back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Rabu 24 Maret 1999 |
Kompas |
Sambas, Kompas
Situasi kota-kota kecil di pesisir utara Kalimantan Barat seperti Pemangkat, Tebas dan Sambas, hari Selasa (23/3) berangsur-angsur normal. Tetapi menjelang malam, terlihat kelompok-kelompok massa yang berkumpul di pinggir jalan.
Laporan terakhir menyebutkan, situasi yang berangsur normal tersebut diwarnai bentrokan antara pasukan keamanan yang hendak menyelamatkan warga Madura yang sembunyi di dalam hutan di Samalantan dengan penduduk asli setempat.
Massa bersenjata api rakitan dan senjata tajam mencoba menyerang petugas yang datang dengan belasan truk. Pasukan keamanan melepaskan tembakan ke arah massa, dan diperkirakan sedikitnya empat pelaku penyerangan tewas.
Dalam penyapuan (sweeping) yang dilakukan pasukan keamanan di Samalantan, ditemukan potongan-potongan jenazah yang tak utuh lagi. Kondisi mereka sudah membusuk.
Sesuai laporan Pemda Kalbar, kerusuhan yang meledak sejak awal pekan lalu di tujuh kecamatan di Kabupaten Sambas, sekurang-kurangnya menyebabkan 165 korban tewas. Angka ini belum termasuk empat korban tewas di Samalantan.
Penindak kerusuhan
Di Jakarta hari Selasa, Kepala Staf Umum ABRI Letjen TNI Sugiono melepas pemberangkatan Pasukan Penindak Kerusuhan Massal berkekuatan enam Satuan Setingkat Kompi.
Pasukan yang terdiri dari unsur TNI AD dan Brigade Mobil Polri itu diterbangkan lima pesawat Hercules TNI AU ke Kalbar, untuk memperkuat aparat keamanan dalam upaya melerai pertikaian dan kerusuhan yang terjadi di sana. Sekitar pukul 18.50 pasukan itu tiba di depan Markas Kepolisian Resor Sambas di Singkawang.
Sugiono menyatakan, dalam menangani kerusuhan, ada tiga aspek yang harus ditangani secara bersamaan dan teliti. Pertama, menghentikan kerusuhan; kedua, menegakkan hukum dengan menindak para pelaku pelanggaran hukum di lapangan. Ketiga, menindak aktor intelektual yang mendalangi kerusuhan.
Pengungsi
Ribuan pengungsi warga Madura masih menunggu dievakuasi di Desa Sabaran, Kecamatan Tebas. Sejak Rabu pekan lalu hingga Selasa, sudah diangkut sekitar 7.000 warga Madura, yang kemudian diberangkatkan ke Pontianak dengan KM Anugerah Makmur, KM Kaap Bol, KM Mekar Niaga, KM Ikaguri, dan KRI Teluksabang.
Pelabuhan Sintete di Pe-mangkat (Kalbar) sejak seminggu terakhir ini ikut terganggu. Menurut Administrator Pelabuhan (Adpel) Sintete, Yusuf Poniran, sejak Rabu pekan lalu, tak ada satu pun kapal yang masuk ke pelabuhan itu karena takut keamanan tak terjamin. Dalam satu bulan, rata-rata 40 kapal masuk ke Sintete.
Dari Pontianak dilaporkan, Pemda Kalbar menambah lagi dua lokasi untuk menampung pengungsi dari Kabupaten Sambas, yakni Stadion Sultan Syarif Abdurachman dan sebuah gudang di Kawasan Wajok Hulu, tujuh km utara Pontianak. Dengan penambahan itu, berarti sudah sembilan lokasi yang menjadi tempat penampungan.
Meski demikian jumlah itu dinilai belum mencukupi, sebab masih sekitar 9.000 pengungsi diamankan di Kabupaten Sambas. "Pemda Kalbar masih membutuhkan sebanyak empat gudang lagi dengan daya tampung minimal 2.000 jiwa per buah," kata Asisten Setwilda Kalbar HAM Djapari di Pontianak.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Posko I Pemda Kalbar, hingga kemarin sebanyak 12.276 jiwa pengungsi yang diamankan di sembilan lokasi di Pontianak. Pada Rabu dinihari sekitar pukul 01.00 tiba lagi dari Sambas sekitar 500 jiwa. Mereka diangkut dengan Kapal Mo-tor (KM) Anugerah Makmur dari pelabuhan Sintete, Pemangkat.
Untuk pengangkutan pengungsi yang masih bertahan di Sambas, Kanwil Departemen Perhubungan Kalbar telah mengerahkan KM Kaap Bool, KM Anugerah Makmur, KM Ikaguri, dan KM Mekar Niaga guna mengangkut pengungsi dari Sambas melalui Pelabuhan Sintete. Di samping itu KRI Teluk Sabang yang dikawal KRI Imam Bonjol juga membantu pengangkutan pengungsi.
Sementara itu sekitar 400 pengungsi masuk ke Sarawak, Malaysia Timur, melalui Paloh. Sebagian besar menggunakan perahu, tetapi ada pula yang berjalan kaki, menembus hutan belantara. Paloh merupakan daerah paling ujung di Kabu-paten Sambas yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia.
Kedatangan pengungsi tanpa bekal apa pun, cukup merisau-kan Pemerintah Malaysia, sehingga para pengungsi secepatnya akan dideportasi. "Pemerin-tah Malaysia rupanya kurang berkenan..," tutur seorang petugas keamanan Indonesia yang berdinas di Konsul Jenderal RI di Kuching, Sarawak.
Berlangsung lama
Pengamat politik dari Univer-sitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr Riswandha Imawan, di Universitas Padjadjaran, Bandung, mengomentari kasus Sambas mengatakan, pimpinan ABRI, kejaksaan serta unsur lain yang terkait seharusnya segera mengambil tindakan represif dalam arti terbatas.
Kendati langkah ini diakui sebagai tindakan tidak populer, namun akan membantu agar kerusuhan itu tidak berlangsung lama seperti kerusuhan di Ambon, serta tidak menyebar lebih luas lagi ke daerah lain.
Ia mengakui, pada keadaan seperti ini, posisi ABRI sangat dilematis, sebab jika melakukan tindakan represif jelas akan melanggar hak asasi manusia. Menyelesaikan persoalan Sambas, pikiran pertama adalah tutup kota tersebut. Kedua, berlaku-kan jam malam. Langkah selanjutnya adalah menggeledah rumah-rumah. (ksp/gg/pin/jan)