back | |
Serambi DEPAN |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
10 April 1999 | Suara Pembaruan |
Jakarta, Pembaruan
Kurangnya minat siswa, mahasiswa dan dosen untuk masuk ke laboratorium adalah akibat kurangnya perhatian atas budaya mencintai riset dan rasa ingin tahu. Budaya melakukan riset harus ditumbuhkan, agar bangsa ini tidak tertinggal di era global, di mana peran penelitian dan pengembangan (litbang) menjadi prasyarat penting.
Demikian anggota Majelis Penelitian Pendidikan Tinggi Komisi Pendidikan Depdikbud, Prof Dr Anna S Soeparno kepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (9/4) malam. Hal senada juga disampaikan pakar pendidikan LIPI, Arief Purnomo Ph.D.
Secara terpisah, pakar LIPI lainnya, Arief Arihman menyoroti jumlah peneliti Indonesia yang tertinggal di ASEAN. Arief menilai, sudah saatnya kurikulum pendidikan tinggi diperbarui atau direvisi seiring perkembangan keilmuan. Pemerintah diminta segera mengkaji masalah pendidikan tinggi dan mengantisipasi jalan keluarnya, agar kampus tidak tertinggal.
Menurut Anna, selain kurang dukungan dana, kendala utama riset di Indonesia adalah kurangnya minat melakukan penelitian. Diakui, riset memerlukan kesungguhan, energi dan pemikiran. Riset bukan pekerjaan gemerlap. Tak heran bila hanya sedikit yang mau menggelutinya.
"Hanya orang-orang tertentu saja yang mau menghargai secara adekuat perlunya lembaga riset. Pasalnya, imbalan materi dari hasil riset perguruan tinggi di Indonesia kurang memadai. Belum seperti profesi lain," ujar mantan Rektor IKIP Jakarta itu.
Apalagi di Jakarta, godaannya lebih tinggi. Berbeda dengan di daerah yang perguruan tinggi (PT) dan mahasiswanya cenderung lebih tekun menggeluti riset.
Dikatakan, budaya mencintai riset dan rasa ingin tahu harus dipacu sebagai bagian dari reformasi pendidikan tinggi. Riset dengan pendidikan tidak bisa dipisahkan. Budaya riset melalui pendidikan dinilai harus menjadi bagian dari kurikulum.
"Saya tidak mau menuding siapa yang salah sehingga dunia litbang menjadi terbelakang. Sebagai pendidik, mari kita mengintrospeksi diri. Saya sudah capek mendengar 'kambing hitam'. Kata kuncinya adalah tuntutan dan tuntunan kita sebagai pendidik masih kurang untuk bangsa ini," tegas Anna seraya menjelaskan, tahun ini terdapat 460 proposal penelitian yang diajukan untuk mendapatkan bantuan hibah bersaing. Khusus kesehatan, tersedia dana sekitar Rp 250 juta.
"Saya juga mau mengkritik pers yang kurang mengekspos dunia penelitian sehingga membuat malas peneliti. Penelitian kita yang berasal dari hasil riset unggulan terpadu, banyak yang belum tersentuh atau sampai kepada masyarakat," tuturnya.
Tertinggal Di ASEAN
Sementara itu Arief Arihman dari LIPI mengungkapkan, jumlah peneliti di Indonesia memprihatinkan, hanya 1 orang per 10.000 penduduk. Jauh lebih rendah dibandingkan negara lain di Asia seperti Korea, Singapura, Taiwan, Jepang dan Malaysia. Jumlah itu pun belum memadai untuk jenis keahlian dan tingkat kemampuan.
Di bidang ilmu sosial, rasio peneliti adalah 3:10.000. Di bidang sains dan teknologi, rasionya lebih kecil, hanya 20.000 orang atau 1:10.000. ''Angka ini memprihatinkan. Padahal tahun 2020, tepatnya di era globalisasi, kita membutuhkan 10 peneliti untuk 10.000 penduduk."
Arief juga menyinggung lulusan program pascasarajana PT yang saat ini baru berjumlah 5.000 lulusan per tahun. Padahal target Depdikbud sebelum krismon dan masa Orde Baru, pada 2020 harus dihasilkan 80.000 sarjana magister.
Jumlah mahasiswa pasca sarjana akan mencapai 200.000 orang tahun 2020, atau 4 persen dari seluruh mahasiswa. Namun karena situasi krisis ekonomi, target itu diperkirakan luput lagi. Pemerintah diminta segera mengkaji masalah ini dan mengantisipasi jalan keluarnya agar kampus tidak tertinggal.
Disarankan, kalangan PT jangan terlalu kaku dan terpaku pada kurikulum nasional. Sebab, 11 konsorsium yang ada sangat terbatas ruang geraknya. Keilmuan dan keahlian seseorang saat ini bisa amat banyak, sebanyak aneka ragam kehidupan. Untuk itu, sudah saatnya kurikulum pendidikan tinggi diperbarui atau direvisi seiring perkembangan keilmuan.
"Depdikbud jangan membatasi kemajuan mahasiswa dengan pengetahuan yang usang dan terbatas. Dari kaca mata PT swasta, terlihat pemerintah amat lambat dalam mengembangkan program studi yang ada di PT swasta. Selain itu pemerintah sering membuat peraturan yang menyulitkan pihak swasta untuk maju dan berkembang. Ini harus segara direformasi," katanya.