Panji Masyarakat
Februari 1999
Bambang Irawan Hafiluddin
Masjidil Haram Menggapai Cahaya
Terbius satu aliran sesat, Bambang Irawan
Hafiluddin, 59, kehilangan sikap kritis selama 23 tahun. Dia menerima saja
setiap doktrin pemimpin jamaahnya - dijuluki Amir - yang mengaku sebagai
satu-satunya sumber kebenaran di muka bumi. Beruntung, Allah menunjukinya
jalan kembali, justru ketika dia menjadi orang nomor dua setelah Sang Amir.
Minggarini, reporter magang dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS),
mewawancarai ayah dari 15 anak ini untuk Anda.
Sepertinya sudah menjadi suratan hidup saya untuk selalu
gelisah sejak muda. Ketika masih duduk di bangku sekolah menengah, pada
1950-an, saya sudah didera dengan sederet pertanyaan yang tidak gampang:
kenapa umat Islam selalu terbelakang? Setiap hari saya melihat, di
jalan-jalan, di pasar-pasar, umat Islamlah yang menjadi pengemis. Di pinggir
rel kereta, merekalah yang menjadi gelandangan. Di penjara, mereka pulalah
yang menjadi pesakitan. Bahkan, tidak hanya di lapisan masyarakat kelas bawah
seperti itu, di panggung politik, di dunia usaha, atau di bidang pendidikan,
mereka pun selalu menjadi kelas teri. Pokoknya, kesan umum umat Islam mestilah
kumuh, bego, gudikan, dan seterusnya.
Sementara, dari berbagai literatur--saya sudah menjadi kutu
buku sejak kecil. Karya-karya Buya Hamka dan Muhammad Iqbal sudah saya baca
sejak saya masih di bangku sekolah menengah pertama - saya ketahui, Islam
adalah agama universal, agama yang paling benar, agama yang paling sempurna,
yang diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Mestinya keadaan umat
Islam di seluruh penjuru dunia sejahtera. Mereka seharusnya kuat, kaya,
pintar, bahkan bisa tampil memimpin. Tapi, nyatanya kan tidak demikian.
Kenapa?
Eksentrik
Usai SMA, pada 1958, kegelisahanku tak
kunjung reda, bahkan makin bertambah. Saya yakin, ada yang salah dalam
kehidupan beragama kita selama ini. Kita tak ubahnya itik yang lemas kehausan
padahal sedang berenang di sungai, atau ayam kelaparan padahal sedang berada
di dalam lumbung padi. Cara beragama kita tidak jelas juntrungan-nya,
tidak terprogram, tak memiliki tujuan, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Kita membutuhkan pembaruan dalam kehidupan beragama, baik dalam
pemikiran, tindak tanduk, organisasi, dan sebagainya. Umat Islam harus bangkit
merebut kejayaannya yang memang telah dijanjikan.
Akhirnya, saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di IAIN
Yogyakarta, meninggalkan cita-cita saya untuk masuk AMN (Akademi Militer
Nasional, Akabri sekarang). Ini membuat ayah yang perwira tinggi ABRI kecewa
berat. Di perguruan tinggi agama Islam tertua itu saya bertekad meneruskan
pencarian.
Di Yogya, ayah menitipkan saya di rumah seorang temannya,
seorang dosen senior, Prof. Abdullah Sigit. Saya tentu saja senang karena bisa
lebih intensif membaca literatur di perpustakaan pribadi Pak Profesor yang
memang dipenuhi buku-buku. Selain itu, juga bisa mengikuti perbincangan ilmiah
bila dosen-dosen yang lebih muda bertandang. Saya makin tenggelam dalam
pencarian panjang, di antara berbagai pendapat dan ide, di tengah rimba
analisis. Akibatnya, saya seperti terpisah dari kehidupan normal para
mahasiswa. Bahkan penampilan saya sehari-hari di kampus - ini saya sadari
kemudian - menjadi eksentrik seperti seorang pemikir: selalu pakai peci,
berjanggut panjang, berbaju jubah panjang, dan duduk di bangku paling pojok.
Rindu Imam Mahdi
Tapi, ternyata di IAIN pun saya
kecewa. Semua dosen yang mengajar, dalam pengamatan saya kala itu, justru
merupakan bagian dari penyebab keterbelakangan umat Islam selama ini. Sebagai
kalangan terdidik dari umat Islam, mereka seharusnya progresif, berpandangan
luas, dan tidak jumud. Namun, nyatanya, sampai kiamat pun mereka tidak bisa
diharapkan mengubah keadaan umat Islam, kecuali bila mereka mau merombak cara
berpikirnya.
Akhirnya, atas saran beberapa dosen yang diam-diam
memperhatikan kegelisahan saya, pada 1960 saya meninggalkan IAIN untuk
berkelana, mengunjungi pesantren-pesantren yang ada di Jawa. 'Berbahaya,' ujar
seorang dosen kepada temannya tentang saya. 'Bisa-bisa dia murtad atau
terekrut PKI,' sambungnya. Dalam perkiraan mereka, dengan mengunjungi beberapa
pesantren yang ada, saya bisa melihat secara langsung kehidupan umat Islam di
tataran realita, bisa mendapatkan nilai-nilai luhur dari kejujuran dan
kepolosan rakyat kecil, dan bisa bersikap lebih realistis.
Namun, lagi-lagi, kegelisahan saya justru makin bertambah,
terutama setelah melihat keadaan para santri yang kumuh dan pesantren yang
kotor. Padahal, kalangan inilah yang menurut saya seharusnya paling bisa
mencerminkan cara hidup yang islami. Saya tiba-tiba sampai pada satu
kesimpulan, umat Islam membutuhkan seorang Ratu Adil, Imam Mahdi, atau apalah
namanya, yang bisa memberi pencerahan untuk bisa bangkit dari kubangan
keterbelakangan.
Akhirnya 'Ketemu'
Eh, tumbu ketemu tutup alias
gayung bersambut, pada masa-masa itulah saya diperkenalkan dengan seorang
pemimpin kelompok keagamaan (jamaah) yang amat 'luar biasa'. Dari fisiknya
saja sudah terlihat bahwa dia bukan orang sembarangan. Tubuhnya tinggi besar,
kekar, gesit, dan menguasai banyak ilmu kanuragan. Penampilannya eksentrik,
tidak hanya bisa berjubah, tetapi juga sering berjaket kulit sambil
mengendarai motor besar. Di kantongnya selalu ada segepok uang dolar dan
markasnya sangat mewah. Dia hafal - paling tidak dari pengakuannya - Al-Quran
30 juz, memiliki gaya retorika yang sangat menarik, cerdas, herois, pekerja
keras, dan berwawasan sangat luas. Pokoknya, betul-betul memukau.
Di markasnya yang sangat luas dan megah, di satu kota di Jawa
Timur, secara rutin diadakan pengajian khatam Al-Quran dengan metode yang
unik. Tidak sekadar membaca, ayat per ayat dari Al-Quran dia baca di depan
ratusan murid-muridnya, sambil memberikan terjemahan kata per kata dengan gaya
yang sangat menarik. Kegiatan seperti ini berlangsung dari pagi hingga malam
selama 40 hari.
Bila tubuhnya mulai terasa pegal karena duduk seharian, dia
segera saja melompat dari kursinya ke tengah-tengah ruangan yang lebih mirip
gedung olahraga, sambil menarik pedang, lalu memainkan jurus-jurus pencak
silat diiringi tepuk tangan dan tetabuhan gendang para muridnya. Saya
terpengaruh, memang orang seperti dialah yang bisa mengubah nasib umat ke arah
yang lebih baik. Singkat kata, saya pun akhirnya bersedia dibaiat menjadi
anggota setia jamaah itu.
Terbius dan Mabok
Itulah awal dari 23 tahun perjalanan
kehidupan keagamaanku yang justru sangat menyedihkan. Bagaikan tersihir oleh
kekuatan yang begitu kuat, selama itu saya tak pernah lagi menggunakan akal
sehat bahkan dengan begitu bersemangat menerima saja setiap ajaran dari
pemimpin jamaah - yang kami sebut Amir - sebagai kebenaran mutlak. Bahkan
karena loyalitas dan pengabdian yang begitu tinggi, saya kemudian bisa menjadi
orang nomor dua di kelompok itu, mendampingi Sang Amir dalam urusan apa pun
dan ke mana pun dia pergi.
Aneh, begitu banyak ajaran Sang Amir yang di kemudian hari
saya ketahui menyimpang dari prinsip-prinsip Islam. Di antaranya, Sang Amir
mengklaim hanya dirinyalah - atau anaknya bila sudah tampil - penyampai
kebenaran di muka bumi ini. Semua ajaran yang tidak melalui mulutnya pastilah
sesat dan yang mempercayainya akan masuk neraka. Begitupun setiap orang di
luar jamaah tak lebih dari cecunguk sesat yang tolol, khianat, pikun, dan
pasti masuk neraka. Untuk menunjukkan keagungan dirinya, Sang Amir sering
membakar kitab-kitab kuning di depan kami sambil mengatakan bahwa kitab-kitab
tersebut tak berguna dan menyesatkan.
Kami diajari untuk kawin-cerai sesering mungkin untuk
melebarkan pengaruh jamaah. Terutama untuk menggaet wanita-wanita kaya yang
pada akhirnya bersedia menyerahkan semua hartanya demi kepentingan Sang Amir.
Tak urung, saya pun sempat beberapa kali dia kawinkan dengan motivasi jahat
seperti itu. Dia sendiri tidak pernah memiliki istri kurang dari empat.
Ajaran lainnya, kami diperkenankan menggunakan segala cara
untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, yang kemudian harus diserahkan
kepada bagian keuangan Sang Amir. Menurut Amir, orang-orang di luar jamaah
adalah kafir yang pantas diperangi dan diambil hartanya. Tapi, tentu saja
dengan cara yang licik sehingga tidak membawa dampak buruk pada jamaah secara
keseluruhan.
Karena kerja keras para anggota, jamaah ini pada akhirnya
memang bisa merambah ke mana-mana. Bahkan bisa membuka cabang di Sydney,
Singapura, dan New York di samping beberapa kota besar di Indonesia. Setiap
bulan, semua cabang diharuskan mengirimkan sumbangan, yang lagi-lagi
dikumpulkan oleh bagian keuangan Amir dan pada akhirnya hanya untuk
kepentingan pribadi Sang Amir.
Kembali Mendapatkan Cahaya
Mengingat itu semua, terus
terang, saya merasa sangat malu. Malu kepada Allah, malu pada sesama manusia,
malu kepada sejarah. Bayangkan, selama 23 tahun, sejak berusia 20 sampai 43
tahun, saya bisa terbius dan mabuk karena aktif di jamaah yang seperti itu,
tanpa sikap kritis sama sekali. Saya bahkan 'sangat berjasa' karena berhasil
menarik begitu banyak anggota ke dalam jamaah. Bukan hanya keluarga saya
sendiri, melainkan juga teman-teman, tetangga, kenalan, sampai orang yang
hanya sekadar bertemu. Untunglah pada akhirnya Allah berkenan memberi saya
cahaya-Nya. Itu pun, dengan jalan yang sama sekali di luar dugaan saya
sendiri, justru ketika saya sedang dekat-dekatnya dengan Sang Amir.
Begini ceritanya. Saat itu, 1974, jamaah kami mendapat batu
sandungan. Pasalnya, seorang anggota jamaah telah salah pilih dalam merayu
gadis yang sudah menjadi tunangan anak seorang petinggi ABRI (PM), untuk
dinikahi sebagai bagian dari upaya menjalankan misi jamaah. Sang anggota PM
ini terang saja mengamuk dan mengobrak-abrik markas jamaah bahkan menangkap
Sang Amir untuk dipermak. Untunglah Sang Amir kemudian dilepaskan karena
berpura-pura sakit, lumpuh, dan gagu. Tentu, dengan kemungkinan ditangkap lagi
bila ketahuan ternyata dia sehat walafiat.
Ada akal menghindari ancaman serius itu. Sang Amir kemudian
memutuskan untuk mukim beberapa waktu di Arab Saudi untuk berobat karena hanya
di Tanah Suci-lah penyakitnya bisa disembuhkan. Sang Amir mengajak saya, orang
terdekatnya, di samping tujuh anggota keluarganya yang lain. Kami pun terbang
ke Tanah Suci dengan perbekalan yang lebih dari cukup, hasil upeti dari para
anggota jamaah selama ini.
Di Tanah Suci, saya tidak mempunyai kegiatan lain kecuali
melihat-lihat pengajian yang memang banyak diadakan di Masjidil Haram. Niat
saya, pada awalnya, tentu saja untuk sekadar melecehkan. Karena, bukankah
hanya Sang Amir sumber kebenaran?
Namun, masya Allah, setelah beberapa kali saya mengikuti
pengajian, hati saya terasa mulai terbuka kembali. Ya, kenapa selama ini saya
begitu picik, menyembah orang yang berkoar-koar sebagai tuhan sementara
ulama-ulama besar yang memberikan pengajian di Masjidil Haram itu begitu
rendah hatinya meski memiliki ilmu yang jauh lebih luas? Astagfirullah, saya
sadar telah menjalani cara beragama yang jauh lebih melenceng ketimbang para
santri yang paling bodoh sekalipun. Saya menangis. Sejak itu, tanpa
sepengetahuan Sang Amir dan keluarganya, saya pergunakan kesempatan selama
empat tahun di Tanah Suci untuk betul-betul memperbaiki akidah.
Namun, itu sangat tidak mudah karena saya telanjur tenggelam
dalam kesesatan ajaran kultus dari jamaah yang selama puluhan tahun saya
geluti. Upaya perbaikan diri itu saya lanjutkan di Tanah Air, juga secara
diam-diam. Barulah pada 1983 setelah saya betul-betul merasa telah 'bersih'
dari pengaruh jamaah yang membius saya sekian lama, saya nyatakan kepada
orang-orang di sekitar bahwa saya bukan lagi bagian dari jamaah tersebut.
(Muzakkir Husain)
BIODATA
Nama |
: Bambang Irawan Hafiluddin |
Lahir |
: Pamekasan, Madura, 10 Maret 1940 |
Pendidikan |
: SR Pamekasan, 1952 |
|
SMPN XI Kebayoran Baru, 1955 |
|
SMAN VI Kebayoran Baru, 1958 |
|
IAIN Yogyakarta, 1960 |
Ya, kenapa selama ini saya begitu picik,
menyembah orang yang berkoar-koar sebagai tuhan sementara ulama-ulama besar
yang memberikan pengajian di Masjidil Haram begitu rendah hatinya meski
memiliki ilmu yang jauh lebih luas.
atas