back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

KOMPAS
Nusantara - Senin, 14 Agustus 00

Pengungsi Sambas Ingin Rekonsiliasi,
Bukan Relokasi

KONDISI fisik Iwan (2) tampak sangat loyo, lesu, dan kurus. Raut wajahnya begitu pucat. Tubuhnya terus-menerus mengucurkan keringat, sekalipun hari masih pagi. Kaki, tangan, punggung, leher dan kepala Iwan pun terserang penyakit kulit. "Keadaan ini dialaminya sejak dua bulan lalu. Hari demi hari kondisinya semakin parah. Kami pun sudah kebingungan dan hanya bisa pasrah," kata Ny Fitria (25), ibu kandung Iwan.

Apa yang diderita Iwan adalah gambaran nyata yang dialami para pengungsi kerusuhan sosial Sambas (Kalimantan Barat). Kerusuhan antar-etnik yang terjadi pada Februari 1999, masih meninggalkan derita sampai kini. Mereka yang terpaksa tercabut dari tanah yang memberi mereka kehidupan jumlahnya 53.948 jiwa atau 9.913 kepala keluarga (KK). Yang tinggal di Kodya Pontianak sebanyak 30.120 jiwa atau 5.535 KK. Hal itu meliputi 18.757 jiwa atau 3.408 KK tinggal di lokasi pengungsian dan yang diamankan di rumah keluarga 11.363 jiwa atau 2.127 KK.

Sementara itu di Kabupaten Pontianak 16.319 jiwa atau 2.961 KK. Mereka yang diamankan di lokasi pengungsian sebanyak 6.120 jiwa atau 1.156 KK, sedangkan di rumah keluarga 10.199 jiwa atau 1.806 KK. Di Kabupaten Bengkayang 7.504 jiwa atau 1.416 KK. Sebanyak 4.209 jiwa atau 848 KK di antaranya tinggal di lokasi pengungsian, dan sisanya 3.295 jiwa atau 568 KK menetap di rumah keluarga.

Sejak awal Maret 1999, mereka diungsikan dari Kabupaten Sambas, menyusul meletusnya pertikaian antaretnik selama Februari 1999, rumah dibakar serta ratusan jiwa lainnya tewas dibunuh.

Selama menetap di dalam lokasi pengungsian, penderitaan mereka semakin rumit, kompleks, serta menyedihkan. Tidur pun di lantai hanya beralaskan tikar, koran, dan kain seadanya. Tempat itu juga sekaligus berfungsi sebagai dapur. Dalam gedung pun tampak disesaki pengungsi sehingga suasana ruangan terasa sangat panas.

Di luar gedung sampah dibuang di sembarang tempat. Kamar mandi, cuci dan kakus (MCK) pun jarang dimanfaatkan. Kondisi ini diperparah lagi dengan begitu langkanya pasokan air bersih oleh instansi terkait sehingga yang dipakai untuk masak dan minum adalah air hujan, sedang mandi dan cuci memanfaatkan air yang tergenang dalam parit yang ada di sekitar lokasi pengungsian.

Buruknya sanitasi dan rendahnya kesadaran memelihara kesehatan lingkungan serta diri mengakibatkan berbagai jenis penyakit begitu mudah menyerang tubuh pengungsi. Pengobatan yang dilakukan kalangan medis pun menjadi mubazir. Selang beberapa hari berikutnya penyakit yang sama kambuh kembali. Bahkan, sedikitnya 65 pengungsi di antaranya meninggal dunia. Mereka umumnya anak berusia di bawah lima tahun (balita). Penyakit yang diderita pengungsi antara lain, diare, kulit, tifus, dan kurang gizi.

Untuk mendapatkan ruang yang lebih sehat dan bebas, pengungsi pun terpaksa mendirikan gubuk-gubuk dengan luas berkisar antara 16-20 meter persegi di sekeliling lokasi pengungsian. Gubuk itu dibangun secara swadaya. Dananya diperoleh dari penjualan sejumlah barang kebutuhan pokok yang dibagikan instansi pemerintah dan lembaga swasta.

***

PERSOALAN pengungsi Sambas bukan itu saja. Begitu banyak anak usia sekolah yang tadinya di Sambas menikmati pendidik formal, namun kini gairah tersebut sirna. Selain tak ada pakaian seragam dan buku pelajaran, suasana hidup di lokasi pengungsian pun tak memungkinkan siswa untuk bersekolah. Orangtua atau keluarga pun sepertinya sudah kehilangan semangat untuk mendorong anaknya bersekolah.

Data yang diperoleh Kompas dari Posko Ikatan Keluarga Korban Kerusuhan Sambas menyebutkan, dari 53.948 pengungsi Sambas sekitar 15.579 jiwa di antaranya adalah anak usia sekolah. Akan tetapi, yang sedang menimba ilmu pada Sekolah Dasar (SD) hanya 755 siswa, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMTP) 283 siswa, dan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SMTA) 25 orang. Mereka ini umumnya menetap di wilayah Kodya Pontianak dan sekitarnya.

Sedangkan, anak pengungsi yang berada di Kabupaten Bengkayang, khususnya di dalam lokasi pengungsian di Desa Marhaban, Kecamatan Tujuhbelas, sebanyak 620 orang tak bersekolah lagi. Alasannya, jarak antara sekolah dengan lokasi pengungsian sejauh kurang lebih empat kilometer.

"Sebelumnya, saat pertama kali pengungsi ditempatkan di lokasi tersebut sempat didirikan sekolah darurat dan ditugaskan dua tenaga guru. Tetapi, sekolah ini hanya berjalan tiga bulan, sesudah itu ditutup, sebab tenaga guru mengundurkan diri," jelas Abdullah, Koordinator Urusan Pengungsi Sambas di Kabupaten Bengkayang.

"Kami sadar, sekolah sangat penting bagi anak-anak. Tetapi, kalau kondisi hidup seperti ini untuk apa mereka sekolah. Lebih baik anak-anak jadi pemulung untuk membantu kami mendapatkan uang. Itu mungkin jauh lebih bermanfaat bagi kami sekeluarga dalam menyambung hidup," tutur M Ilham (37), pengungsi di Stadion Sultan Syarif Abdurrahman, yang dua putranya disuruh menjadi pemulung di Pontianak. Penghasilan bersih yang diperoleh kedua anak itu berkisar Rp 10.000-Rp 15.000 per hari.

***

KEMBALI ke Sambas merupakan satu-satunya keinginan serta tuntutan pengungsi. Alasannya, di sana mereka masih memiliki sejumlah bidang tanah untuk dibangun rumah serta diolah menjadi lahan pertanian. Di sana pula tempat kelahiran mereka sehingga tak mungkin ditinggalkan begitu saja, menyusul pertikaian sosial beberapa waktu lalu.

"Sejak tahun 1930-an, nenek moyang kami sudah menetap di Sambas. Di sana, kami dilahirkan dan dibesarkan sehingga Sambas telah menjadi bagian dari hidup kami dan sulit dipisahkan. Makanya, kami tak mau dipindahkan ke tempat lain di luar Sambas. Kalau dipaksakan dengan program relokasi, berarti pemerintah hanya membuang uang percuma, sebab tak ada yang bersedia," ujar H Ramini, Ketua Ikatan Keluarga Korban Kerusuhan Sambas.

Sikap demikian tampak jelas ketika pemerintah melakukan program relokasi di Tebangkacang, sekitar 35 kilometer arah tenggara Kodya Pontianak pada Juli 1999. Program yang menelan biaya sekitar Rp 2,5 milyar tersebut kini mubazir. Kurang lebih 500 KK yang pada Agustus 1999 ditempatkan di Tebangkacang, tetapi hanya tujuh bulan mendiami rumah yang dibagikan gratis tersebut, dan kini telah kembali lagi ke pengungsian di Kodya Pontianak.

Alasannya, tanah seluas satu hektar yang dibagikan gratis untuk diolah menjadi lahan pertanian agaknya kurang subur. Bahkan, lahan tersebut merupakan tanah bergambut dengan ketebalan sedikitnya tiga meter. Tanaman yang ditanam bertumbuh subur, tetapi saat dipanen tidak membuahkan hasil.

Penyebabnya, tanah bergambut tidak mengandung unsur mineral, keasamannya tinggi serta ketersediaan unsur hara baik makro maupun mikro sangat rendah. Selain itu gambut juga tidak mengandung unsur tembaga. "Padahal, tembaga merupakan unsur terpenting dalam proses pembuahan tanaman. Tak heran, bila tanaman umur pendek boleh tumbuh subur, tetapi tidak menghasilkan buah," jelas Prof Ir Sakunto MSc, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Pontianak.

***

BAGI Ramini bersama ribuan pengungsi Sambas lainnya, sekalipun menyadari penderitaan yang dialami selama hidup di pengungsian cukup memprihatinkan, namun relokasi bukan merupakan satu-satunya pilihan yang dikehendaki. Yang paling mendesak bagi mereka adalah dilakukan rekonsiliasi dengan kelompok masyarakat yang pernah bertikai. Dengan demikian, sikap saling curiga, dendam serta lain sejenisnya segera diakhiri.

Lalu, bersama-sama memulai hidup baru yang rukun, damai, saling bersahabat, harmonis, saling menghormati dan menghargai baik secara kelompok sosial maupun individu. Rekonsiliasi juga disertakan adanya perjanjian yang patut dihormati dan dijalankan dalam pergaulan hidup bersama. Sikap serta karakter dari individu atau kelompok masyarakat tertentu yang sebelumnya dinilai menghambat keharmonisan atau selalu memicu konflik baru, disepakati untuk dihilangkan.

Selain itu, solidaritas yang membabi buta dari sesama kelompok sosial perlu pula dibasmi. Hal ini penting, supaya dapat dibedakan persoalan pribadi dan kelompok. Dengan demikian, jika suatu waktu di kemudian hari ada seseorang atau beberapa oknum dari kelompok sosial tertentu melakukan kesalahan, maka hanya merekalah yang dihukum, dan bukan melibatkan masyarakat lain yang tidak bersalah.

"Hal ini sangat penting, sebab selama ini kesalahan satu atau dua orang Madura, namun yang menjadi korban atau sasaran amuk massa adalah semua masyarakat Madura yang tinggal di kawasan konflik. Ini yang harus dicegah sehingga ke depan kasus kerusuhan sosial seperti yang terjadi selama ini tak terulang kembali pada waktu mendatang," tutur Ramini.

"Makanya, kami sangat berharap masyarakat Madura, Melayu serta Dayak di Kabupaten Sambas segera duduk satu meja untuk membicarakan rekonsiliasi. Kami sadar, kerusuhan sosial pada awal tahun 1999 lalu telah membuat masyarakat ketiga etnik ini kurang akur, dendam serta saling curiga. Kami juga sadar, sejumlah oknum warga Madura telah melakukan kesalahan yang memicu terjadi kerusuhan sosial. Karenanya, peristiwa itu kami anggap sebagai musibah sehingga kami ingin segera memulai hidup baru di Sambas yang lebih harmonis tanpa disertai rasa dendam dan saling curiga," tambahnya.

Niat baik ini sebetulnya telah tumbuh di dalam sanubari mereka yang pernah bertikai. Beberapa kali pemuka masyarakat Melayu, Madura, serta Dayak Kabupaten Sambas melakukan perundingan membahas rencana rekonsiliasi, serta kemungkinan pengungsi dipulangkan ke daerah asal di Kabupaten Sambas. Hanya saja, belum ada titik temu.

Salah satu penyebabnya adalah adanya pihak-pihak tertentu yang disinyalir dengan sengaja bermain di belakang layar agar perundingan itu gagal. Mereka mengadu-domba dan menghasut masyarakat yang pernah bertikai sehingga permusuhan sosial terus membara.

Mereka, kata Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie, Dekan Fisipol Universitas Tanjungpura, menginginkan potensi konflik sosial di Kalbar tetap subur berkembang sehingga sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk konsumsi politik.

Terlepas dari semua itu, rekonsiliasi merupakan kebutuhan yang sangat mendesak dan tak boleh ditunda. Kata kunci untuk menciptakan keharmonisan antarwarga di Sambas serta Kalbar pada umumnya adalah kepastian hukum. Mereka yang terbukti bersalah patut dihukum. Untuk itu diperlukan aparat penegak hukum yang berani, jujur, adil serta tidak tergiur dengan uang serta harta. (Jannes Eudes Wawa)

Berita daerah lainnya:

atas