Partai Bulan Bintang (PBB) bertekad memperjuangkan Madura menjadi propinsi sendiri, terpisah dari Propinsi Jatim. Juga menginginkan membentuk 40 propinsi, empat daerah istimewa (DI), dan empat daerah khusus (DK) di Tanah Air. PBB pun menginginkan negara kuasa federal, jalan tengah dari bentuk negara kesatuan sentralistik maupun federal.
Menurut Ketua Umum DPP PBB, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra SH MA, dalam pidato kampanye pada rapat akbar PBB di Stadion Gajayana (luar) KMM, Selasa (25/5) sore, PBB berjuang agar Dati I (propinsi) dan Dati II (kabupaten/kotamadya) diberi otonomi seluas-seluasnya. Alasannya, saat ini otonomi yang diberikan pemerintah pusat terlalu kecil.
Jika jumlah propinsi lebih banyak dan otonomi diberikan kepada propinsi, dia optimistis, propinsi-propinsi akan kuat dan berkembang.
Dia juga menegaskan, sampai berakhirnya Pemilu 1999 nanti, tak akan berkoalisi dengan partai mana pun. PBB juga tidak akan bersedia bekerja sama dan berkoalisi kepada pihak yang ingin mempertahankan status quo.
"Partai Bulan Bintang juga tidak akan berkoalisi dan bekerja sama dengan golongan yang menciptakan status quo baru, seperti yang terlihat pada (proses menuju) Pemilu 1999," tandas pakar hukum tata negara itu "membakar" massanya.
Dua Kekuatan
Prof Yusril meyakinkan, PBB dengan sadar akan menghadapi dua kekuatan sebagai konsekuensi atas sikapnya. Dua kekuasaan dimaksud, status quo lama dan kekuatan yang ingin menciptakan status quo baru.
Sekarang gejala-gejala itu (munculnya status quo baru), dia sebut mulai tampak di tengah-tengah masyarakat. Walaupun mereka memusuhi rezim lama, namun sekarang mulai menampakkan gaya, sikap, dan perbuatan yang sama dengan rezim lama.
"Hal itu (gejala munculnya kekuatan status quo baru) mengkhawatirkan perkembangan demokrasi di masa mendatang," selorohnya disambut yel-yel ribuan kader dan simpatisan PBB.
Dalam temu wartawan di rumah makan Prambanan, Prof Yusril menyatakan sangat mungkin muncul status quo baru dari mereka --partai yang berkoalisi-- kalau tak mau mengubah sistem.
"Tidak mau mengubah UUD '45, tidak mau bicara sedikit pun tentang dwifungsi ABRI, apa itu tidak mungkin melahirkan rezim baru dengan mungkin pemerintah sistem yang lama di masa depan," ujarnya dalam nada tanya.
Kalau koalisi, lanjut dia, mestinya tiga partai yang koalisi memunculkan dengan partai dan tanda gambar yang sama. Seperti di Malaysia, ada Umno partai Melayu, ada MIC partai India, MCA partai Cina. Tapi saat pemilu, mereka memunculkan bendera Barisan Nasional. Mereka tidak mencoblos UMNO, MIC, MCA.
Kalau di Indonesia saat ini, partai-partai kan sudah 48 partai terdaftar ikut pemilu. Bagaimana berkoalisi, kalau tiga partai berkoalisi, rakyatnya disuruh mencoblos yang mana. Tetap saja antar tiga partai berkompetisi dengan sesama koalisinya.
"Itu bukan sebuah koalisi!" tandasnya. Meski tanpa menyebut nama partai dan figur personnya, bisa dipastikan yang dimaksud oleh ketua umum DPP PBB itu adalah koalisi PAN-PDI Perjuangan-PKB. Sedangkan yang disebut "tak mau mengubah UUD '45 dan tak bicara tentang dwifungsi ABRI" adalah Megawati.
Ihwal rencana kominike dengan partai LAIN, menurut dia, bagi PBB tidak perlu. Komunike itu dilaksanakan berdasarkan keperluan. Kalau PBB telah yakin kepada kekuatan sendiri, maka tak perlu buat komunike.
Dialami Masyumi
Ditanya wartawan, apakah tidak ikutnya PBB dalam koalisi tidak takut disebut pro-status quo karena koalisi itu dibangun untuk menghadang tampilnya kembali status qua? Yusril dengan nada tinggi mengatakan, "Yang menuduh kan Saudara! Kami tidak bilang begitu. Jadi, Saudara menafsirkan tafsiran menurut tafsiran Saudara sendiri!".
Menurut dia, pihaknya menghadapi status quo lama dan menghadapi status quo baru. "Saya kira itu cukup jelas apa yang saya katakan," imbuhnya.
Dimintai komentar ihwal komunike antarpartai apakah bisa memunculkan status quo baru? Dia menjawab, "Bisa jadi". Kemungkinan-kemungkinan itu menurut dia selalu ada.
Indikatornya, dia sebutkan, pada "zaman Golkar" mereka cenderung memaksakan kehendaknya. "Di masa sekarang, apa Anda tidak melihat gejala-gejala itu tidak terulang kembali? Anda tafsirkan sendiri siapa," katanya.
Karena itulah, lanjut Prof Yusril, kalau ada kekuatan koalisi status quo lama dan baru, PBB akan berada di tengah-tengah, menghadapi keduanya.
"Perjuangan itu memang berat. Dan bisa-bisa kami menghadapi sendirian. Hal itu kan sudah dialami Masyumi dan PSI pada 1960-an, saat menghadapi koalisi nasakom dan akhirnya mereka tersingkir dan dibubarkan. Jangan-jangan di masa depan kami akan mengalami nasib yang sama," tukas dia.
Dia berpendapat, kalau hanya rezim yang berubah, sistem tidak, maka dikhawatirkan kelakuan pemerintah gaya lama akan terulang kembali. (can)