back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long e-Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

Jawa Pos
Radar Madura - Selasa, 12 September 00

Mengapa Sampang Rentan
Konflik Kepentingan

Oleh MOH. ANSHORI dan TAUFIQ RIZQON

Dikenal Rentan Gejolak Politik Sejak Dulu

Sampang dari dulu hingga kini sama saja.Wilayahnya kecil, tapi sering membikin berita besar.Tulisan ini mencoba menelusuri latar belakang dari aspek kesejarahan dan filosofinya.

Dalam dekade terakhir, Sampang menjadi sebuah fenomena yang menarik. Setelah ledakan kasus Nipah 1993 dan PEMILU ulang 1997 yang sempat mencuat ke dunia internasional, Sampang dalam seminggu terakhir ini kembali membuat berita besar. Gara-gara para elit politik rebutan kursi bupati, masyarakat kembali terpecah dan saling sikut-sikutan!

DR Abdurrahman dalam bukunya Selayang Pandang Sejarah Madura mengatakan, setelah wilayah Madura dikuasai Mataram, maka pada tanggal 13 Desember 1624 M Sultan Agung mengangkat Raden Praseno yang kemudian bergelar Cakraningrat I sebagai adipati tertinggi di Madura. Dengan pusat pemerintahan di Desa Madegan - sekitar 1,2 km dari kota Sampang.

Alasan penetapan Sampang sebagai pusat kerajaan Mataram di Madura, berdasarkan hasil penelitian Mohammad Sholeh dalam Skripsinya "Sampang Sebagai Pusat Pemerintahan Mataram Jaman Sultan Agung (1624-1680)" karena letak geografis Sampang tepat berada di tengah-tengah Pulau Madura.

Lokasi ini memang sangat memudahkan konsolidasi pemerintahan Mataram di Madura. Jadi, dipilihnya Sampang sebagai pusat pemerintahan Mataram di Madura sebagai upaya politik Sultan Agung dalam mempersatukan Jawa dan Madura kala itu.

Menurut Babat Madura, reaksi rakyat terhadap memerintahan Mataram mulai muncul sejak awal pemerintahan Cakraningrat I kembali ke Sampang untuk menjalankan tugas sebagai raja Madura dari Sultan Agung. Saat itu rakyat Madura menolak menjadi jajahan Mataram. Tapi, berkat kepiawayan Cakraningrat I, akhirnya ia berhasil merubah pandangan rakyat Madura dan mau menerima pemerintahan Mataram.

Hal yang sama juga disampaikan salah seorang pengamat sosial Sampang KH Sholahur Robbani SE. Menurut dia, dalam pandangan filosofis Pulau Madura diibaratkan seperti seekor sapi. Posisi kepala ada di Sumenep, dada di Pamekasan, perut di Sampang, dan bokong di Bangkalan.

Masing-masing bisa dirasakan dalam kenyataan yang terjadi saat ini. Sumenep sebagai kepala misalnya, memang diakui berhasil memproduksi tokoh-tokoh dan pejabat penting. Demikian juga dengan Pamekasan dan Bangkalan.

Tapi, ada situasi khusus yang membedakan keempat kabupaten ini. Khusus wilayah Sumenep dan Bangkalan ada tokoh sentral yang bisa dijadikan panutan dalam mengambil keputusan dalam situasi konflik sosial. Sehingga, dua wilayah ini mudah keluar dari krisis dan konflik kepentingan.

Sedangkan Pamekasan dan Sampang, relatif tidak memiliki tokoh sentral yang dapat meredam konflik. Sehingga, karena Sampang berada di wilayah perut, maka konflik kepentingan di daerah ini jauh lebih besar di banding Pamekasan. "Yang namanya perut, disitu pusatnya penyakit dan nafsu kekuasaan," katanya.

Tidak ada jalan lain, agar bisa keluar dari kungkungan kekuasaan tersebut kecuali berpuasa terhadap sihir dahsyat duniawi. "Para tokoh dan elit masyarakat harus bisa berpuasa dari setiap godaan nafsu kekuasaan dan harta," tandas Ra Isol panggilan akrabnya.

Tanpa itu, sambungnya, situasi Sampang tidak akan pernah berubah. Selalu mudah bergejolak dan rasa aman dan damai di tengah-tengah masyarakat akan musnah. Kalau sudah begitu, masyarakat bawahlah yang tetap menjadi korban. *

Dari aspek sejarah, gejolak politik di Sampang sudah terjadi sejak dulu. Pada saat pemerintahan Raden Undakan atau Pangeran Cakraningrat II, pemerintahannya sudah diwarnai oleh gejolak politik akibat ulah raja Mataram pengganti Sultan Agung, yaitu Amangkurat I.

Sejarah pemerintahan di Sampang dimulai sejak penempatan seorang Kamituwo di daerah Madegan Kelurahan Polagan yang bernama Ario Lembu Peteng. Ia adalah keturunan raja Majapahit Prabu Brawijaya V dengan isteri dari Campa. Dari sinilah Madura menurunkan raja-raja besar yang dikenal sampai sekarang.

Pada tahun 1624 M Madura berhasil dikuasai oleh Mataram yang berambisi untuk menguasai seluruh Jawa dan Madura dibawah kekuasaan Sultan Agung. Untuk mempermudah pemerintahan Mataram di Madura, maka Sultan Agung mengangkat Raden Praseno yang kemudian bergelar Pangeran Cakraningrat I sebagai kepala pemerintahan di Madura, sekaligus menetapkan Sampang sebagai pusat pemerintahan Mataram di Madura.

Drs Mohamad Sholeh dalam Skripsinya Sampang Sebagai Pusat Pemerintahan Mataram Jaman Sultan Agung dalam Politik Mempersatukan Jawa-Madura mengatakan, pada saat pemerintahan Raden Undakan atau Pangeran Cakraningrat II, pemerintahannya diwarnai oleh gejolak politik sebagai akibat dari politik raja Mataram pengganti Sultan Agung, yaitu Amangkurat I.

Dalam menjalankan kebijakan roda pemerintahannya, Amangkurat I selalu dilandasi oleh hawa nafsu sehingga menimbulkan ketidakpuasan dari rakyat maupun kerabat raja sendiri. Sebagai pemangku tahta tertinggi di Madura, Pangeran Cakraningrat II ini mempunyai sifat yang tidak jauh berbeda dengan Amangkurat I di Mataram.

Situasi politik di Mataram maupun Madura saat itu, banyak melahirkan peristiwa pemberontakan, salah satunya adalah pemberontakan Raden Tronojoyo - keturunan dari Pangeran Cakraningrat I. Untuk sekian lamanya, Raden Tronojoyo mampu menguasai seluruh Madura karena mendapat dukungan dari rakyat Madura. Tapi, pemberontakan ini dapat dipadamkan setelah penjajah Belanda - yang pro Cakraningrat II - ikut pula membantu.

Walaupun pemberontakan Raden Tronojoyo bisa dipatahkan dan Madura diserahterimakan kembali kepada Pangeran Cakraningrat II, namun aksi menentang pemerintahan tirani ini tidak pernah pupus. Kali ini aksi tersebut dilakukan oleh rakyat Madura Timur. Akhirnya, atas persetujuan Mataram, pusat pemerintahan Mataram di Madura dipindahkan dari Sampang ke Tojung Bangkalan.

HJ Dee Graaf dalam bukunya Runtuhnya Istana Mataram menjelaskan, Raden Tronojoyo adalah putera Raden Demang Melaya anak Cakraningrat I dengan salah seorang selir yang berasal dari Kuda Panoleh. Ia dilahirkan di kampung Pebabaran yang letaknya tepat di tengah-tengah kota Sampang di sebelah timur Monomen Tronojoyo Sampang.

Ketika masih kanak-kanan sekitar umur tujuh tahun, ia ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Yaitu, saat peristiwa pembunuhan Pangeran Sampang bersama Isterinya oleh Amangkurat I. Sejak peristiwa itu, Raden Tronojoyo akhirnya dipelihara dan dididik oleh Sunan Amangkurat I di Mataram.

Menurut pemerhati sosial KH Sholahur Robbani SE, karakter masyarakat Madura - khususnya Sampang - sangat menjaga gengsi dan harga diri. Sehingga, ada pepatah Madura e' tembang pote' mata lebbi bagus pote' tolang (lebih baik mati dari pada menanggung malu). Padahal, Pe're'ng e'tompok meste' akramangan (piring ditumpuk pasti berbunyi).

Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial yang hidup dengan berbagai macam watak dan karakter, kata dia, masing-masing komponen masyarakat harus mengkoreksi diri dan haruslah mempunyai rasa tasamuh - lapang dada, ta'awwun - saling menolong, dan ta'affu saling memaafkan demi keutuhan dan persatuan bangsa. *

atas