back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Selasa 6 Juli 1999 |
Kompas |
Sedikitnya sudah 163 pengungsi korban tragedi Sambas, Kalimantan barat, meninggal selama empat bulan menetap di lokasi pengungsian di Pontianak dan Sambas/Bengkayang. Warga yang meninggal itu akibat terserang penyakit paru-paru, diare, dan tifus. Keadaan itu diperparah oleh kurangnya perhatian terhadap sanitasi, kesehatan individu, serta buruknya gizi dan kebersihan lingkungan di pengungsian. "Akibatnya, saat terserang penyakit kondisi tubuh korban langsung melemah dan sulit terselamatkan, meskipun petugas sudah berusaha maksimal," kata dr Chonidi Azis dari Posko Kesehatan Kerusuhan Sambas pada Kanwil Depkes Kalbar, Senin (5/7).
Sekitar 60 persen dari korban yang meninggal dunia itu adalah anak berusia di bawah lima tahun (balita). Mereka yang tinggal di pengungsian di wilayah Kodya Pontianak tercatat 113 orang. Sedangkan 50 orang lainnya tinggal di barak pengungsian di Bokmakong, Desa Sedau, Kecamatan Tujuhbelas, Kabupaten Bengkayang (dulu Kabupaten Sambas).
Kasus kematian tersebut dikhawatirkan bakal bertambah, sebab kondisi kesehatan pengungsi sangat buruk. Kondisi psikis pun belum normal. Belum lagi keadaan di lokasi pengungsian kurang bersih, sehingga bisa mempengaruhi kondisi fisik dan mental pengungsi.
Tambah buruk
Salah satu contoh, Ny Mardiyah (35), pengungsi asal Sekura, Kecamatan Telukkeramat, Kabupaten Sambas. Ibu muda ini mengatakan, bayinya, Mala (2,5 tahun) yang sudah empat bulan tinggal di barak Bokmakong, Kecamatan Tujuhbelas, Kabupaten Bengkayang, menderita batuk dan diare yang tak sembuh-sembuh.
"Dokter hanya datang dua hari sekali, itu pun hanya membagikan obat-obatan. Kami khawatir, kalau begini terus kesehatan pengungsi tambah buruk," kata Hamid, seorang tokoh masyarakat di pengungsian Bokmakong. Umumnya pertumbuhan balita di pengungsian tidak normal.
Ny Leni M (20) yang tinggal di lokasi pengungsian di Stadion Olahraga Syarif Abdurachman Pontianak menderita gatal-gatal pada payudaranya. Bayinya yang baru berusia 25 hari, tak bisa lagi menyusu padanya. "Kalau begini terus, bayi saya bisa meninggal karena kekurangan gizi," katanya pasrah.
Menurut pengamatan Kompas hingga kemarin, di Stadion Syarif Abdurachman, Gedung Olahraga Pangsuma, Gedung Bulu Tangkis, Asrama Haji, dan di Stadion Universitas Tanjungpura Pontianak, para pengungsi tinggal dalam kondisi kesehatan yang memprihatinkan. Mereka mandi di parit yang airnya hitam-pekat. Kalau hujan turun, mereka agak lega karena bisa mandi dengan air yang lebih bening.
Namun di lokasi pengungsian Bokmakong, Kecamatan Tujuhbelas, Bengkayang, problem yang dihadapi antara lain sulitnya memperoleh air bersih. Meskipun sudah dipasang tangki-tangki penyimpan air di sekitar barak, namun menurut pengungsi di sana, itu hanya hiasan belaka dan tidak berfungsi sama sekali. Mereka harus berjalan kaki sejauh satu kilometer untuk mendapatkan air.
Para pengungsi tidak semuanya tidur di tempat tertutup. Di stadion olahraga misalnya, banyak pengungsi terpaksa tidur beratapkan langit dan beralaskan lantai semen/kayu seadanya. Yang paling menderita adalah balita dan anak-anak.
Terhadap kondisi yang memprihatinkan ini, Chonidi berharap agar pengungsi Sambas segera direlokasi ke permukiman yang baik dan sehat. Dengan demikian hidup mereka menjadi lebih tenang serta nyaman.
Untuk itu, semua pihak yang terlibat dalam urusan pengungsi Sambas supaya berpikir arif dan bijaksana untuk menghindarkan mereka dari kemungkinan terserang penyakit berbahaya yang bisa mengancam keselamatan jiwa. "Saya sangsi kalau pengungsi tetap dibiarkan di lokasi pengungsian bisa bebas dari serangan penyakit berbahaya. Sebab faktor kesehatan lingkungan sangat besar pengaruhnya," katanya. (jan/ksp)