|
Surabaya Post
SUPLEMEN - Rabu, 13 September 00
Faktor Alam, Salah Satu Penyebab
TIDAK keliru memang jika ada yang mengatakan, kekerasan masyarakat Sampang, Madura, terbentuk karena faktor alam.
Alam tandus, berbukit-bukit, dan hidup dalam himpitan kemiskinan, memang bisa membentuk watak perlawanan. Dan mungkin, kekerasan. Bisa negatif, tapi juga bisa positif.
Gambaran masyarakat Sampang seperti itu terpapar dengan jelas dalam buku Biografi Mohammad Noer, Pamong Mengabdi Desa (1997), yang sejak 1926 -- seperti dituturkan Mohammad Noer, tokoh masyarakat Madura -- di tengah gelapnya malam, masyarakat Sampang dari berbagai desa, laki-laki dan perempuan, beriringan membawa obor menuju pelabuhan Sungai Sampang. Di situ mereka berhimpun dengan iring-iringan lainnya, kemudian menaiki perahu. Berlayar.
Pemandangan itu terjadi sepanjang Juli, Agustus, September, dan Oktober, saat usai panen. Ke mana mereka? Mengadu nasib ke seberang. Bermigrasi.
"Deraan kemiskinan dan ancaman kelaparan setiap musim kemarau mendorong mereka mencari sesuap nasi di tanah seberang. Saya menyadari betapa sengsaranya hidup mereka," kata M. Noer dalam biografi itu.
Jauh sebelum apa yang disaksikan M. Noer semasa kecilnya itu, kegersangan dan kemiskinan Madura sebagai pendorong migrasi itu juga menjadi sorotan Huub de Jonge dalam bukunya Madura; Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam, yang mengutip Statistical Pocketbook of Indonesia 1941, bahwa pada 1930, hampir sekitar 2,5 juta orang Madura bertempat tinggal di luar Madura, sebagian besar di Jawa Timur.
Itulah realitas Madura (Sampang) yang telah membentuk masyarakatnya lebih keras. Keras dalam pengertian mau bekerja keras dan lebih rajin, tidak mengemis. "Tidak ada orang Madura yang mengemis, mereka bekerja menjual tenaga ke mana pun. Mereka tidak melihat laut sebagai penghalang, tapi 'pintu gerbang'," kata M. Noer.
Sebenarnya, sebelum penjajahan Belanda, kondisi Madura tidak seburuk itu. Buktinya, ketika dilakukan pembuatan topografi yang pertama pada tahun 1873, luas hutan di Madura berkisar 13%. Namun pada 1975, areal hutan itu tinggal 6% dari luas tanah di Madura.
Menurut Meijers (1941), masih dalam buku Biografi Mohammad Noer, Pamong Mengabdi Desa, seharusnya sebagian besar Pulau Madura pada zaman dahulu merupakan daerah hutan. Pertambahan penduduk yang besar pada awal abad XIX membuat areal hutan susut. Karena makin berkurangnya lahan pertanian, banyak areal hutan terus-menerus dibuka. Penggundulan hutan membuat erosi makin meningkat, dan akibatnya makin banyak endapan lumpur terbawa ke laut. Lahan-lahan garapan baru dengan cepat menjadi tak subur, karena lapisan atas tanah terlalu tipis, dan berubah menjadi lahan tandus.
Tandasnya lahan itu memang dikehendaki Pemerintah Kolonial Belanda untuk memiskinkan Madura, sehingga bisa memperoleh tenaga kerja murah. Belanda sangat jeli melihat rakyat Madura yang menjadi kuli di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, mereka memiliki disiplin tinggi, dan sangat rajin. Kemudian Belanda memberi tahu penduduk Madura, hutan boleh dibabat untuk lahan pertanian. Tapi kesuburan tanah itu hanya berumur 2-4 tahun, lambat laun menjadi gersang.
Jangan Dinodai
Kekerasan yang digambarkan itu adalah fakta positif dari kondisi alam. Lalu bagaimana dengan perlawanan yang muncul belakangan ini, sejak 'Tragedi Nipah' pada 1993 itu hingga penolakan pada bupati terpilih Fadhilah Budiono sekarang?
Secara sosiologis bisa dijelaskan bahwa sebenarnya kehormatan masyarakat Madura jangan sampai dinodai dan harus diperlakukan adil. Kalau tidak, bisa carok. Kehormatan itu, misalnya, jangan sampai merusak istrinya, sebab itu kehormatannya. Bukan itu saja, jangan sampai perasaan dia dilukai, misalnya mereka duduk di pinggir jalan, ada orang lewat tidak menunduk, permisi, itu bisa membuat mereka tersinggung. Juga jangan menagih utang di depan umum.
Bahkan masih menurut M. Noer, hanya lantaran rumput untuk makan ternak sapi, orang Madura bisa carok demi membela kehormatannya. Itulah beberapa fakta sosiologis masyarakat Madura (Sampang).
Ini artinya, dalam kasus penolakan terhadap bupati terpilih Fadhilah Budiono, kita bisa mencarikan pendekatannya melalui cara-cara sosiologis, agar antara satu kubu dengan lainnya tidak saling tersinggung. Di satu sisi Fadhilah telah terpilih melalui proses sah pemilihan di DPRD Sampang pada 22 Juli 2000 lalu, sementara di sisi lain masyarakat Madura juga merasa kehormatannya dinodai dengan adanya fakta lain bahwa Fadhilah dinyatakan ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya manipulasi penyaluran beras bantuan untuk pengungsi Sambas dan program JPS.
Fakta-fakta inilah yang harus diakomodasi dalam memutuskan kasus Sampang kali ini. Tentu saja dengan tetap melibatkan para ulama dan umaro. Kenapa? Karena dalam kondisi apa pun, sebenarnya masyarakat Madura masih menjunjung tinggi dan memegang erat tuntutan yang mengharuskan menghormati: Bapak, Ebuh, Guruh, Ratoh. (*)
Artikel SUPLEMEN yang lain:
atas
|