari berbagai etnis menghadap bupati dan Dandim di kabupaten. Kami semua datang minta
perlindungan keamanan. Namun, saat kami kembali ke kampung, kerusuhan sudah terjadi.
Pondok, masjid dan rumah kami sudah hancur dibakar. Pimpinan pondok KH Ali Wafa, juga ikut
terbunuh mempertahankan pondok dan keluarganya dari serangan orang-orang tidak
berperikemanuasiaan. Kabar yang menyedihkan lagi, anggota keluarga
saya ternyata banyak yang menjadi korban. Mereka ada yang dibakar bersama dengan rumahnya.
Bahkan, beberapa famili wanita saya juga diperkosa sebelum dibunuh. Yang lari ke tengah
hutan, terus dikejar sampai dapat. Sapi-sapi penduduk ada yang ditembaki, ada pula yang
diambil dibawa pulang. Saat diamankan di Koramil, saya juga sempat
melihat penggalan kepala balita yang dibawa seseorang untuk ditunjukkan kepada Danramil
setempat. Dengan bangganya mereka mengatakan, bahwa dialah yang membunuh. Aksi pembantaian itu meluas secara serentak ke
daerah-daerah lain. Untungnya, saya berhasil lolos dari kejaran orang-orang biadab itu
setelah diungsikan aparat dengan kawalan Brimob yang cukup ketat. Saya terpaksa mengungsi
ke sini hanya ingin mencari hidup, karena keamanan saya di sana sudah tidak ada yang
menjamin lagi.
Saya Mau Jadi Petani Kayak Bapak Di antara ribuan warga Madura yang
mengungsi dari Sambas itu, terselip seorang bocah yang baru kelas 6 Madrasah Diniyah
Sirojum Muttaqien (setingkat SD). Namanya Aliayah Nur, atau Nur begitu keluarganya
memanggil. Sambil menikmati sebutir apel malang, bocah berkerudung itu mencurahkan isi
hatinya. APA salah orang Madura sebenarnya? Mengapa
saya dan keluarga saya, begitu juga orang-orang Madura lainnya sampai diburu, bahkan
dibunuh oleh mereka? Apa salah kami? Yang saya tahu, teman-teman saya di sekolah,
meski mereka itu kebanyakan Melayu, selama ini tak pernah bertengkar dengan saya soal
kesukuan. Di kelas, hanya ada dua murid yang Madura. Saya dan satunya lagi teman saya yang
entah di mana sekarang dia berada. Orang tua teman-teman saya yang Melayu itupun
baik-baik. Kalau saya main ke rumah mereka, saya disuguhi dan mereka juga ramah. Saya
ditanya di mana rumahnya, siapa orang tua saya. Guru saya yang Melayu pun orangnya baik.
Jadi, mengapa orang Madura harus dibunuh dan diusir dari Sambas? Saya lupa harinya apa, yang jelas siang itu
orang tua saya mengajak lari ke hutan karet. Jaraknya dari rumah sekitar satu jam jalan
kaki. Katanya keadaan gawat, orang-orang Madura hendak dibunuh semua. Saya jadi takut.
Bahkan, begitu takutnya sampai sepanjang pelarian itu saya nangis terus. Saya lihat, ibu
dan kakak saya juga nangis. Saat di hutan itu, saya ingat sekolah dan
teman-teman. Saya jadi sedih sekali. Soalnya, saya sudah mau Ebtanas. Lha kalau saya tidak
belajar, bagaimana saya bisa mengerjakan soal-soal ujian itu. Sementara, semua buku dan
peralatan sekolah saya sudah habis dibakar. Sekitar dua minggu sudah saya tidak sekolah.
Mungkin banyak pelajaran yang tertinggal. Waktu mau ngungsi itu orang tua saya tidak
sempat ngurus surat pindah sekolah. Padahal, saya masih ingin ikut ujian. Semoga
ada sekolah di Madura yang mau menampung saya. Saya juga ingin mondok. Tentang cita-cita, (Nur menceritakannya sambil
tertawa malu-malu), saya mau jadi petani kayak bapak. (ami/bersambung)
Pupus, Keinginan Naik Haji Tahun Depan Hati Nurhayat serasa tercabik-cabik melihat
peristiwa yang sangat mengenaskan terjadi di daerah kelahirannya. Meski darah Madura
mengalir di tubuhnya, Nurhayat mengaku bahwa Sambas adalah tumpah darahnya, tempat dimana
35 tahun silam dia dilahirkan.
DELAPAN tahun saya menjadi kepala kampung di
Komplek Kraton, Dusun Sukaramai, Sambas. Selama itu saya merasa kehidupan kami begitu
tenang meski warga kampung sangat beragam. Sebanyak 300 KK orang Madura, dan 200 KK Melayu
serta suku lainnya.
Dalam keseharian, kami berusaha untuk saling
membantu dan bekerja sama. Misalnya kalau ada orang Melayu yang tidak punya pekerjaan,
kami bantu mereka. Begitu sebaliknya. Urusan kampung pun kami rundingkan bersama. Tapi, hanya dalam tiga hari semuanya berubah
total. Tetangga yang dulunya begitu baik, entah mengapa jadi begitu garang. Tak ada belas
kasihan kepada kami. Isu anti-Madura yang ditiupkan provokator benar-benar ampuh. Bayangkan, mereka itu sampai tega membunuh
nyawa sesamanya. Manusia seolah tak ada lagi artinya. Salah satu korban yang dibantai itu
Mbah Rani, tetangga saya. Kepalanya dipenggal dan kemudian dibawa ke Kraton. Dalam situasi seperti itu, seorang kepala
kampung seperti saya sudah tidak ada artinya lagi. Jangankan saya, aparat yang bersenjata
saja juga mereka lawan. Karena itulah saya memilih mengungsi. Saya tinggalkan kebun karet dan lada, sapi
yang belasan ekor, serta rumah dan isinya. Hanya satu yang saya pikirkan, menyelamatkan
keluarga! Keinginan untuk memanen hasil kebun, yang rencananya untuk ongkos naik haji
tahun depan melayang sudah. Saya lupakan semua itu. Meski harta saya di Sambas sudah habis, saya
masih ingin kembali ke sana. Itu tumpah darah saya. Segera, setelah anak dan istri sampai
di Bangkalan, saya akan kembali. Bukan untuk membalas dendam, tapi untuk melihat
perkembangan di sana.
Saya usulkan kepada pemerintah, kalau memang
ingin mendamaikan antara warga Madura dengan penduduk asli, mulailah dari yang tingkat
terbawah. Usaha mendamaikan jangan hanya mempertemukan para tokoh. Saya hanya bisa berdoa,
semoga tak ada dendam berkepanjangan antara kami. Sakit memang hati ini diperlakukan
seperti itu, tapi saya sadar bahwa itu karena hasutan orang-orang tertentu. (ami/habis)
(02 April 1999)
(choliq baya/bersambung)
(03 April 1999)
(04 April 1999)