Surabaya Post
SUPLEMEN - Rabu, 13 September 00
Sampang, Kenapa Terus Bergolak
Oleh Sukemi
Keresahan Sampang sepertinya tak pernah usai. Perlawanan rakyat "menentang" pemerintah berkobar sejak Tragedi Nipah 25 September 1993, Pelaksanaan Pemilu Ulang 1997, dan kini kasus penolakan terhadap bupati terpilih, H Fadhilah Budiono. Tapi benarkah massa yang marah itu -- yang telah membakar gedung DPRD Rabu 6 September 2000 -- adalah sebuah bentuk perlawanan politik rakyat terhadap pemerintah? Pertanyaan inilah yang ingin dijawab dalam tulisan berikut. Tulisan yang lebih menekankan pada aspek antropologi dan sosiologi budaya serta catatan-catatan masa lalu di Sampang itu dikumpulkan dari berbagai sumber dan dilaporkan oleh wartawan Surabaya Post, Sukemi.
ALKISAH, seorang laki-laki asal Sampang, Madura, sedang berdesak-desakan dalam bus kota. Tanpa sengaja, seorang pemuda menginjak kaki laki-laki asal Sampang itu. Laki-laki itu bukannya langsung marah, ia malah bertanya pada yang menginjak.
"Sampeyan ABRI, ya."
"Bukan," jawab pemuda itu.
"Barangkali punya saudara ABRI," tanya laki-laki asal Sampang lagi.
"Nggak," pemuda itu penasaran.
"Kenapa sih tanya-tanya, Mas?"
"Kaki saya jangan diinjak, Cong," kali ini laki-laki asal Sampang itu berteriak, marah.
Lelucon ini mungkin cuma fiksi belaka. Namun sekitar sepuluh tahun lalu, stereotip seperti ini masih bisa terdengar. Orang Madura, dikenal sebagai orang nekat, tapi sangat "segan" terhadap anggota ABRI, kini TNI. Entah mengapa -- ada yang menghubung-hubungkan dengan trauma pembunuhan massal di sekitar tahun 1965. Tapi, banyak peristiwa belakangan, terutama menjalarnya kerusuhan di berbagai tempat di sana, mulai menghapus stereotip tadi.
Sejak meletusnya 'Tragedi Nipah' pada 1993 yang menewaskan 4 warga, stereotip rakyat Madura yang menyegani aparat berubah drastis.
Memang belum ada penelitian paling mutakhir tentang gejala ini. Tapi, 'Tragedi Nipah', barangkali bisa menjadi pelajaran untuk memahami fenomena yang terjadi dalam masyarakat Madura belakangan ini.
Setelah 'Tragedi Nipah' berturut-turut kita mencatat kejadian-kejadian lain di Sampang, seperti kerusuhan Pemilu 1997 yang berbuntut diulangnya pelaksanaan pemilu di sana. Dan terakhir yang hingga hari ini belum juga terselesaikan adalah penolakan masyarakat Sampang terhadap keputusan Mendagri yang telah menetapkan H Fadhilah Budiono sebagai bupati.
Dalam 'Tragedi Nipah', awalnya adalah rencana pembangunan waduk Nipah yang bernilai Rp 14 miliar. Dan, sebagaimana terjadi dengan soal-soal sengketa tanah, warga merasa tak puas, bahkan tak diikutsertakan dalam negosiasi pembebasan tanah. Apalagi tanah yang akan dibebaskan, luasnya mencapai 170 hektare dan rencananya akan menenggelamkan tujuh desa. Ditambah dengan munculnya isu bahwa tanah rakyat hanya akan diganti Rp 500 per meter, wajar saja kalau keresahan mencuat.
Sebetulnya, rencana pembangunan waduk ini sudah dicanangkan sejak 1980. Bahkan, sejak 1981, sudah sekitar 40 hektare tanah dibebaskan. Tapi banyak rakyat yang kecewa. Soalnya, apalagi kalau bukan ketidak-beresan dalam ganti rugi. Petugas pengukur dan pendaftar tanah ikut 'bermain', mencari keuntungan. "Ada penduduk yang tanahnya luas, eh menerima ganti rugi lebih sedikit dari orang yang tanahnya sempit," ujar seorang sumber yang dikutip Majalah Tempo.
Akhirnya, pelaksanaan ganti rugi dihentikan pada 1985, karena pemerintah tak lagi punya dana. Barulah pada 1993, rencana itu diteruskan lagi. Tapi, rakyat telanjur punya trauma pada pembebasan sebelumnya.
Meski rakyat sudah menolak rencana itu, tapi Bupati Sampang saat itu, Kolonel Bagus Hinayana bersikeras melanjutkan pembangunan waduk.
Lalu, mulailah bermunculan protes-protes secara terbuka dari masyarakat. Akhir Agustus 1993, sebanyak 32 warga mengadu ke DPRD Sampang, mengaku dipaksa membubuhkan cap jempol untuk pembebasan tanah. Tanggal 8 September 1993, ketika Pemda dan BPN melakukan pengukuran tanah, seorang guru mengaji bernama Khudori bersama 40 muridnya, secara berulang-ulang mengucapkan, "Nyo'on odik, nyo'on odik (ingin hidup, ingin hidup)."
Kalimat ini kemudian menjadi sangat populer bagi masyarakat yang protes.
Bagi orang Madura, kata-kata nyo'on odik sebetulnya merupakan kalimat halus yang berarti memohon hidup. Dibandingkan dengan bahasa Jawa, kata-kata tersebut dapat digolongkan kromo inggil yang diucapkan dengan maksud menghormati.
Kata-kata itu kembali diserukan sekitar 500 warga, Sabtu siang, 25 September 1993, di saat petugas BPN kembali melakukan pengukuran. Kali ini, ditemani sekitar 60 aparat keamanan lengkap dengan senjatanya. Dan terjadilah tragedi itu. Tiga warga jatuh dan tewas seketika dihantam timah panas dari jarak 70 meter. Dua lagi luka berat, satu di antaranya terkena tembakan di dada kanan, akhirnya tewas. Meski mereka hanya mengangkat tangan dan berkata, "nyo'on odik, nyo'on odik."
Nyawa sudah melayang, hak sudah hilang. Hidup jangan kepalang. Mungkin itulah yang terjadi dengan sebagian warga Sampang. Belum lagi dua bulan, tewasnya empat warga mereka, trauma masyarakat sudah tak tersisa sama sekali. Kita mencatat, pada November 1993, sekitar 500 orang, yang rata-rata menggunakan sarung meminta Kolonel Bagus Hinayana dicopot sebagai bupati. Massa yang beringas, tak mempan lagi dibujuk oleh komandan Kodim dan Kepala Polisi Sampang. Kios-kios SDSB, serta toko-toko jadi sasaran amukan massa. Tak lagi takut pada sosok ABRI, perkelahian dengan ratusan aparat keamanan pun tak terhindarkan. Batu-batuan jadi senjata untuk melempar. Sejumlah polisi dan tentara babak belur dihantam massa. Seorang di antaranya luka parah.
Membekas
Rangkaian peristiwa ini tentu saja membekas dalam benak warga. Mereka mengambil pelajaran. Perlakuan sewenang-wenang aparat terhadap mereka, ternyata mampu membangkitkan reaksi perlawanan. Hal inilah yang juga terlihat pada Pemilu 1997 yang dinilai warga sebagai sebuah bentuk kecurangan dalam pemungutan suara, untuk memenangkan Golkar kala itu.
Kini, dalam kerusuhan menentang keputusan Mendagri tentang pengangkatan Fadhilah Budiono sebagai Bupati Sampang, reaksi perlawanan itu kembali muncul. Terjadilah kemarahan rakyat pada aparat dalam bentuk pembakaran gedung DPRD Sampang -- meski hingga kini sulit bagi kita mengartikan kemarahan dan perlawanan rakyat yang mana. Kenapa? Karena sebenarnya ada dua kubu -- kubu Fadhilah Budiono dan kubu yang kontra -- yang keduanya sama-sama mengatas-namakan rakyat.
Tapi apa pun latar belakang peristiwa ini, sebenarnya pengalaman masa lalu masyarakat Sampang akan selalu memicu setiap kali muncul rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan. Kenapa? Karena pengalaman menghadapi kesewenang-wenangan masa lalu telah memunculkan kehendak massa untuk bergerak. Belum lagi adanya faktor-faktor lain yang secara sosiologis dan antropologis telah menjelma menjadi satu kesatuan.
Kita masih ingat, sejak dulu, masyarakat Madura telah terbiasa menyelesaikan persoalannya sendiri. Carok, adalah salah satu bukti. Ketimbang menyerahkan persoalan pada pihak kepolisian, mereka cenderung untuk menuntaskan persoalan dengan carok.
Ada pula faktor kiai yang sangat dihormati rakyat. Lihat saja peranan Kiai Alawy yang selalu berada dalam posisi mendukung warganya. Sejak dari menuntut mantan bupati Bagus Hinayana, hingga absennya sang kiai secara terbuka dalam pemungutan suara ulangan di Sampang, Juni 1997.
Meski para kiai tak menjadi 'penggerak', tapi sikap suportif umumnya kiai, bila ada persoalan pada warganya, membuat rakyat senantiasa merasa didukung secara moral. Kita masih ingat kerusuhan 29 Mei 1997 di Sampang yang menewaskan warga bernama Wafir, terpicu karena reaksi yang muncul terhadap isu adanya penangkapan para kiai oleh aparat keamanan.
Seperti pernah dikatakan Kiai Alawy, "Kiai di tanah Madura ini ibaratnya selender (mesin penghalus jalan. Red) Kalau jalan rusak, selender dipakai. Kalau jalan halus, selender masuk gudang."
Bermacam-macam faktor ini, agaknya saling kait-mengait mendorong sikap rakyat Madura khususnya Sampang untuk mudah bergerak. Namun, berkaca dari cepatnya perubahan sikap rakyat setelah terjadinya Tragedi Nipah, kiranya faktor paling dominannya adalah, reaksi terhadap perlakuan sewenang-wenang aparat.
Itu artinya, rakyat di wilayah lain yang mengalami pengalaman serupa, juga akan sangat potensial untuk "meledak". Dan itu berarti bukan hanya milik orang Madura yang punya jiwa perlawanan, tapi juga bisa terjadi di Mojokerto, Tuban, atau Malang, yang kini sudah mulai mencuatkan perlawanan serupa meski tidak sama.
Empat Faktor
Menurut Franz Magnis Soeseno, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, Jakarta, dalam pengantar buku berjudul Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan (2000), menyebutkan, bila dalam sebuah masyarakat intensitas kekerasan bertambah, berarti masyarakat itu sakit. Itu disebabkan mereka tidak lagi mampu menangani tekanan-tekanan, misalnya karena merasa terus-menerus diperlakukan dengan tidak adil, tidak berdaya, atau karena menyaksikan ketidakadilan mencolok tanpa dapat berbuat apa-apa.
Menurutnya, paling tidak ada empat faktor yang membuat masyarakat bertindak dengan kekerasan. Pertama, transformasi dalam masyarakat. Modernisasi dan globalisasi merupakan tekanan luar biasa yang membuat masyarakat kita berada dalam keadaan tegang terus-menerus. Kedua, akumulasi kebencian dalam masyarakat, ketiga, munculnya masyarakat yang sakit, dan keempat, orde baru sebagai sistem institusionalisasi kekerasan.
Dari keempat itu faktor yang dikemukakan Franz Magnis Soeseno itu kita bisa menduga semua punya andil dalam memunculkan konflik di Sampang saat ini. Karena memang empat faktor itu ditemukan atau di Sampang.
Lalu bagaimana mencari jalan keluarnya? Syarat yang paling dasar diwujudkan adalah keadilan. Karena ketidakadilanlah yang terbukti telah meracuni hati orang. Di sinilah sebenarnya latar belakang yang sesungguhnya manakala muncul tindakan kekerasan dan ketidakpuasan.
Karena itu, kita berharap, pembangunan apa pun yang kelak akan dijalankan -- setelah persoalan Sampang ini terselesaikan -- sebaiknya harus dapat dirasakan secara adil oleh seluruh masyarakat. Tentu saja bukan hanya untuk Sampang, tapi juga untuk seluruh wilayah di negeri ini, yang telah bertahun-tahun dicekoki dengan ketidakadilan. (*)
Artikel SUPLEMEN yang lain:
atas