back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Selasa 5 Oktober 1999 |
Radar Madura |
Madura Dalam Gelombang Reformasi
Pentingnya Kesopanan, Kehormatan, dan Islam Jika Aceh dikenal sebagai serambi Mekkah, maka Madura adalah serambi Madinah-nya. Tak banyak daerah yang mendapat kehormatan dilekati label istimewa ini. Dari kedua atribut tersebut dengan mudah terlihat posisi dan kultur yang khas, yakni kelekatannya dengan tradisi keislaman. Tidaklah mengherankan jika keseluruhan bangunan hidup dan kehidupan masyarakatnya tak dapat dilepaskan dari kultur keagamaannya yang teramat khas tersebut. Berikut tulisan bersambung wartawan Radar Madura di Sumenep Rasul Junaidy. Menarik sekali, kalau melihat prilaku dan pola kehidupan masyarakat Madura yang teramat khas itu. Kalau diamati, masyarakat Madura biasanya selalu didiskripsikan oleh etnik lain jauh berbeda dengan pandangan orang Madura tentang diri mereka sendiri. Menurut budayawan D. Zawawi Imron, seringkali gambaran tentang masyarakat Madura oleh orang luar bernuansa atau bersifat sangat negatif. ''Etnik lain selalu menggambarkan masyarakat Madura sebagai kelompok orang-orang yang keras, suka membunuh, pendendam, mudah tersinggung, dan tidak toleran terhadap orang lain, ujarnya. Yang lebih menyakitkan lagi, kata D. Zawawi Imron, adalah ucapan Elly Dowen Buusma, si peneliti masalah carok yang menyebut Madura sebagai Sisilia of Java. Paling tidak, itulah gambaran sosial budaya masyarakat Madura menurut "orang luar Madura". Namun, sesungguhnya, menurut orang dan masyarakat Madura sendiri pada dasarnya terdapat paling tidak tiga citra diri dalam kehidupan sosial budaya Madura, yaitu Kesopanan, Kehormatan dan Islam. KESOPANAN Salah satu tradisi yang amat penting bagi masyarakat Madura adalah kesopanan yang harus dijunjung tinggi. Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan ta'tao batona langgar (tidak pernah merasakan lantainya langgar). Maksudnya, orang tersebut belum pernah masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok di pesantren, sehingga tidak tahu tata krama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan ajaran tentang keharusan bersopan santun adalah : pa tao ajalan jalana jalane, pa tao neng ngenneng, pa tao a ca ca (yang menjadi kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus tahu saatnya berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus selalu tahu aturan, nilai dan tata krama dalam setiap tindakannya. Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturan-aturan tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube', ma' celep ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun tatakramanya). Meskipun bagus atau cantik kalau tata kramanya jelek, dapat membuat hati menjadi tidak enak). Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial. KEHORMATAN Orang dan masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan penghargaan, apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi, sehingga menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat. Orang dan masyarakat Madura tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai. Sifat yang demikian termasnifestasikan dalam ungkapan madu ben dara (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai sebagai sesama manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangat nampak dari ajaran ja' nobi' oreng mon aba'na e tobi' sake' (janganlah menyakiti orang lain, kalau diri-sendiri merasa sakit jika disakiti orang). Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate' (obatnya malu adalah mati). lebih bagus apote tolang etembang apote mata (lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air. Tanah dan air selalu dipertahankan dengan cara kesopanan dan penghormatan. Pengambilalihan tanah yang tidak didasarkan pada tatakrama dan penghormatan menjadi persoalan "penggerowokan" terhadap martabat dan harga diri. Hal ini disebabkan karena tanah merupakan sumber utama kehidupan, terdapat ikatan emosional, religi dan kosmologis dengan pemiliknya. AGAMA Pembicaraan tentang agama bagi masyarakat Madura adalah identik dengan Islam. Islam adalah sangat meresap dan mewarnai pola kehidupan masyarakat. Islam merupakan hal suci yang harus dibela dan dipertahankan. Betapa pentingnya nilai-nilai agama terungkap dari ajaran abantal syahadat, asapo' angin, apajung Allah. Artinya, masyarakat Madura sangat religius. Masyarakat Madura tergolong pemeluk Islam yang taat. Demikian lekatnya Islam pada masyarakat Madura, sehingga akan terdengar aneh apabila ada orang Madura yang tidak beragaman Islam. Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah kyai. Itulah yang menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para kiai. Mereka bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin masyarakat. Para kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah sekali untuk disepakati. Kepemimpinan yang disandang para kyai adalah bersifat polymorphie atau berpengaruh penting dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik. Harapan yang diberikan masyarakat kepada kiai sangat besar sekali. Ia dianggap sebagai personifikasi yang luas pengetahuannya tentang agama Islam, pembangkit inspirasi dan aspirasi, pembentuk kebijakan yang arif, bahkan dituntut kesanggupannya menjadi seorang politikus yang cerdik. Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya
tersebut merupakan ciri orang dan masyarakat Madura secara keseluruhan, tak terkecuali
orang dan masyarakat Madura yang bertempat tinggal di luar pulau Madura. (Rasul Junaidy,
bersambung)
Madura Bukan Perpanjangan Dari Pulau Jawa
Ibarat seorang perawan muda yang molek, Madura
dilirik dan menjadi perbincangan banyak pihak. Bukan hanya di Indonesia bahkan sampai ke
penjuru internasional. Dan, ini bukan lantaran Madura dikenal mempunyai potensi sumber
alamnya yang berlimpah ruah seperti gas alamnya di Pagerungan Pulau Sapeken Sumenep,
Camplong dan lain sebagainya. Namun masyarakat Madura yang memiliki struktur dan kultur
sosial budaya, adat istiadat, dan dialeknya yang berbeda dengan daerah lainnya telah ikut
memberi kesan yang sangat menarik. Termasuk juga dengan kontribusinya dalam khasanah
kebudayaan nasional. Meski begitu, jangan dikira, masih ada, bahkan
banyak yang menilai, kalau Madura dianggapnya sebagai "perpanjangan" dari Jawa.
Sehingga, wajar ketika orang mau mendiskusikan mengenai Madura cenderung selalu dianggap
sangat tidak menarik. Malahan, secara estrem ada yang mengatakan tidaklah penting
memperhatikan Madura, sehingga kalau ingin mempelajari Madura cukup hanya dengan
mempelajari Jawa. Karena dengan mempelajari Jawa sudah inklusif Madura. Padahal kalau kita melihat struktur dan
kulturnya yang teramat khas, justru Madura sangat menarik sekali untuk dijadikan sebagai
sebuah kajian ilmiah. Dr. A. Latief Wiyata, seorang Antropolog asal Sumenep dalam sebuah
seminar yang diadakan Universitas Bangkalan beberapa waktu lalu mengatakan, insan akademik
masih kurang berminat terhadap tema Madura. Menurutnya, hal itu selain karena didasari
oleh alasan-alasan yang terkesan ilmiah, namun juga tidak jarang alasan mereka justru
hanya berlandaskan pada alasan-alasan yang bernada emosional. ''Umumnya alasan itu
berkaitan dengan masalah keberanian atau tidak untuk mengunjungi Madura. Dan dari visi
akademik, kenyataan ini memang cukup memprihatinkan, tambahnya. Padahal, Huub de Jonge, salah seorang pakar
budaya Madura dalam bukunya mengatakan, bahwa Madura secara demografis-antropologis,
termasuk kelompok lima besar setelah Jawa, Sunda, Bali dan Minangkabau. Masih menurut A. Latief Wiyata, pernah suatu
ketika di bulan Oktober 1991 selama seminggu para pakar masyarakat dan budaya Madura dari
seluruh dunia berkumpul di kota Leiden, Nederland dalam suatu lokakarya internasional
dengan topik Madurese Culture : Continuity and Change yang diselenggarakan oleh
KITIV (Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde atau Royal Institut of
Linguistics and Antropology). Lokakarya yang dihadiri kurang lebih 20 orang
yang terdiri dari ahli-ahli antropologi, sosiologi, sejarawan, musikologi, islamologi dan
ekonomi pedesaan dengan keahliannya masing-masing tersebut telah menghasilkan sebuah buku
berjudul Across Madura Strait The Dynamics of an Insular Society (Dijk, Jonge and
Touwen Bouwsma, 1995). Pertanyaan, mengapa justru orang asing yang
sangat peduli dan tertarik meneliti soal karakteristik orang Madura? Bahkan, peneliti
asing beberapa tahun yang lalu harus hidup bertahun-tahun bersama dengan penduduk Madura
di perkampungan. Ada pengalaman menarik dari Aang seorang
mahasiswi perguruan tinggi swasta di Surabaya yang ditugasi oleh universitasnya untuk
melakukan studi banding di Madura. ''Sampai di pelabuhan Kamal, hati ini rasanya deg-degan
Mas, akunya kepada Radar Madura. Namun setelah berbulan-bulan di Madura, ia
menemukan sesuatu yang lain dari sikap dan prilaku orang Madura. Ternyata, yang dia
temukan dan hadapi tidak seperti yang diperkirakan banyak orang sebelumnya. ''Saya sangat
heran, mengapa kultur orang Madura sangat jauh berbeda dengan yang banyak dipersepsikan
banyak orang, ujarnya. ''Penghormatan orang Madura terhadap tamu sangat luar
biasa'', lanjutnya. Bahkan kini ia mendapatkan jodohnya dengan orang Madura. Jadi, kalaupun ada yang mempersepsikan kalau
masyarakat Madura masih memiliki stereotip yang jelek, itu adalah wajar-wajar saja. Karena
memang, kadang orang luar Madura kurang arif memberikan penilaian obyektif tentang
streotif orang Madura yang sesungguhnya. Pengalaman si Aang adalah sebuah contoh, betapa
ia dengan jujur dan tulus berbicara soal bagaimana streotip orang Madura yang sebenarnya. Seandainya mereka ada keinginan untuk
mengetahui Madura lebih jauh lagi, seharusnya mereka berlama-lama di Madura seperti halnya
peneliti orang asing yang kagum terhadap penghormatan dan kesopanan orang Madura setelah
lama mempelajari sikap dan prilaku hidup bersamanya. Dan lagi, kita mengetahui bahwa karakteristik
etnis Madura sangat berbeda jauh dengan etnis lainnya. ''Karakteristik masyarakat Madura
yang menonjol sekali adalah sifatnya yang ekspresif, spontan dan terbuka, ujar
A. Latief Wiyata. Hal itu termanifestasikan ketika masyarakat
Madura merespon segala sesuatu yang sedang dihadapi, khususnya bentuk-bentuk perlakuan
orang lain terhadap dirinya. Munculnya peristiwa yang sempat mencuat kepermukaan nasional
maupun internasional seperti terjadinya penembakan empat orang warga Nipah di Banyuates
Sampang yang memprotes rencana pembangunan Waduk Nipah, proses pemilu 1997 yang harus
diulang sebagai akibat terjadinya kecurangan, adanya rencana industrialisasi yang belum
bisa diterima sepenuhnya ulama Madura adalah sedikit contoh dari sekian bentuk
"perlawanan" masyarakat Madura. Itu semua menunjukkan bahwa perlakuan yang
dianggapnya tidak adil dan menyakitkan hati, secara spontan masyarakat Madura akan
bereaksi. Sebaliknya, kalau ada perlakuan yang membuat hati senang, maka masyarakat Madura
tanpa basa-basi secara terus terang akan mengungkapkan seketika itu juga. Masyarakat Madura juga gigih memegang prinsip,
meskipun dirinya harus berhadapan dengan moncong senapan. Sebab,
dalam kehidupan Madura ada satu falsafah yang sangat terkenal yaitu : lebih baik mati,
daripada hidup menanggung malu. Dengan begitu konsep malo bukan hanya merupakan
ungkapan malo (malu), akan tetapi menunjuk pada suatu kondisi psiko-kultural serta
ekspresi reaktif yang secara spontan muncul akibat pengingkaran terhadap eksistensi diri,
baik pada tingkatan individual maupun kolektif (keluarga, kampung, desa atau kesukuan). Pernah suatu ketika seorang tokoh masyarakat
ketika ditemui Radar Madura mengatakan, bahwa hanya persoalan peniti saja di
Madura, bisa menjadi pertumpahan darah. ''Kalau sampeyan temukan peniti dan diambilnya
tanpa memberitahukan terlebih dulu kepada pemiliknya, itu bisa menjadi persoalan
besar, ujarnya. Dari ungkapan tersebut sudah jelas, bahwa
secara psiko-kultural persoalan adhap asor (penuh keramah-tamahan, sopan dan
hormat) menjadi sangat penting. Seandainya ada suatu rencana mega proyek di
Madura, dan itu tetap dilakukan dalam kerangka adhap asor dan tetap melibatkan para
tokoh informal, tentu kejadian seperti kasus Nipah, pengulangan pemilu 1997 dan lain
sebagainnya tak mungkin terjadi di Madura. Tentu kajian-kajian kultural dan struktural
masyarakat Madura yang sangat khas itu menarik untuk dijadikan obyek penelitian akademik.
Mengapa justru masih sedikit dari peneliti kita untuk melakukannya. Bagaimana menurut
anda! (Rasul Junaidy, bersambung)
Tragedi Nipah: Sebuah Problema Kebijakan Pembangunan
Di antara berbagai korban arogansi birokrasi, salah satunya
pernah terjadi di Desa Nipah, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang. Peristiwa yang
dikenal sebagai Tragedi Nipah itu merupakan catatan hitam dalam sejarah pembangunan di
bumi Madura. Kecamatan Banyuates terletak di bagian utara Kabupaten
Sampang dengan jarak kurang lebih 57 km. Sebagai Kecamatan yang berada di pesisir utara
Pulau Madura, Banyuates dilalui dan berada pada jalur lintas utara yang menghubungkan
Kamal-Bangkalan-Ketapang-Ambunten-Sumenep. Sejak tanggal 25 September 1993, perhatian seluruh
masyarakat Indonesia ditujukan kepada kecamatan tersebut. Banyuates tiba-tiba menjadi amat
terkenal dan menjadi perhatian pusat dan daerah, aparat keamanan, cendekiawan, ulama,
mahasiswa bahkan masyarakat awam sekali pun. Segenap perhatian tersebut karena di Banyuates telah
terjadi sebuah tragedi yang menyayat hati dan menghentak rasa keadilan. Sebuah tragedi
berupa melayangnya empat nyawa dan beberapa orang warga masyarakat yang luka-luka, sebagai
akibat peluru-peluru yang dimuntahkan dari senapan aparat keamanan. Setelah peristiwa ini, seluruh warga dilanda kecemasan,
keresahan dan keprihatinan yang amat dalam, karena masih dihinggapi rasa takut akan diberi
tindakan lagi oleh aparat keamanan. Aksi unjuk rasa dan protes yang dilakukan mahasiwa di
perguruan tinggi mengalir terus saat itu. Mengapa tragedi Nipah mesti terjadi? Bukankah pada saat itu
masyarakat awam hanya mempertahankan tanah mereka, yang pada umumnya merupakan
satu-satunya sumber kekayaan utama dan mereka yang secara hukum memang terlindungi. Berkaitan dengan tragedi ini berbagai media massa telah
melansirnya sebagai berita utama (headline). Kita simak saja berita-berita tersebut : Yang
Menembak Harus Dihukum, Nipah Berdarah, Ulama Resah, Insiden Nipah Akibat
Arogansi Birokrasi, dan Kasus Nipah dan Rasa Keadilan, Dan masih banyak lagi. Pada saat itu, tiga orang meninggal dunia, satu orang luka
berat, dan tiga orang luka ringan. Antara lain, Mudirah (51) meninggal dunia, dengan
meninggalkan suami dan tiga orang anak, Nindin (14), meninggl dunia, seorang anak kelas IV
Madrasah Ibtidaiyah, anak kedua dari enam bersaudara keluarga Musa dan Marsinten, Simuki
(30) meningal dunia, seorang duda dengan seorang anak. Korban penembakan ini tidak dapat langsung diambil oleh
warga, karena dalam penjagaan ketat oleh aparat keamanan. Baru Minggu pagi (26 September
1993) dapat diambil dan langsung dimakamkan. Bahkan Kyai Ali Jauhari (wakil ketua Fraksi
FPP Sampang) sendiri yang membacakan talqin saat penguburan jenasah. Sementara korban luka-luka adalah : Muhammad (30) dari Desa
Lar-Lar tertembak pada lambung kanannya sampai tembus kebelakang. Ia Meninggal lima hari
kemudian (Kamis 30 September 1993) dalam perawatan di RS Dr. Soetomo Surabaya, De'irah
(30), dari Desa Tolang, terluka tangannya dan lambungnya tertembus peluru, Sunari (40)
terserempet peluru pada pinggulnya dan Surideh (25) telapak kakinya tertembus peluru.
Semoga perjuangan mereka dalam mempertahankan haknya, mendapat ridha dari Allah SWT. Kini, haruskah dalam era reformasi ini pemaksaan kehendak
dan arogansi pemerintah tetap akan dipakai dalam mengambil setiap kebijakannya?. Apakah
masih relevan, pendekatan keamanan tetap dipertahankan?. Tentu saja, dengan tegas kita
akan menolaknya? Anda pasti Setuju! (Rasul Junaidy, bersambung)
|