Radar Madura
Rabu, 23 Februari 2000
Peninggalan Raja-raja Sumenep
Oleh RASUL JUNAIDY
Tanah Wakaf Raja Banyak Menyusut
Sumenep memang dikenal sebagai daerah yang banyak menyimpan nilai-nilai sejarah di masa lampau. Bahkan menurut penuturan salah seorang keturunan raja. Kerajaan Sumenep pernah mengalami kejayaan, yakni ketika masa pemerintahan Dinasti Bendara Saud atau yang dikenal Raden Tumenggung Tirtonegoro II yang berkuasa selama hampir 200 tahun, dari abad 18 sampai abad 20.
DALAM perjalanan sejarah, ketujuh raja-raja Sumenep dari Dinasti Bindara Saud ada dua raja yang mewakafkan tanahnya sebagai amal jariah. Wakaf yang diberikan dua raja tersebut, ada yang berkategori khusus dan kategori umum. Kanjeng Pangeran Notokusomo yang dikenal sebagai Panembahan Sumolo, mewakafkan tanah seluas 1100 Ha, dalam kategori wakaf khusus. Sedangkan Kanjeng Pangeran Pakunataningrat II seluas 52 Ha, dalam kategori wakaf umum.
Sebagai nadir, wakaf Panembahan Sumolo sesuai catatan sejarah adalah Kanjeng Sultan Abdurahman (Pangeran Pakunataningrat I), Kanjeng Pangeran Notokusomo II (Panembahan Moh. Saleh), Kanjeng Pangeran Adipati Pakunataningrat II, Kanjeng Pangeran Adipati Ario Pratamingkusumo, Kanjeng Raden Temenggung Ario Prabuwinoto, dan lain-lain.
Sedangkan sebagai nadir wakaf Pangeran Pakunataningrat II yang tercatat dalam sejarah adalah Kanjeng Pangeran Adipati Ario Pratamingkusumo, Kanjeng Raden Temenggung Ario Prabuwinoto, Raden Ario Soeriyo Widjoyo, Raden Ario Sudibying Projo, Raden Ario Notokusumo, Raden Sosrodiningrat, dan lain-lain. Namun dalam perkembangannya, menurut penuturan salah seorang keturunan Raja Sumenep yang sempat ditemui Radar Madura, wakaf tersebut saat ini telah terjadi penyusutan. ''Karena ketidak teraturan administrasi manajemen tradisional dan itikad kurang baik dari beberapa pihak, mengakibatkan tanah-tanah wakaf tersebut semakin berkurang,'' ujarnya.
''Penyusutan luas tanah wakaf itu adalah sangat kita sayangkan. Baik itu dari aspek agama, aspek historis maupun pristise bangsawan Sumenep,'' ujarnya sambil lalu memperlihatkan gambar mata uang yang pernah berlaku dan dipakai saat kerajaan Sumenep.
Keinginan untuk memperbaiki sistim administrasi dan tata organisasi dengan orientasi yang memihak pada famili keturunan raja-raja Sumenep, selama ini selalu mengalami kegagalan. Hal itu, kata RB. Abdurahman, akibat dari para famili yang selama ini tidak mempunyai motivasi jauh kedepan dan selalu berfikir dengan pola bentuk paradigma lama berbau retorika.
''Ironisnya lagi, kekhilafan demi kekhilafan semakin hari semakin menumpuk, demi kepentingan pribadi yang bersifat sesaat. Sementara pengurus lembaga-lembaga kefamilian selalu memaksakan rekayasa dengan segala bentuk alasan yang tidak proporsional serta tidak rasional,'' ujarnya.
Tanah Wakaf Disewakan untuk Pertokoan
Orang boleh berbeda dalam menatap, menilai, dan menakar peninggalan raja-raja Sumenep saat ini. Tapi satu hal yang pasti, catatan sejarah mengatakan bahwa peninggalan tersebut menjadi saksi sejarah kejayaan Kraton Sumenep. Lantaran itu, peninggalan raja Sumenep, seperti misalnya yang pernah diwakafkan oleh dua raja terdahulu yakni Kanjeng Panembahan Notokusumo dan Kanjeng Pangeran Pakunataningrat II sebenarnya tak etis diselewengkan hanya untuk kepentingan yang sempit.
WEWENANG mengatur tanah wakaf raja Sumenep, saat ini terbagai menjadi dua. Untuk wakaf yang terletak di perkotaan diurus oleh lembaga wakaf. Sedangkan wakaf yang terletak di pedesaan diurus oleh lembaga Yayasan Panembahan Somala yang dibentuk tahun 1984.
Seiring dengan perjalanan waktu, menurut RB Abdurahman, kedua lembaga tersebut dalam kinerjanya tampak tidak profesional. Buktyinya, kendati sudah berusia 16 tahun, Yayasan Panembahan Somala sampai sekarang masih belum mempunyai kantor sekretariat. ''Sebagai sentral kegiatan dan aktivitas. Mengapa yayasan selama 16 tahun kok tak punya kesekretariatan? Ini sudah merupakan indikator kalau yayasan selama ini tak profesional,'' ujar Mamang, sapan akrabnya.
Tentu saja, masih menurut salah seorang keturunan raja Sumenep lainnya, ketidak profesioalan ini mengakibatkan langsung maupun tidak langsung mengurangi nama harum keabadian leluhur, serta menghampakan arti generasi muda famili raja dimata masyarakat.
''Keleluhuran pristise famili tampaknya bukan salah satu alternatif motivasi kinerja mereka (pengurus, Red). Mereka lebih memfokuskan pada masalah-masalah retorika dunia demi kepentingan pribadi yang sempit,'' ujarnya. Jadi, lanjutnya, wajar kalau misalnya soal transparansi dan pertanggungjawaban juga tidak jelas. Pada gilirannya ini tentu merugikan para famili.
Nilai pahala Kanjeng Panembahan Somala, baik yang berupa wakaf tanah kuburan maupun wakaf air semakin sirna dari kenyataan. Wakaf yang ditujukan kepada fakir miskin tidak lagi efektif dan produktif. Ini tampak dari hasil sewa beberapa toko yang nilai nominalnya sangat jauh dari harga pasar.
Sesuai dengan surat Wakaf Panembahan Soemolo Sumenep bulan Januari 1995. Kisaran sewa puluhan toko setiap bulannya, sejak Januari 1995, berkisar antara Rp 5 ribu sampai Rp 60 ribu. Termasuk juga sewa Pemda Tk II Sumenep sebesar Rp 600 ribu per tiga bulannya.
Menurut RB Abdurahman SE, ketidak wajaran masalah-masalah tersebut diatas sangat menggangu volume pahala amal jariah. ''Disini terlihat kalau bobot para pengurusnya sangat diragukan kemampuannya. Dan juga bersifat arogan tanpa melihat aspek regenerasi alami maupun aspek religius dan aspek sosiologis,'' ujarnya.
Diperparah lagi, lanjutnya, para sanak famili kebanyakan sangat tidak antusias lagi melihat dan merasakan penyelewengan-penyelewengan fisik maupun non fisik yang dipraktekkan oleh pengurus yayasan dan pengurus wakaf selama beberapa periode.
atas