Suara Pembaruan
KESRA - Minggu, 03 September 00
Diharapkan Menjadi Guru Mengaji
Oleh Naning Indratni
|
Foto: Suara Pembaruan
|
Mahfud dan Zaizatun Nihayati
|
BANYAK hal yang mengejutkan, dan bakal mengubah kehidupan sehari-hari Prof Dr Moh Mahfud Mahmudin SH SU yang lebih dikenal dengan Mahfud MD. Pada Rabu (23/8) lalu, ia diumumkan menjadi menteri pertahanan. Mahfud yang mengaku jarang berhubungan dengan militer selama ini, tentu akan lebih banyak berurusan dengan kalangan militer, kendati hanya menyangkut soal administrasi dan biro- krasi dalam pemerintahan.
Kekagetan pertama sudah ia alami, saat seorang jenderal meneleponnya. Ketika Mahfud mengatakan rasa hormatnya dan ingin berkonsultasi dengan jenderal itu di rumahnya, tak ia duga jenderal itu berucap, ''Siap, Bapak, saya akan menghadap.''
Ahli hukum tata negara yang mantan aktivis pers mahasiswa itu, selama ini mudah dihubungi wartawan untuk dimintai pendapat. Meskipun sedang di luar kota, telepon genggamnya selalu ready. Bahkan, di bulan Ramadan, pada saat sahur, ia bersedia menjawab ketika seorang wartawati mewawancarainya melalui telepon.
Pria kelahiran Sampang, Madura, yang mempersunting Zaizatun Nihayati SH itu, juga bakal kehilangan kebiasaan mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Anak tertuanya, M Ikhwan Zein, kini kelas dua SMU 8 Yogya. Dua adiknya masih duduk di bangku sekolah dasar. Vina Amalia kelas lima, dan Royhan Akbar kelas empat. ''Ada kenikmatan tersendiri mengantar ke sekolah, sebagai orangtua bisa bersama anak-anak,'' kata Mahfud.
Sejak kecil, tak selintas pun ada keinginan Mahfud menjadi menteri. Orangtuanya, Mahmodin, pegawai Kecamatan Waru, menginginkan anak nomer empat dari tujuh bersaudara itu menjadi guru mengaji. Karena itu setelah lulus dari SDN Waru I, Mahfud melanjutkan ke Madrasah Ibtidaiyah PP Somberlaga Tagangser Laok, Pamekasan, lalu ke Pendidikan Guru Agama Negeri di Pamekasan.
Lulus pada 1974, ia meneruskan ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), Yogyakarta. Ketertarikannya pada ilmu hukum mendorongnya memilih melanjutkan studi ke Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Selain itu ia kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Sastra Arab. Ternyata minat pada ilmu hukum, yang diselesaikan pada 1983, lebih menarik perhatian. Mahfud meninggalkan bangku kuliah sastra Arab sampai pada tingkat sarjana muda saja.
Kegemarannya menulis berkembang selama kuliah. Ia menjadi ketua Lembaga Pers Mahasiswa UII, dan ikut mengelola majalah Muhibbah, yang kemudian dibredel pada zaman Ali Moertopo menjadi menteri penerangan. Sampai sekarang ia aktif menulis di berbagai media. ''Itu karena kebutuhan nurani,'' kata Mahfud yang juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam.
Minat belajarnya tak pernah padam. Menyelesaikan S1 sembari mengajar di Fakultas Hukum UII, ia melanjutkan ke S2 UGM jurusan ilmu politik. Ia sempat tidak diterima, namun berhasil meyakinkan Prof Dr Ichlasul Amal -- kini rektor UGM -- bahwa ia mampu menyelesaikan program itu. Melalui tes ulangan, ia diterima. ''Mungkin itu hasil KKN, tapi saya memang merasa mampu,'' ujarnya sambil tertawa.
Ia memilih ilmu politik karena sangat kecewa dan gelisah melihat kenyataan bahwa kinerja hukum tidak seperti yang dipelajari di bangku kuliah. Tidak ada pembaruan hukum karena selalu dikalahkan oleh kekuasaan politik.
Di bangku kuliah, ilmu hukum diajarkan dengan pendekatan studi normatif yang meletakkan hukum pada posisi sangat ideal, yaitu sebagai sentral hukum dan pengarah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kenyataannya, pada era Orde Baru, kinerja hukum sangat lemah karena selalu diintervensi oleh politik. Apa yang benar menurut tuntutan hukum, dimanipulasi dengan formalitas pembenaran pula oleh kekuasaan politik.
Profesor pada Usia 42
Keadaan seperti itu menimbulkan pandangan pada Mahfud, hukum tidak dapat dipandang sebagai ilmu eksklusif dan dengan pendekatan normatif semata-mata, melainkan harus dipelajari secara interdisipliner. Untuk itulah ia belajar ilmu politik.
Melihat prestasi belajarnya, Prof Afan Gaffar sebagai dosen di UGM menganjurkannya mengambil program doktor. Ia memilih memperdalam politik hukum tata negara, dan menyelesaikannya pada 1993 di UGM. Sebelumnya ia sempat mengikuti studi pustaka di Columbia University, New York, AS, 1990-1991, dan Nothern Illinois University, DeKalb, 1991.
Bagi Mahfud, politik hukum memang masih jarang dan patut dikembangkan. Ada tiga asumsi mendasari hubungan antara hukum dan politik. Pertama, politik ditentukan oleh hukum karena setiap permainan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik dan hukum interdependent, saling menguatkan. Ketiga, hukum ditentukan oleh politik karena hukum merupakan produk politik.
Berdasarkan asumsi terakhir, ketika politik tampil dalam konfigurasi yang otoriter, maka kinerja hukum menjadi jelek, atau konservatif dan ortodoks, karena selalu dilanggar oleh keputusan-keputusan politik penguasa. Pada saat sistem politik tampil demokratis, maka pembuatan dan penegakan hukum menjadi responsif dan populistik.
Menurut Mahfud, era Orde Lama dan Orde Baru yang menghadirkan sistem politik yang otoriter menyebabkan hukum menjadi sangat ortodoks dan benar-benar dilanggar, bahkan diperalat oleh kekuasaan politik. Hukum menjadi positivis instrumentalistis, atau menjadi alat pemberi justifikasi dan pembenaran atas apa pun yang akan dan telah dilakukan penguasa politik yang otoriter.
Ketekunan dan kepekaan Mahfud pada dunia politik hukum tata negara mengantar karier akademisnya ikut menanjak. Apalagi kebiasaannya menulis buku dan artikel ilmiah tidak pernah berhenti dan menjadi wacana tersendiri. Sedikitnya ia telah mempresentasikan 107 makalah yang memenuhi standar ilmiah.
Hanya dalam waktu relatif singkat setelah memperoleh gelar doktor, Mahfud menyandang gelar profesor, pada usia 42 tahun. Ketekunan dan kegigihan itu juga yang mengantar Mahfud menjadi dosen teladan se-Kopertis Wilayah V, 1990. Ia naik golongan empat tingkat lebih tinggi daripada lektor madya golongan III D ke guru besar. Ia mampu meraih cum 675 poin dari standar 570 untuk mendapat gelar profesor. Karena sudah berlebih, angka itu diajukan ke Departemen Pendidikan Nasional, 1999. Padahal, kalau tidak luar biasa, dalam perhitungan, Mahfud baru bisa menyandang gelar guru besar pada 2011.
Mendiknas menandatangani pemberian gelar itu Januari 2000. Pidato pengukuhannya sendiri, kalau tidak berbarengan dengan sidang kabinet, karena ia kini seorang menteri, baru akan dilaksanakan 14 September 2000.
Di sela-sela kesibukan menulis dan mengajar di sejumlah perguruan tinggi swasta di Yogya, Mahfud juga banyak memegang jabatan di bidang akademik. Terakhir, runner up pengamat politik hukum terbaik pilihan PWI DIY itu memegang jabatan pembantu rektor I UII dan direktur Pascasarjana Fakultas Hukum UII.
Di kalangan pemerintahan, nama Prof Mahfud sejak era reformasi mulai diperhitungkan. Setidaknya pada kabinet awal pemerintahan Gus Dur ia mendapat kepercayaan sebagai staf ahli Menteri HAM. (132/037)
atas