Surabaya - Surabaya Post Warga Madura yang tergabung dalam Formisraya (Forum Silaturahim Masyarakat Madura di Surabaya) menyatakan meminta maaf kepada mahasiswa Surabaya atas terjadinya aksi penghadangan dan pembubaran dengan kekerasan demonstrasi 5 Oktober 1998 di sekitar Makodam V/Brawijaya oleh sekelompok oknum warga Madura yang membawa celurit.
Permintaan maaf itu tercantum dalam pernyataan sikap Formisraya yang dibacakan salah satu tokohnya, H Syaiful Islam, di Hotel Simpang, Senin (19/10) malam.
Acara yang juga sekaligus merupakan "deklarasi" pendirian Formisraya itu juga dihadiri para undangan belasan tokoh mahasiswa sejumlah kampus Surabaya yang juga aktivis Arek Pro-Reformasi (APR) dan ASPR (Arek Suroboyo Pro-Reformasi).
Seperti diberitakan media massa, demo mahasiswa pada hari ABRI, 5 Oktober lalu dihadang dan dibubarkan sekelompok warga Madura yang membawa celurit. Selain mengancam, mereka juga melakukan kekerasan fisik terhadap mahasiswa demonstran.
"Kontra demo seperti itu dilakukan segelintir oknum orang Madura itu dapat menimbulkan SARA," kata H Syaiful Islam saat membacakan permintaan sikap Formisraya.
Nur Hasan, tokoh Formisraya yang lain, mengatakan, acara di Hotel Simpang ini diselenggarakan untuk menyikapi kontra demo yang dilakukan sekelompok warga Madura itu. Ia khawatir, masyarakat Madura secara keseluruhan terimbas kontra demo tersebut.
"Kami ingin klarifikasi agar Madura tak diidentikkan dengan kekerasan. Seharusnya yang menghadang demo itu kan aparat, bukan orang sipil bercelurit. Mereka itu diperalat oknum yang tak ingin reformasi damai. Orang Madura tak identik dengan celurit dan kekerasan," katanya.
Tokoh Formisraya H Achmad Djam'an juga berkata senada. Ia tak ingin masyarakat Madura disebut antireformasi. Karena itu, ia menyatakan rasa bangganya atas kehadiran mahasiswa pada acara Formisraya ini. "Kami warga Madura tetap mendukung reformasi total yang dipelopori mahasiswa," katanya yang disambut tepuk tangan hadirin.
KH Fuad Amien Imron, ulama Bangkalan yang juga hadir pada acara tersebut, mengakui, ada oknum orang Madura yang menggertak dan menakut-nakuti mahasiswa dengan membawa-bawa nama Madura.
"Mereka begitu karena kesengsem pada lembaran yang jumlah nolnya lima itu. Adik-adik mahasiswa, tak semua orang Madura bisa diperalat," katanya.
Menurut KH Fuad, orang-orang yang menghadang mahasiswa itu sudah mengaku keliru dan menyesal setengah mati. KH Fuad mengaku sudah memberi penjelasan pada mereka, bahwa demo merupakan hak yang dijamin undang-undang. Dan bahwa demo mahasiswa itu merupakan tangisan hati nurani rakyat, bahwa mahasiswa tampil menumbangkan kezaliman serta memberantas KKN.
Bikin Kotor
Sedangkan Desta Fajar, mahasiswa Untag yang mewakili teman-temannya, menyatakan, pihaknya (APR dan ASPR) tak pernah menganggap yang menghadang demo mereka pada 5 Oktober itu sebagai aksi orang Madura. Itu, kata dia, merupakan tindakan yang membikin kotor nama Madura.
"Itu bukan cara Madura. Saya tahu, orang Madura itu taat pada Allah dan rasul. Dan itu bukan cara-cara yang diajarkan rasul, karena rasul sendiri amat demokratis," kata Desta. (nnn)