back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Selasa 31 Agustus 1999 |
Radar Madura |
Kerajinan Rabunan Tak Dilirik, tapi Pemasarannya hingga Singapura Bangkalan, Radar.- Bila melihat barang dan fungsinya, sungguh tak terbayangkan bahwa rabunan (alat mengukus nasi, Red) yang terbuat dari bambu, pemasarannya mencapai Singapura. Tapi, itulah yang terjadi di Desa Kapor, Kecamatan Burneh, Bangkalan. Sayangnya, hingga kini pemerintah daerah maupun instansi terkait tak pernah melirik keberadaan para pengrajin tersebut. Bahkan, mungkin mereka tidak pernah tahu jika produksi para ibu rumah tangga sebagai pengisi waktu itu, ternyata punya peluang pasar cukup baik. Berikut laporan wartawan Radar Madura di Bangkalan Risang Bima Wijaya. Desa Kapor adalah salah satu desa di Kecamatan Burneh. Sejauh mata memandang, di desa tersebut terlihat rumpun pohon bambu yang mengelilingi hampir seluruh desa. Bisa jadi karena itulah, pohon bambu menjadi bahan produksi vital bagi kerajinan yang tumbuh dan berkembang di sana. Salah satunya adalah rabunan. Rabunan adalah sebuah alat pelengkap untuk menanak nasi tradisional berbentuk kerucut yang terbuat dari bambu. Tidak banyak orang mengetahui bahwa rabunan yang mereka gunakan untuk membuat nasi tumpeng selama ini dibuat oleh para ibu rumah tangga di Desa Kapor. Bahkan, rabunan kini tak hanya dikenal oleh ibu-ibu di Madura atau Surabaya, tapi kini juga sudah digunakan oleh ibu-ibu di Singapura. Sebab, sejak beberapa tahun lalu, ada seorang pengepul yang jadi TKI di negara tetangga tersebut yang rutin pulang untuk berbelanja rabunan dalam jumlah yang cukup besar. Setahun sekali dia selalu memesan rabunan sebanyak 1.000 buah untuk dibawa ke Singapura, kata Bu Su, salah seorang pengrajin. Menurut dia, selain digunakan oleh keluarga Madura yang ada di Singapura, rabunan itu juga digunakan di atas kapal. Sebab, nasi yang dihasilkan rasanya lebih enak, katanya. Namun, kendati produksinya sudah diekspor ke Singapura, kehidupan para penngrajin tidak secara otomatis terangkat. Pasalnya, harga rabunan saat ini masih sama dengan harga beberapa tahun yang lalu. Harganya per buah hanya Rp 150. Padahal, dalam sehari hanya bisa menghasilkan tiga sampai lima rabunan, kata Misna. Lalu, apakah harga sekecil itu mampu mengasapi dapur mereka? Ternyata, sebagian besar pengrajin tidak begitu mempermasalahkan harga dan penghasilan dari membuat rabunan. Sebab, kegiatan itu umumnya hanya dijadikan sebagai perintang waktu selama suaminya berada di rantau. Kaum lelaki di desa ini umumnya memang merantau, baik menjadi TKI di Singapura dan Malaysia maupun bekerja di sawah, jelas Misna lagi. Bukan hanya itu, untuk membuat rabunan para pengrajin hampir tidak mengeluarkan modal sedikit pun. Sebab, bahan-bahan yang di perlukan melimpah ruah di desanya. Rabunan dibuat dengan bahan dasar bambu keles yang punya karakteristik khusus, yaitu yang sudah dirasa umurnya cukup tua sehingga bambu tidak mengkerut saat dibuat menjadi rabunan.Bambu keles, banyak tumbuh di sekitar desa ini, kata Misna. Namun, kendati potensi pasarnya cukup baik, kerajinan rabunan ini ternyata lepas dari perhatian pemerintah dan instansi terkait. Para pengrajin memasarkan produksi secara tradisional. Biasanya tiga hari sekali para pengepul datang sendiri ke sini untuk mengambil rabunan, tutur Misna. Biasanya para pengepul memasarkannya di Kwanyar, Tanah Merah, Galis, dan Tragah. (ris) |