back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
PANJI |
Roostien Ilyas
Dia termasuk orang yang paling prihatin dalam menyambut Hari Anak Nasional, 23 Juli, tahun ini. Upayanya sejak 1989 membantu pendidikan anak telantar di Tanah Air seakan-akan tak banyak berarti. Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah mengancam kelanjutan sekolah delapan juta anak lagi. "Padahal, anak Indonesia hari ini, ya bangsa Indonesia masa mendatang," ujar ibu tiga anak ini menerawang.
Namun Roostien Ilyas, 48, takkan surut dari pekerjaan sosial yang telah dipatoknya sebagai profesi. "Karena beragama itu tidak cukup hanya dengan insya Allah," ujarnya. Cap pekerja sosial seolah-olah telah diberikan Allah kepadanya. Berikut pengalamannya sebagaimana dituturkan kepada Dudi Rahman dan Muzakkir Husain dari Panji.
Antara Berkarya dan Insya Allah
"Ma, mana yang lebih baik: makan babi milik sendiri atau makan bandeng hasil mencuri?"
Aku hanya melongo mendengar pertanyaan sederhana yang meluncur dari mulut kecil Novi, anak pertamaku, dulu, ketika dia masih belum lagi 10 tahun. Ya, manakah yang lebih baik antara dua pekerjaan haram itu? Aku balik bertanya dalam hati.
Tak lagi kuingat bagaimana persisnya jawaban yang aku berikan. Bahkan mungkin aku berkata ketus saat itu, "Hus, kok pertanyaannya begitu." Ini perlakuan terhadap anak-anak yang justru paling tak kusukai.
Dan, kini, ketika usia Novi sudah 26 tahun, barulah aku bisa memberi jawaban yang tegas: kalau memang harus memilih, darurat, pilihlah makan babi milik sendiri. Itu ‘lebih baik’ daripada memakan bandeng tetapi kita peroleh dengan menyakiti orang lain. Usai makan babi, mohonlah ampun kepada Allah bahwa kamu dalam keadaan darurat. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa pribadimu.
Bila kamu memilih bandeng dengan jalan mencurinya, lalu kamu mohon ampun dan Allah mengabulkan, tetap saja kamu masih berdosa, dosa sosial. Kamu telah menganiaya orang lain karena merampas haknya. Allah Maha Pengampun untuk dosa-dosa pribadimu, tetapi orang itu belum tentu mau memaafkanmu untuk dosa sosialmu.
Krisis kesalehan sosial. Krisis ekonomi yang berkepanjangan menunjukkan jawaban itu kepadaku. Ya, apa lagi yang belum dirusak oleh krisis ekonomi? Menjelang hari anak nasional tahun ini, 23 Juli 1998, kita justru disodori data tentang peningkatan jumlah anak bermasalah yang sangat fantastis. Koran-koran pada 17 Juli menurunkan laporan, delapan juta anak terancam putus sekolah. Hukum sebab akibatnya sangat gamblang: kemiskinan di Indonesia yang sebelum krisis hanya dialami oleh 11 juta penduduk, kini, entah pada fase ke berapa dan masih ada berapa fase lagi kelanjutannya, angka tersebut telah melampaui separo dari total penduduk Indonesia: 103 juta jiwa! Akibatnya, ya itu tadi, delapan juta anak akan segera menyusul teman-temannya yang sebelum krisis telah lebih dulu dihantui oleh bayangan masa depan yang suram karena ketimpangan sosial sepanjang Orde Baru. Bencana apa lagi yang lebih berbahaya dibanding rapuhnya kualitas anak-anak yang tak lain adalah pondasi masa depan sebuah bangsa?
Usahaku menggeluti profesi sebagai pekerja sosial--hanya satu bagian kecil dari teman-teman lainnya--seakan-akan tak berarti apa-apa melihat kenyataan itu. Sebelum krisis datang memporak-porandakan semua, aku dan teman-teman di Yayasan Nanda Dian Nusantara (NDN), tempat kami bekerja, sering merasa begitu bahagia bisa membantu sekitar 600 anak telantar untuk mengecap pendidikan. Kalau tidak di sekolah, ya mereka kita usahakan mau mengikuti program pendidikan preventif edukatif lainnya sehingga mereka tidak makin terperosok ke dalam ketidakmenentuan masa mendatang. Misalnya program pemberantasan buta huruf, sekolah pasar yang hanya dua jam per hari, gerakan gemar membaca melalui perpustakaan anak-anak, kursus keterampilan, dan sebagainya. Namun, kini, angka ratusan anak itu terasa tak berarti apa-apa. Jutaan anak sedang menunggu pertolongan.
Itulah akibat krisis ekonomi. Orang-orang menyebut penyebabnya adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tapi secara mendasar, bagiku, akar masalah yang sebenarnya adalah hilangnya kesalehan sosial dari sebagian besar kita, terutama di kalangan elite kekuasaan. Banyak yang bila mendengar kata-kata daging babi atau alkohol orang langsung bergidik, yang secara sengaja memperlihatkan kejijikannya. Namun bandeng orang tak malu-malu dia curi. Dia terlihat selalu tampil dalam acara-acara keagamaan, berkali-kali menunaikan ibadah haji, tetapi uang negara tetap dia korupsi. Secara pribadi dia ingin terlihat bersih, tetapi secara sosial dia bergelimang dosa. Kini giliranku bertanya-tanya, manakah yang lebih baik: kesalehan pribadi atau kesalehan sosial?
Mawar Ciptaan Allah. Aspek formal keberagamaanku kurang bagus. Ngaji aku tak mahir. Di kampungku, Sumenep, ketika kecil dulu, aku memang lebih banyak mangkir dari pengajian karena guru mengajiku amat galak. Dia mengajar sambil memegang rotan. Salah lafal, rotan itu dipukulkan ke lantai. Mendengar suaranya saja sudah hampir merontokkan jantung. Bagaimana kalau sempat mampir ke ujung jari? Pendidikanku pun tidak ada di pesantren atau madrasah sebagaimana kebanyakan orang Madura. Aku menyelesaikan pelajaran di SD, SMP, SMA, lalu di IKIP di Surabaya. Pesantren kilat? Ah, dulu yang kilat-kilat begitu belumlah ada.
Untunglah ayahku bisa tampil sebagai pendidik yang baik. Setidaknya begitu menurutku. Pekerjaannya sendiri adalah pegawai negeri Kantor Penerangan Daerah di Sumenep, Madura. Waktunya tidak banyak untuk terjun sendiri mengajariku mengaji. Namun ayah bisa menanamkan nilai-nilai agama dengan cara yang begitu pas.
"Khusyuk ketika salat itu kok susah betul, Pak," tanyaku suatu ketika. Guru agama di sekolahku mengajarkan agar kita mengingat Allah sejak takbiratulihram hingga salam. Itu namanya khusyuk. Tapi bagaimana mengingat Allah tak bisa dia terangkan.
"Hmm, begini," ujar ayah mulai menjelaskan. "Apa yang Roostien paling sukai saat ini?"
"Bunga mawar!"
"Dalam salat, bayangkan saja bagaimana indahnya bunga mawar. Warnanya yang menyala, kelopaknya yang tersusun rapi, eh ada embun lagi di salah satu kelopaknya. Betul-betul indah, bukan? Nah, selanjutnya, Roostien harus ingat, mawar itu ciptaan siapa. Ciptaan Allah. Betapa kuasanya Allah. Ingatlah itu. Itu namanya khusyuk."
Pada kesempatan lain aku ditunjukkan apa dan bagaimana agama lain selain Islam. Ya, dari aspek kognitif, tetapi yang lebih ditekankan adalah pada aspek dasar-dasar keimanannya. Aku diajak memberikan penilaian seobjektif mungkin. Dengan demikian, aku bisa meyakini kebenaran Islam dari dalam diriku sendiri.
Karena pendekatan seperti itu, akhirnya aku tumbuh dengan penghayatan keagamaan yang selalu menyertakan nalar. Aku terbiasa melihat berbagai masalah dari kacamata nilai-nilai. Bukankah substansi agama adalah nilai-nilai? Keislamanku tentu saja masih jauh dari sempurna, tetapi aku bersyukur bisa menjadikan Islam sebagai inspirasi nilai dan pengetahuan dalam kehidupanku.
Pelacur itu menang MTQ. Bangsa kita terkenal religius. Namun sejak melewati sebuah peristiwa yang sangat ironis pada 1989, aku selalu saja merasakan kecemasan, alangkah suramnya masa depan Islam bila religiusitas kita bergeser hanya pada pementingan aspek formalitas dan simbol-simbol. Aku membayangkan, kita, semua, tiba-tiba telah merasa cukup karena sudah berpredikat haji, bisa mengaji, dan rajin mengucapkan insya Allah setiap bertemu teman-teman. Ibadah haji itu tentu saja baik, tetapi kenapa kita hanya menjadikannya simbol sosial dan mengabaikan substansinya? Kita cenderung berhenti hanya melafalkan ayat-ayat Quran dan tidak mengamalkannya. Kita tiba-tiba merasa puas karena telah mengucapkan insya Allah dan semua menjadi beres. Padahal, ucapan itu adalah doa yang lebih tepat bila kita panjatkan kepada Allah, bukan dihambur-hamburkan kepada orang lain dan segera kita jabarkan dalam tindakan nyata.
Waktu itu, dalam keasyikanku menekuni profesi sebagai pekerja sosial, aku berkenalan dengan seorang pelacur (janganlah lagi kita menggunakan istilah WTS karena ini hanya menimpakan kesalahan kepadanya semata sementara dia bisa begitu karena ada pria yang mendatanginya) yang pintar ngaji di lokalisasi pelacuran Kompleks Kramat Tunggak. Suaranya bagus, membuatku geleng-geleng kepala tak percaya. Kebetulan saja, tak lama setelah itu, pada 1989-an, aku terlibat kepanitiaan MTQ untuk gelandangan di Jakarta Utara. Kesempatan itu tak kusia-siakan. Pelacur itu aku ikut sertakan menjadi peserta dan dia menyabet tempat keempat. Ketika sampai pada acara penyerahan hadiah, dialog ini pun terjadi antara aku dan Pak Wiyogo Atmodarminto yang saat itu gubernur DKI Jakarta.
"Bapak tahu nggak siapa yang dapat juara empat itu?"
"O, itu kan yang dari Kelurahan Tugu, toh?"
"Persisnya dari Kramat Tunggak, Pak. Dia salah seorang penghuni lokalisasi pelacur itu, Pak."
"Lha, kok kamu membawa pelacur ikut MTQ."
"Buktinya kan dia menang, Pak. MTQ menyatakan dia sebagai terbaik keempat."
Dan, di luar harapanku, walaupun sudah menjadi juara MTQ, pelacur itu tetap kembali ke lokalisasi dan menggeluti pekerjaannya. Dalam hati aku menangis, jangan-jangan begitu pulalah hal yang menimpa para koruptor di negara ini. Lalu mana yang lebih baik, para pelacur atau para koruptor?
Mungkin patah hati karena peristiwa itu, tidak lama kemudian aku putar haluan, mengalihkan sasaran. Aku memilih terjun membina anak-anak telantar yang tidak kalah banyaknya di DKI: pemulung, gelandangan, pedagang asongan, loper koran, bahkan anak pelacur itu sendiri. Lebih baik aku cegah mereka sedari kecil agar tidak terjerumus ke dunia hitam daripada mencegah mereka yang sudah telanjur terjerumus. Tak ubahnya kanfas putih yang relatif masih bersih, mereka harus kita selamatkan sebisa mungkin, sebelum dicorat-coret oleh kebodohan yang tak punya belas kasihan. Kita bimbing mereka agar bisa membaca, membaca huruf, membaca alam, membaca segala sesuatunya. Itulah perintah pertama Al-Quran kepada kita: bacalah!
Peristiwa itu seakan-akan telah menjadi salah satu tonggak keberagamaan yang sangat mempengaruhi sikapku selanjutnya. Kepada teman-teman di NDN selalu kutekankan, mulailah menghargai agama dari nilai-nilainya. "Ucapkan insya Allah dalam hati, lalu kamu bekerja keras mewujudkan program. Lebih baik tinggalkan formalitas dan simbol-simbol bila substansinya justru kamu langgar. Itu hanya akan mencoreng Islam," kataku.
Pun aku ngotot terjun ke bidang ini karena beragama itu tidak cukup hanya dengan insya Allah. Bila aku merasa mampu, aku harus memperjuangkannya agar terwujud. Allah telah memberiku potensi, akal, dan petunjuk.
Cap Pekerja Sosial. Anehnya, dalam hati, aku merasa Allah memang merestuiku menjadi pekerja sosial. Tepatnya setelah aku menunaikan ibadah haji pada 1994.
Ketika akan berangkat, aku sebenarnya tak begitu terpengaruh dengan cerita-cerita aneh yang diceritakan teman-teman sesama calon jamaah haji. Konon, ketika berada di Saudi, kita akan ditimpa kejadian sesuai dengan perilaku kita sehari-hari di Tanah Air. Bila sering mengambil hak orang lain maka akan kehilangan koper, uang, atau bahkan tersesat tidak bisa pulang ke penginapan. Aku berpikir, seseorang hilang, ya karena dia ceroboh tak menguasai peta saja.
Namun, ketika berada di Tanah Suci, hal-hal yang tidak rasional itu ternyata justru menimpaku. Seperti ketika turun dari pesawat di Jeddah. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba serombongan orang yang sudah tua, tidak kukenal, tidak bisa berbahasa Inggris, mengerubutiku. Mereka meminta pertolonganku untuk mengisikan formulir keimigrasian yang tidak mereka pahami. Akhirnya, hampir saja aku tercecer dari rombongan karena melayani mereka terlebih dahulu. Seorang anggota rombongan yang tidak mengenal profesiku yang sebenarnya sempat nyeletuk, "Ibu Roostien jadi pekerja sosial saja sekembalinya ke Tanah Air." Aku tersenyum saja. Niatku untuk istirahat sebagai pekerja sosial ternyata tidak bisa terwujud bahkan ketika di Tanah Suci.
Di Mekah, aku menginap hanya beberapa meter dari Masjidil Haram. Anehnya lagi, aku kok selalu didatangi oleh orang-orang yang meminta pertolongan diantarkan ke penginapannya masing-masing. Mereka tersesat dan entah siapa yang menunjukkan agar minta pertolongan kepadaku. Suamiku bergumam, "Mama sudah kena cap sebagai pekerja sosial oleh Allah." Benarkah? Yang pasti, aku bahagia.
Aku tidak kecewa mendapatkan ‘gangguan’, tidak bisa seperti teman-teman lain yang sepenuhnya menyediakan waktu hanya untuk berhaji. Ya, mungkin ini sudah menjadi bagianku. Aku puas bisa beribadah untuk orang lain, tidak individual untuk diri sendiri. Sekembalinya ke Tanah Air, aku bahkan bertambah heran karena ternyata selama di Tanah Suci tidak satu pun doa yang kupanjatkan untuk diriku sendiri. Semua untuk orang lain. (MUZAKKIR HUSAIN)
Biodata
Nama: ROOSTIEN ILYAS
Lahir di: Sumenep, 22 Januari 1950
Pendidikan
Pengalaman
|