back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

Suara Pembaruan
Jumat, 28 April 2000

Dari Pelataran Parkir ke Ruang Perpustakaan
Oleh PAUL S. POLI

Adakalanya inspirasi datang pada saat orang tidak mencarinya. Bagi orang yang memelihara kepekaan, munculnya inspirasi acapkali terjadi. Untuk selanjutnya, kepekaan akan menimbulkan keprihatinan. Dan ujung dari keprihatinan adalah tantangan. Di satu pihak, tantangan yang ada bisa jadi semacam ancaman. Namun di pihak lain tantangan itu tidak berarti bagi orang banyak, manakala mereka tidak peka, apalagi tidak mempunyai kebutuhan langsung.

Kekaburan acuan seperti ini agaknya memang relatif, dan umum terjadi. Itu memang biasa, dan sangat tergantung dari mana orang memandang dan apa motivasinya. Dalam bahasa politis, sebut saja apa muatannya. Cuma, ada satu hal yang menggembirakan akhir-akhir ini, yaitu apa yang dulunya dianggap biasa, justru pada ''zaman'' ini kelihatannya akan menjadi kontras, oleh karena adanya perubahan-perubahan yang dramatis.

Boleh jadi hipotesis perubahan dramatis tersebut tadi, paling tidak disebabkan karena adanya keberanian mengemukakan pendapat. Suatu hal yang sampai saat ini diyakini ikut membuat segala masalah muncul ke permukaan, sehingga warna-warni masalahnya lebih kentara. Ambil contoh, dari budaya paternalistis yang adalah suatu nilai anutan di dalam masyarakat kita, tokoh masyarakat atau pemimpin sangatlah dihormati keputusannya, sehingga karakter bangsa ini menjadi penurut.

Begitu pula dengan aturan-aturan yang dibuatnya, dianggap sebagai mewakili sosok pemimpin. Dengan begitu masyarakat diharuskan tenggang rasa untuk menghormati kebiasaan atau aturan yang sudah mapan. Sama halnya dengan budaya bicara yang selama ini mengakar di dalam masyarakat, akan sulit diubah, manakala masyarakat terlalu sering menonton bicara tokoh panutannya.

Bicara ke Tulis

Dalam konteks ini, kita akan mencoba memusatkan perhatian pada masalah perpustakaan. Ketika kita mengungkapkan realitas budaya, yaitu adanya kontras antara budaya bicara dan budaya tulis, maka fakta kondisi perpustakaan kita akan menjadi cerminannya. Bukti cukup jelas bahwa kondisi ruangan perpustakaan kita tidak saja memprihatinkan, tetapi juga kondisi buku dan majalah sangat menyedihkan, baik itu dalam jumlah maupun judul informasi yang dipunyainya.

Kondisi seperti itu hampir seragam terjadi di mana-mana, tidak saja di perpustakaan umum yang dikelola pemerintah, tetapi bahkan di perguruan tinggi yang nota bene adalah sarang pemikir. Kata orang, citra yang ditampilkan dari perpustakaan itu adalah refleksi dari orang-orang yang memakainya.

Menggarisbawahi fungsi perpustakaan, maka perpustakaan adalah simbol dari masyarakat berbudaya. Simbol itu dapat diperbesar atau diperkecil hingga ke aras (level) keluarga sekalipun. Coba rasakan, ada nuansa lain bila kita hadir di tengah keluarga yang mem- punyai ruang baca atau perpustakaan kecil.

Mungkin kita masih belum terbiasa membandingkan tontonan sinetron yang ditayangkan oleh TV swasta sekarang ini dari sisi latar belakang adegan yang ada. Apa yang tampak melatarbelakangi tayangan sinetron produksi negeri ini adalah barang mewah atau antik.

Sebaliknya, latar belakang film atau telenovela impor adalah rak-rak buku. Perbandingan ini tampaknya tidak mengesankan dan penting, tetapi sebetulnya sangat menentukan perikehidupan bangsa yang berbudaya.

Sehubungan dengan contoh sinetron dan telenovela tersebut tadi, penulis jadi ingat dengan pengalaman berikut ini. Suatu hari penulis berkesempatan menyajikan makalah untuk kumpulan ahli peminat bidang kajian medis. Hadirin adalah para guru besar, dosen senior, juga mahasiswa S-2.

Mengawali penyajian, penulis menjelaskan, sumber dari informasi yang akan dikemukakan berasal dari pustaka, yaitu jurnal dan buku ajar. Artinya, makalah itu hanyalah kumpulan pendapat orang yang sudah dipublikasikan, bukan hasil penelitian sendiri. Dengan begitu, penulis meyakinkan kepada hadirin bahwa penulis hanyalah informan yang menginformasikan kemajuan ilmiah secara kronologis dari satu topik. Dengan pengertian lain, penulis adalah informan yang konon di era informasi ini tercetus ucapan bahwa siapa yang menguasai informasi akan menguasai dunianya.

Usai penyajian, ada peserta yang ingin mengkaji lebih dalam informasi yang sudah dipresentasikan. Rekomendasi penulis untuk sang peminat tadi adalah beberapa jurnal yang sangat esensial dalam kajian tersebut. Seminggu berlalu, sang peminat bertemu penulis di pelataran parkir. Dengan tenang ia mengunci mobilnya yang mulus dan terkesan mewah lewat kontrol jarak (remote control). Keluhan sang peminat adalah, jurnal yang dicari

tidak lengkap. Nomor, volume atau tahun terbitannya terputus atau bahkan hilang sama sekali.

Penulis hanya manggut-manggut mendengar keluhan bercampur omelan tadi sementara berjalan di sela-sela mobil yang diparkir. Kejadian tadi berlangsung di pelataran parkir dari sebuah universitas dan fakultas terkenal. Di kala itu, perasaan galau dan cemas bercampur sedih dan gembira, hadir pada saat yang sama dan berurutan. Rasa sedih, karena informasi ilmiah ternyata sangat minim dan sulit diperoleh.

Rasa gembira, karena otak penulis menangkap sinyal-sinyal yang dapat menjadi bahan tulisan artikel ini. Tetapi di pihak lain muncul pertanyaan, bukankah individu-individu pengguna perpustakaan itu mampu mengendarai mobil yang rada mewah, tetapi tidak bisa melengkapi perpustakaannya sendiri? Ironis memang, namun itu nyata.

Solusi

Tentu pembaca akan bertanya, usaha apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi problematika tadi. Tanpa usaha, maka akan banyak peminat perpustakaan akan mengalami kekecewaan yang hampir sama. Artinya, ilmu tidak hanya sulit bertumbuh dan berkembang, tetapi juga akan mandul. Kalau asumsi seperti itu benar, lantas upaya apakah yang sudah dilakukan para pengguna perpustakaan selama ini ketika menghadapi kesulitan di perjalanannya?

Pada hemat penulis, mereka telah menempuh jalan sebagai berikut. Jalan pertama, beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada. Beruntunglah kalau mereka bisa menggunakan jalan kedua, yakni menggunakan teknologi fotokopi atau sejenisnya guna memiliki informasi ilmiah dari sumber aslinya. Dan kalau mau maju ke depan, barangkali pengguna dan pengelola perpustakaan dapat menggunakan dan merintis jalan yang ketiga, meski barangkali jalan ini lebih radikal yaitu dengan mengubah cara kerja (work style).

Pertama, tatkala pengguna dan pengelola perpustakaan memilih jalan adaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada, maka adaptasi untuk sementara memang baik. Tetapi bila terus berlanjut, ini benar-benar akan menyedihkan. Mengapa? Karena nantinya pengetahuan ilmuwan kita mengenai informasi ilmiah hanya sebatas mengutip apa yang ditulis seniornya atau sejawatnya. Pendeknya, saling kutip sajalah. Padahal laporan atau tulisan ilmuwan memerlukan wawasan dan perbandingan yang lebih luas, yaitu mengetahui apa yang sudah, tengah atau akan dikerjakan ilmuwan lain. Banyak fakta mengenai kelemahan ilmuwan kita tentang ketertinggalannya dalam informasi ilmiah. Tengoklah pada daftar rujukan yang ditampilkan dalam karya ilmiah mereka, banyak data maupun informasi yang bisa dikategorikan out of date.

Sejauh ini, gejala adaptasi menarik untuk diamati. Karena boleh jadi dan mungkin sekali faktor yang satu ini menjadi penyebab dan adalah jawaban atas pertanyaan yaitu mengapa redaksi jurnal ilmiah tidak meloloskan tulisan ilmiah ilmuwan kita di dalam majalah internasional. Selain latar belakang masalah, metode maupun material yang disajikan tidak lagi mewakili temuan baru, juga tidak bisa memberi sumbangan yang valid. Jalan pintas untuk meneruskan kebiasaan adaptasi, yaitu institusi maupun peminat ilmu menerbitkan majalah lokal. Akhir dari kata lokal adalah benar-benar bermutu lokal, yaitu ditulis sendiri dengan gaya dan metode lokal, diterbitkan di majalah lokal dan dibaca sendiri, untuk selanjutnya dikutip oleh peserta didik atau koleganya.

Kondisi yang sama tak pelak lagi berimbas pada banyak tulisan ilmiah, meski labelnya strata 3 (S-3), tetapi isinya tidak lebih baik dari S-1 sekalipun. Kemalangan ilmuwan kita masih bisa diperluas lagi dengan adanya kebiasaan permisif dan budaya jiplak. Meluasnya kebiasaan jiplak (dari sisi negatif), lebih ditunjang dari tidak dalamnya penguasaan materi tulisan oleh pembimbing tulisan ilmiah. Sampai di sini, sama-sama lalai, di satu pihak sang penjiplak tidak mengetahui (atau sengaja?) bahwa apa yang telah dan tengah diteliti atau ditulisnya sudah pernah dilakukan orang lain. Di kala ini, pembimbing tulisan ilmiah sekelas S-3 pun bisa terkecoh, lalu mencari alibi yang pas atau kambing hitam demi memaafkan kekurangan kita bersama ini.

Kedua,dalam alur penyimpangan kolektif tersebut di atas, yaitu di kala kita beradaptasi dengan kekurangan dan kelemahan perpustakaan, kita mencoba mengobatinya dengan cara fotokopi. Kemajuan teknologi yang satu ini memang sangat besar khasiatnya. Untuk sementara kebutuhan akan informasi ilmiah bisa dipenuhi dengan cepat dan mudah. Namun di lain pihak, kita tidak sadar bahwa tindakan kita adalah melanggar aturan. Bukankah kita telah melanggar secara sengaja peringatan yang termaktub di dalam Copyright Act of 1976, terdapat klausul bahwa tidak ada bagian dari suatu publikasi dapat digandakan atau disebarkan, atau disimpan dalam bentuk data yang dapat dipakai berulang-ulang tanpa izin tertulis dari penerbitnya. Tapi, ada kecualinya dan ini mungkin berbau diskriminasi. Coba lihat apa yang dikeluarkan oleh Oxford University Press 1993, yaitu within the UK, exceptions are allowed in respect of any fair dealing for the purpose of research or private study, or critism or review, as permitted under the Copyright, Designs and Patents Act 1988. Sayang sekali kita bukan warga Inggris (UK), sehingga tidak mendapat kemudahan tersebut tadi.

Solidaritas para pembajak yang berlaku selama ini menjadikan kita sebagai kriminal kolektif. Barangkali itu juga yang memperlambat niat kita untuk ikut menandatangani ratifikasi undang-undang hak cipta dan hak intelektual. Sebetulnya, kalau sopan dan menjunjung supremasi hukum, maka seyogianya kita harus membayar ganti rugi pada penerbit dan penulis buku. Kenyataannya, kita menghindar dari pembayaran royalti dan membenarkan kelakuan kita dengan alasan demi kemajuan ilmu.

Alasan itu sah-sah saja manakala kita masih pada tahap konsumen ilmu. Tapi, apa jadinya bila kita sudah mampu menjadi produsen ilmu dan karya intelektual lainnya, mungkin kita juga akan ikut menjerit-jerit mohon pengakuan dan pengertian orang lain. Sehingga sampai di sini lengkaplah kata pepatah, dengan apa engkau mengukur orang, dengan cara itu pula engkau akan diukur. Atau, bila engkau ingin diperlakukan layak, perlakukanlah orang lain secara layak pula.

Ketiga, yaitu mengubah gaya hidup yang konsumtif. Misalnya dengan cara mengalihkan dana untuk barang mewah seumpama mobil ke dana pembelian jurnal atau buku perpustakaan. Nampaknya ide ini baik sekali sebatas masih konsep. Karena ukuran yang kita pakai bukanlah ukuran yang pas untuk semua orang. Mungkin pola ini bisa disesuaikan untuk ukuran masing-masing individu, keluarga, lingkungan kerja atau kelompok masyarakat peminat ilmu.

Bila ide ini diterapkan dan dikembangkan, barangkali akan menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Bisa muncul isu pelecehan hak asasi manusia. Kalau kita berkunjung ke suatu rumah sakit pendidikan, yangbanyak dokter spesialis, jangan lupa melihat lapangan parkirnya. Relatif di situ lebih banyak mobil yang kelasnya di atas dibandingkan dengan lapangan parkir yang lain. Tetapi keniscayaan itu akan nampak bila anda memasuki perpustakaan mereka di tempat yang sama. Kontras ini mengindikasikan, ada sesuatu yang keliru dari kebiasaan hidup ini.

Konkretnya, jalan ketiga ini harus diakui sebagai paling sulit. Karena yang diubah adalah perilaku dan kebiasaan manusia. Hakikat dari perubahan adalah pembaruan, dan pembaruan berarti membentuk suatu tatanan baru. Artinya, kita berkehendak untuk mengubah suatu kemapanan yang ada. Sementara tatanan yang baru haruslah bersyarat sebagai tatanan yang mampu menghadapi tantangan zaman. Dengan bekal contoh ilustrasi di atas, di perguruan tinggi misalnya, jika seorang senior berani mengubah kebiasaan yang ada, apalagi kalau ia seorang kepala bagian atau ketua jurusan, maka etos para senior akan menular pada yuniornya.

Ketahuilah bahwa senior scientist tidak hanya berwibawa karena usia, pangkat maupun jabatan, tetapi kedalaman ilmunya akan menjadikan ia seorang tokoh panutan. Tokoh panutan bisa berperan ganda, tidak saja bisa menularkan kebiasaan dan nuansa ilmiah bagi yuniornya, tetapi juga kemampuan untuk mengadopsi pengalaman yang baik selama mencari ilmu di mancanegara. Bila paradigma ini menjadi komitmen ilmuwan senior, paling tidak ini akan menjadi inti perubahan yang pada gilirannya akan membesar dan bergilir di lingkungannya.

Ide Lain

Kembali pada pola melengkapi diri dengan perpustakaan pribadi, barangkali pola ini perlu dikembangkan dan dibuat modis. Maksudnya begini, kalau kita sudah mengadaptasi kekurangan informasi pustaka dengan cara memakai apa adanya, maka ada tawaran lain, yaitu mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.

Coba lihat, lewat internet, orang sudah lebih banyak bisa mengakses informasi tentang ketersediaan pustaka dan sekaligus memperoleh print-out-nya. Masih dengan internet pula kita bisa membuka homepage atau situs. Apa dan bagaimana maksud ide itu. Yaitu begini, dalam kenyataan, setiap ilmuwan di suatu kota pasti memiliki koleksi jurnal atau buku. Kemudian seorang operator akan menginventarisasi semua data yang diperolehnya, lantas disusun ke dalam directory. Dengan cara ini, pencari informasi bisa mengetahui siapa dan di mana ia bisa memperoleh informasi yang dicarinya. Si pencari bisa menghubungi pemilik jurnal/buku lewat komunikasi e-mail, faks, telepon dan sebagainya. Tentu saja bila pencari membutuhkan kopi dari artikel yang dimaksud, harus ada imbalan biaya. Perkara biaya rasanya bukan masalah besar, karena sukacita memperoleh informasi lebih besar dari lelah mencari informasi itu sendiri. Berikutnya, homepage yang ada di internet bisa dikembangkan ke kota lain di negeri ini. Sadar atau tidak, kita telah membangun suatu jaringan perpustakaan.

Nah, dari adopsi teknologi internet, akan terjadi pembauran antara jalan adaptasi dan jalan adopsi. Dengan begitu, diharapkan banyak ilmuwan kita bisa terhindar dari budaya verbal dan terdorong masuk ke kebiasaan baca apalagi budaya tulis, sehingga nantinya kita akan menilai seorang ilmuwan atau profesor bukan dari gelar yang dicantumkannya, tetapi buku yang ditulis maupun riset yang dihasilkannya. Paling tidak, ide ini bisa menghadang dan mencegah kegemaran orang memperjualbelikan gelar akademik. Sampai di sini, kenyataan bahwa kita tak luput dari proses kesejagatan (globalisasi), yakni sesuatu yang dulunya tak pernah terpikirkan, akhirnya kita ikut bergumul dalam masalah itu. Karena itu, pada tataran adopsi dan adaptasi teknologi informasi dan komunikasi, yang diperlukan adalah kemauan dan kreativitas untuk melepaskan diri dari kebiasaan yang ironinya akan kita mapankan.

Penulis adalah staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

atas