back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Rabu 14 April 1999 |
Jawa Pos |
Tragedi Sambas menyisakan kisah sedih tersendiri bagi Alwuri. Kakek 65 tahun ini adalah satu di antara sekian banyak pengungsi Sambas di Madura yang terpaksa berpisah dengan anak dan cucunya. Penyebabnya, ketiga anaknya menikah dengan keturunan Melayu.
SEMUA menantu saya orang Melayu. Mereka mengancam minta cerai kalau anak dan cucu saya ikut mengungsi ke sini (Madura, Red), cerita Alwuri sambil melepas kopiah hitamnya yang lusuh. Dari mimik wajahnya, duda tiga anak ini tak dapat menyembunyikan rasa sedihnya yang mendalam.
Selama berada di penampungannya di Desa Katol Barat, Geger, Bangkalan, ingatannya selalu tertuju kepada empat cucunya yang masih berada di Sambas. Enga' bi' kompoy (teringat dengan cucu, Red), ujarnya berkali-kali. Dia menceritakan punya empat cucu dari tiga anaknya. Sebagian besar masih balita (di bawah lima tahun). Yang paling besar kelas satu SD. Ketika masih berada di Sambas, Alwuri bertetangga dengan anak, menantu, dan cucunya itu.
Namun, takdir berkata lain. Nasib yang dialami Alwuri ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Selain seluruh harta bendanya ludes, dia harus terpisah dengan orang-orang yang selama ini dicintainya. Ketika kerusuhan meletus, Alwuri mengungsi sendiri. Tiga anak dan empat cucunya lebih memilih tetap tinggal di Sambas setelah diultimatum menantunya.
Saya bisa memahami betapa sulitnya ketiga anak saya menentukan pilihan, paparnya. Tiga anak Alwuri ini ibarat makan buah simalakama. Jika memilih ikut mengungsi ke Madura bersama ayahnya, mereka akan berpisah dengan anak dan istrinya. Sebaliknya, jika memilih tinggal di Sambas, mereka akan berpisah dengan ayahnya. Entah untuk berapa lama. Sulit bagi saya kembali lagi ke Sambas, sambungnya.
Alwuri sama sekali tak menyangka jika keputusannya membolehkan ketiga anaknya menikah dengan orang Melayu bakal berbuah penderitaan baginya. Kerusuhan yang terjadi di Sambas membuat menantunya begitu membencinya. Bahkan, mereka tega mengusir saya dari kampung. Sedangkan anak kandung saya tak bisa berbuat apa-apa, papar Alwuri tak kuasa menahan air matanya.
Yang dialami Alwuri ini masih belum seberapa bila dibandingkan dengan penderitaan Ny Juma. Kepada wartawan yang menemuinya di barak penampungan di Geger, Bangkalan, wanita berumur 55 tahun ini tak dapat melupakan kekejaman menantunya yang telah tega membunuh anak kandungnya sendiri gara-gara berdarah Madura. Anak perempuan saya menikah dengan orang Dayak, cerita Ny Juma. Rupanya, kebencian suku Dayak terhadap suku Madura demikian mendalam.
Menurut beberapa teman Ny Juma sesama
pengungsi, Ny Juma selalu menangis histeris bila melihat anak kecil digendong ibunya.
Rupanya, dia teringat kepada cucunya, kata teman Ny Juma. Kini, Ny
Juma yang janda ini mengungsi bersama anak perempuan satu-satunya yang telah diceraikan
suaminya. (kum)
"Ada Preman Madura, tapi Kiainya pun Banyak"
15 April 1999
Perang antarsuku yang memicu kerusuhan Sambas sempat diwarnai sikap berat sebelah aparat keamanan di sana. Setidaknya, ini menurut cerita beberapa pengungsi dari Sambas yang ditemui Jawa Pos di penampungan mereka di Bangkalan. Mereka mengisahkan bagaimana mereka dicurangi suku setempat yang diduga kongkalikong dengan aparat keamanan.
SUATU malam, di sebuah desa di Kecamatan Pemangkat, Sambas, polisi menggelar operasi. Saat itu, warga di sana tengah berjaga-jaga terhadap kemungkinan serangan balasan dari suku Dayak. Saya masih ingat betul kejadian malam itu, kata Sudirman, salah seorang pengungsi.
Bapak dua anak ini mengungkapkan, dalam operasi tersebut, polisi merampas semua senjata tajam yang ada di setiap rumah. Celurit panjang peninggalan kakek Sudirman pun diambil aparat. Jadi, kami sama sekali tak punya senjata lagi, kata lelaki yang tampak lebih tua daripada usianya yang baru 23 tahun itu.
Celakanya, keesokan harinya, ratusan orang suku Dayak bersenjata tajam tanpa diduga mengepung perkampungan itu. Akibatnya, warga perkampungan Madura itu pun bingung. Dan, sebagian besar lari tunggang langgang menyelamatkan diri mereka masing-masing. Kami tak punya senjata. Kalau nekat melawan, akan mati konyol, ujarnya. Dalam insiden itu, puluhan warga Madura tewas.
Tampaknya, pola seperti ini juga terjadi di beberapa desa tetangga lainnya. Setelah petugas merampasi senjata milik suku Madura, tak lama kemudian suku Dayak menyerang. Jelas, kami dicurangi. Apalagi, senjata orang Dayak ternyata banyak yang tak dirampas, cerita Sudirman dengan nada tinggi.
Pertengkaran yang semula antara suku Dayak
dan Madura, menurut Sudirman, belakangan melebar. Kami dikepung tak hanya oleh
suku Dayak. Suku Melayu dan Bugis pun ada yang ikut-ikutan menyerang. Entah mengapa mereka
mengeroyok kami, jelasnya.
Cerita ini dibenarkan Jumran yang rumahnya
di Sambas bertetangga desa dengan Sudirman. Insya Allah, kami masih bisa
menghadapi mereka (suku Dayak, Red) jika saja senjata kami tak dirampas dan tak
dikeroyok, sambungnya dengan logat Madura yang masih kental.
Saya akui, teman-teman saya
banyak yang jadi preman di sana. Tapi, kan tidak begitu caranya kalau itu yang dibuat
alasan untuk membenci kami. Toh, tidak semua orang Madura di Sambas jelek,
papar Jumran. Dia mencontohkan, justru sebagian besar tokoh agama di Sambas berasal dari
suku Madura. Di kampung saya di Sambas, kiainya asli Madura. Kalau berceramah,
ia banyak digemari orang Melayu, tambahnya. (kum)