back
Serambi MADURA PadepokanVirtual
Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment

OPINI
Rabu, 14 Juli 1999
Surabaya Post


Formalisme Mengubur Substansi Pendidikan
oleh Redi Panuju

Dalam dunia pendidikan di Indonesia, nama Ivan Illich menjadi sangat populer karena kritiknya yang tidak sengaja menohok realitas empiris yang tengah berkembang. Terutama lewat bukunya Deschooling Socienty (Bebas dari Sekolah) seolah sedang menyindir pendidikan formal kita yang cenderung menjadi kuburan masa depan manusia.
Kritik Illich yang paling pedas adalah kecenderungan pendidikan formal yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai dapat dipaketkan dan melalui pemaketan nilai itulah individu akan dicetak menjadi sesuatu. Murid-murid (konsumen paket nilai), masih kata Illich, diajarkan supaya berhasrat kepada paket nilai tersebut, karena hanya dengan paket itulah individu akan memperoleh harapan-harapannya. Maka, dalam masyarakat, individu akan merasa bersalah jika tidak mendapat ijazah sesuai dengan yang telah dipaket. Kemudian, akan menjadi lebih merasa bersalah ketika setelah memperoleh ijazah ternyata tidak masuk kategori kerja yang diharapkan.
Sekolah menjadi pencipta dan pemelihara mitos sosial karena strukturnya adalah permainan ritual bagi promosi kenaikan tingkat. Pengantar ke ritual "perjudian" ini, kritik Illich, lebih penting ketimbang "apa" dan "bagaimana" sesuatu diajarkan.
Tampaknya kita tak bisa naif untuk menerima kritik Illich tersebut dengan hati yang kecut. Di satu sisi kita sadari bahwa formalisme pendidikan kita --mulai dari tingkat yang paling dasar hingga yang paling tinggi, bukan saja menjadi format kebijakan publik, namun juga telah menjadi orientasi individu-masyarakat-serta institusi pendidikan sendiri.
Substansi "apa" dan "bagaimana" yang diajarkan lembaga pendidikan menjadi tidak terlalu penting dibandingkan uniformitas atribut-atribut yang dikenakannya. Sudah tidak penting lagi, apakah struktur ontologis yang dijejalkan anak didik ternyata hanya 10% saja yang relevan dan berkorelasi langsung dengan kehidupannya.
Sudah tidak ambil pusing lagi apakah setelah individu memperoleh ijazah kemudian menyadari ternyata apa yang dijejalkan oleh lembaga pendidikan kepadanya hanya membuat ranah kognitifnya menjadi seperti tempat pembuangan sampah. Paket-paket nilai yang dijejalkan melalui PBM (proses belajar mengajar) ternyata tidak banyak menolong hidupnya kecuali bahwa harkat dan martabat sosialnya lebih terpandang.
Patut dicermati hasil ramu pendapat yang dilakukan majalah Swa terhadap 100 pemegang gelar MBA dari lima lembaga pendidikan manajemen terkemuka di Indonesia yang menunjukkan motivasi utama orang memburu gelar MBA (sekarang MM) adalah untuk mempercepat peningkatan karier. Peningkatan karier akan diikuti dengan naiknya salary (majalah Manajemen, Juni 1999).
Fenomena semacam itu kiranya bukan hanya terjadi pada jenis pendidikan yang ilmunya cenderung aplikatif, tetapi juga menjangkiti jenis pendidikan yang bersifat general (pure sciences) baik itu program magister maupun program doktor.
Kenyataannya, banyak individu yang setelah memperoleh ijazah S2 dan S3 berhenti aktivitas keilmuwannya. Mereka hanya menulis karya ilmiah (tesis maupun disertasi) hanya demi memperoleh gelar. Terbukti setelah itu, tak ada satu kubu yang ditulisnya, tak ada satu pun hasil penelitiannya yang dipublikasikan.
Orientasi individu terhadap pendidikan yang menjadi begitu formalistik itu, kiranya bukan melulu salah masyarakat pemakai jasa pendidikan (user). Sikap itu terbentuk setidaknya karena lembaga pendidikanlah yang memang mengarahkan pemikiran seperti itu. Kenyataannya, sebagian besar energi SDM di lembaga pendidikan kita tercurahkan hanya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban formal yang teknis dan mekanis, misalnya bagaimana menyusun kurikulum, menyelenggarakan PBM (proses belajar mengajar), evaluasi PBM, mengisi absen, membuat peraturan-peraturan mengenai prosedur, sanksi, dan pembagian "rezeki". Hanya sedikit saja energi yang dicurahkan untuk memikirkan substansi akademiknya.
Para dosen di perguruan tinggi, memang banyak melakukan penelitian (research) tetapi bukan untuk membuktikan sesuatu, menemukan sesuatu atau merekonstruksi pengetahuan. Penelitian dilakukan demi memperoleh proyek-proyek yang disediakan oleh pemerintah. Jika pun mereka dituntut untuk menyediakan karya penelitian untuk kenaikan jabatan akademiknya, maka sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, mereka tanpa merasa berdosa lebih suka menggunakan data-data dalam skripsi mahasiswanya. Sedangkan skripsi mahasiswanya itu kebanyakan merupakan reproduksi skripsi terdahulu.

Pabrik Atribut

Dapat dibayangkan betapa ilmu pengetahuan di perguruan tinggi mengalami stagnasi yang luar biasa. Perguruan tinggi bukan lagi menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Fungsinya telah menjelma menjadi pabrik atribut-atribut sosial belaka. Celakanya, lembaga-lembaga regulator di bidang pendidikan (mulai dari Depdikbud, Dikti, Kopertis, BMPSTI/APTSI) nyaris cuek terhadap pengembangan substansi akademik. Lembaga regulator ini juga terjebak pada kegiatan-kegiatan formalistik yang teknis dan mekanis.
Di perguruan tinggi utamanya, kalangan civitas akademiknya pastilah sangat heran (tapi diam saja) bahwa ranah ontologis (substansi akademik yang dipaketkan sebagai nilai-nilai) nyaris sumbernya dari hasil perenungan orang asing. Memang kesannya keren dan beken bisa mengutip pendapat atau hasil penelitian cendekiawan asing. Namun efek yang tidak disadari, cara pandang (paradigma) yang digunakan orang asing itu tidaklah selalu relevan dengan eksistensi fenomenal di sekitar kita.
Kadang para dosen juga sudah tahu kelemahan epistemologis ini, tetapi tetap saja dipaksakan untuk dijejelkan karena sumber lain buah (made in) cendekiawan Indonesia sendiri memang tidak ada/tidak tersedia.
Sepanjang nilai-nilai feodal tidak bisa dikurangi dalam kehidupan masyarakat kita dan lembaga pendidikan mengintrodusirnya pula sebagai komoditas pendidikan, maka sepanjang itu pula atribut sosial produksi lembaga pendidikan akan tetap dianggap lebih penting ketimbang unsur learning-nya. Gelar kesarjanaan akan dianggap lebih hakiki ketimbang makna yang terkandung di dalamnya.

Tanpa Inovasi

Sistem pengajaran konvensional yang dikembangkan dalam pendidikan formal kita pada akhirnya bukan saja menghasilkan individu yang hanya akan menguasai ilmu-ilmu rongsokan yang tidak relevan, tetapi juga sulit mengantisipasi masa depan.
Regulasi pendidikan kita menyebabkan lembaga pendidikan merasa tidak perlu untuk berlomba dalam inovasi ilmu pengetahuan, karena legitimasi ilmu pengetahuan dilakukan oleh formalitas dan legalitas.
Sebagai contoh, dengan kebijakan pemerintah sekarang adalah non-sense bisa menjadi pionir dalam inovasi ilmu pengetahuan. PTS tidak diperbolehkan mendirikan program studi tertentu yang di PTN belum ada, meskipun di luar negeri bidang tersebut telah mandiri sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan di Indonesia tidak dilihat dari norma-norma keilmuannya, tetapi dilihat dari negeri atau swastanya.
Contoh yang lain, seorang tidak bisa diangkat menjadi dosen tetap dalam pendirian program studi tertentu bila ijazahnya tidak bunyi sesuai dengan nama program yang diajukan. Regulasi ini jelas mengingkari kenyataan, bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini sudah saling "kawin silang".
Seorang doktor bidang ekonomi tidak diakui (oleh Dikti) dan tidak dibenarkan menjadi dosen tetap pada program Magister Komunikasi, padahal di luar negeri perkembangan "Komunikasi Bisnis" ataupun Marketing Communication sudah luar biasa.
Tampaknya, individu-individu yang berkuasa di lembaga regulator ini ahli dalam membuat aturan tetap tidak mengerti tentang "conter"-nya.
Dengan demikian, para siswa dan mahasiswa sebaiknya tidak perlu terlalu berharap pada pendidikan formal, karena sudah terbukti bahwa orientasi formalismenya yang luar biasa telah mengubur hidup-hidup hak berkembangnya ilmu pengetahuan.
Karena itu, tidak cukup hanya mengejar gelar. Carilah keorisinalan paradigma di luar kampus, yang insya Allah akan lebih terbuka lebar peluangnya. Kelak jika sudah ada rezim pendidikan yang mengerti makna pendidikan ko-intensional, barulah kita bisa berharap banyak pada kampus-kampus pendidikan kita.

Penulis adalah pengamat sosial, Purek I Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya.