Konflik Etnis di Sambas:
Suatu Reaksi yang Berlebihan
Tulisan Saudara Didik J Rachbini berjudul "Nazisme Lokal di Kalimantan Barat" di Harian Umum Republika edisi 26 Maret 1999 sangat menarik, dan keprihatinannya dapat dipahami mengingat akibat kerusuhan di Sambas, 11.131 warga asal Madura di Kalimantan Barat -- termasuk sejumlah anggota kelompok etnik lain yang telah berbaur dengan warga Madura -- terpaksa diungsikan ke Kodya Pontianak. Jumlah tersebut belum terhitung orang-orang Melayu Sambas yang juga diungsikan ke berbagai tempat di kota Sambas, termasuk di Keraton Sambas.
Keprihatinan mendalam atas Tragedi Sambas dirasakan juga oleh sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk warga Madura dan warga Kalbar di dalam dan di luar daerah mereka. Sebagian dari perantau Madura di Kalbar telah berada di daerah ini lebih dari 25 tahun, sehingga mereka telah dianggap sebagai "orang Kalbar". Dengan demikian, kasus Sambas dan asalah pengungsi itu adalah juga tragedi dan masalah masyarakat Kalbar dan pemerintah daerahnya.
Dalam tulisannya, Saudara Didik menyatakan bahwa masyarakat dan pemimpin lokal Kalbar mengidap benih Nazisme dan potensi Hitler tersembunyi. "Kemarahan" itu juga dapat dipahami, karena ia timbul dalam kondisi tidak biasa dalam berhadapan dengan tragedi kemanusiaan melalui media massa. Namun, saya khawatir terhadap pernyataan itu untuk tiga hal.
Pertama, gambaran Nazisme dan Hitler itu akan mempersulit upaya pemerintah mencarikan permukiman baru di daerah Kalbar bagi pengungsi Madura. Semoga tudingan yang berbau rasis itu tidak membuat masyarakat Kalbar dan berbagai kelompok etnik di kabupaten lain menolak kehadiran pengungsi Madura. Kedua, tuduhan bersifat rasis ini akan mempersulit proses cooling down dan rekonsiliasi antara kedua kelompok etnik tersebut. Ketiga, pernyataan tersebut merupakan "siraman bensin di atas api yang sedang membara" dan celah bagi masuknya provokator.
Merangkul
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk berpolemik, tetapi dimaksudkan sebagai salah satu upaya merangkul kedua belah pihak. Pendatang baru Madura dan warga Melayu Sambas -- bahkan orang-orang Madura dan Melayu di Kalbar -- serempak menolak pernyataan Saudara Didik bahwa Tragedi Sambas merupakan manifestasi dari Nazisme lokal dan Hitler, tetapi sebaliknya lebih merupakan reaksi kolektif yang berlebihan.
Upaya mendesak sekarang adalah bagaimana kita membantu meringankan penderitaan pengungsi dari semua pihak yang terlibat, dan berusaha membangun kembali hubungan silaturahmi yang pernah terjalin antara mereka sesama muslim dalam ukhuwah Islamiyah. Pernyataan, dukungan, dan kutukan; polemik atau tuduhan dan sejenisnya terhadap peristiwa tersebut -- khususnya dari mereka yang tidak mengetahui keadaan di lapangan -- dikhawatirkan akan memanasi situasi, bahkan akan mengganggu proses rekonsiliasi.
Setiap fenomena sosial politik merupakan produksejarah dan tidak terlepas dari latar belakang sejarahnya (ahistory). Ini berlaku pada fenomena konflik di Kalbar. Sejak tahun 1960-an di Kalbar telah terjadi sembilan kali konflik yang cukup besar. Delapan kali di antaranya adalah konflik antara pendatang baru Madura dengan warga Dayak, dan hanya satu kali dengan Melayu -- Melayu Sambas. Selama delapan kali konflik antara Madura Kalbar dengan Dayak, tak seorang pun dan tak sekali pun Melayu Kalbar bergabung dengan saudaranya, Dayak, memberikan reaksi terhadap Madura Kalbar, walaupun mereka memiliki pengalaman pahit yang sama dalam berhubungan dengan pendatang baru Madura.
Kalau kemarahan kolektif Melayu hanya terjadi satu kali, sedangkan warga Dayak dan Madura Kalbar mengalami delapan kali konflik, lalu bagaimana mengukur tingkat kesabaran si Melayu, sedangkan Dayak juga terkenal penyabar? Itulah sebabnya Dayak dan Melayu dapat menjalin hubungan dengan kelompok etnik mana pun.
Dalam beberapa cerita, istilah "melayu" dikaitkan dengan lari (minggat) atau usaha menghindarkan diri dari persaingan yang tidak adil, dari konflik, ancaman, dan bahkan dari segala yang menghancurkan martabatnya, termasuk mitos Melayu sebagai "malas" dan "penakut". Karena itu, ada kesan dari luar bahwa Melayu mudah digertak dan tidak berani melawan. Lalu, bagaimana hal ini berkaitan dengan Nazisme lokal, padahal istilah Nazisme berkaitan dengan keberanian, kekuatan fisik dan mental, arogansi dan dominasi etnik atau ras?
Di samping kesan miring, ternyata tingkat mobilitas Melayu Sambas cukup tinggi -- seperti dalam sektor birokrasi pemerintahan, perdagangan, dan kekaryaan. Namun, tingginya mobilitas petani yang meninggalkan kampung halaman mereka disebabkan oleh upaya menghindarkan konflik dengan saudara mereka -- Madura Kalbar.
Latar belakang sosial budaya, faktor keadaan alam atau geografis, demografis, sosial ekonomi di daerah asal, ditambah dengan limbasan sistem ekonomi konglomerasi dari Orde Baru selama 32 tahun -- yang berpihak kepada Madura pendatang baru -- membentuk karakter berani, kuat, ulet, keras hati, kerja keras, hemat, tidak memilih jenis pekerjaan, bersedia menerima upah rendah, juga karakter miring, yang berbeda dengan Madura pendatang lama, karena mereka meninggalkan daerah asal dalam waktu berbeda.
Konflik etnik yang baru terjadi ini bukan
semata-mata
disebabkan oleh karakter "negatif" dari
orang-orang Madura
Kalbar. Saya setuju dengan Saudara Didik bahwa
anggapan
miring terhadap Madura Kalbar tidak dapat
dijadikan justifikasi
bagi pembunuhan sadis terhadap mereka. Kalau
memang
demikian, setiap hari akan terjadi pembunuhan atau
konflik
antara Madura Kalbar dengan anggota kelompok etnik
lain.
Tapi, konflik ternyata dapat dihindari walaupun
harus
menghindarinya selama bertahun-tahun.
Konflik tersebut lebih merupakan reaksi spontan
terhadap
tindakan 200 orang Madura pendatang baru yang
menyerang
perkampungan Melayu pada Idul Fitri (19 Januari
1998),
mengobrak-abrik, membunuh, dan melukai sejumlah
orang tidak
berdosa. Kalau mau dikatakan Nazi(izme), siapa
yang lebih
tepat disebut demikian? Lalu, mengapa mereka
bertindak secara
kolektif?
Pemukulan terhadap seorang pelaku kriminal oleh
warga Melayu
merupakan perbuatan tercela, tetapi dapatkah itu
dijadikan
justifikasi bagi penyerangan dan pembunuhan?
Petugas
keamanan yang tidak adil, tidak adanya introspeksi
dari si
pelaku, dan berlanjutnya arogansi budaya yang
merendahkan
martabat, semuanya itu memicu kembali kemarahan
kolektif.
Dalam kerumunan massal, kepribadian normal
individu dapat
larut sangat dalam, sehingga menjadi tindakan
kolektif yang di
luar kemampuan nalar untuk memahaminya. Apalagi
kerumunan
massal itu memiliki pengalaman kolektif yang sama.
Hal itu tidak
merefleksikan kualitas pimpinan lokal. Kalaupun
mau
dihubungkan, itu juga berkaitan dengan sistem
kepemimpinan
nasional yang meminggirkan rakyat Kalbar selama 32
tahun,
walaupun sumberdaya alam mereka berlimpah.
Lalu adilkah kita menyalahkan pimpinan informal
Madura,
termasuk intelektual, atas reaksi kolektif mereka?
Saya sangat
menghargai sikap ulama dan pimpinan informal
Madura yang
telah mempersejuk suasana melalui pengertian
mereka yang
mendalam.
Dengan rata-rata 83 persen dari jumlah penduduk berpendidikan SD, dapatkah disamakan struktur masyarakat Kalbar dengan struktur masyarakat kulit putih di mana kemarahan kolektif dapat menjadi sentimen merendahkan dan tidak meluap menjadi kriminal massal? Dapatkah itu terjadi sepihak, ketika satu pihak nrimo dan menghindari konflik meski martabat sudah terinjak, sedangkan pihak lain memiliki agresivitas budaya dan ekonomi? Apa yang terjadi? Kolonialisme interen atau dominasi etnik yang mematikan harta kemanusiaan?. Lalu sampai di mana batas kesabaran? Konflik Sambas merupakan reaksi massal yang berlebihan dan patut disesalkan, tapi bukan merupakan upaya menutup kelemahan pemimpin lokal.
Adalah wajar jika pimpinan daerah mengemukakan realitas di daerahnya sendiri, karena ia diterima oleh kedua pihak dan tahu apa yang dialami oleh rakyatnya. Namun, konflik etnik tidak dapat diletakkan hanya pada pundak pemimpin lokal, tetapi juga pada sistem politik nasional, bahkan pemimpin informal etnik tersebut dan para ilmuwan. Dua hal terakhir dapat menetralisasikan sistem nilai carok yang potensial ada dalam diri Madura Kalbar. Faktor netralitas budaya yang mengimbangi unsur nilai budaya agresif pada diri individu -- seperti Bugis dengan siri ripakasiri ada di dalam diri individu Bugis, tetapi faktor netralitas itu berada di luar diri Madura pendatang baru ini, yaitu ulama atau kyai dan habib yang memiliki wawasan hubungan sosial (hablumminannas) yang tinggi. Mereka juga diharapkan berperan aktif dalam proses sosialisasi bagi penyesuaian budaya lokal terhadap Madura Kalbar sebagai salah satu solusi jangka panjang pencegahan konflik.