back | |
Serambi MADURA |
https://zkarnain.tripod.com/ Internet Based Virtual Life-long Learning Environment for Maintaining Professional Vitality |
April 2000 Dzulhijjah-Muharram 1420 |
Sura Hidayatullah |
"Gus Dur Memang Semau Gue"
Prof Dr Mohammad Mahfud MD, SH Sejak gerakan reformasi bergulir, terutama sejak BJ Habibie menggantikan Soeharto menjadi Presiden RI, para pakar hukum tatanegara jadi laris sebagai rujukan berbagai media massa dan masyarakat. Nama-nama pakar itu kian berkibar. Wajah mereka pun kian sering tampil di surat kabar dan layar televisi. Kalau di Jakarta ada Prof Yusril Ihza Mahendra, Prof Ismail Sunny, dan Prof Harun Alrasid, di Yogyakarta ada Prof Mohammad Mahfud MD, yang juga Pembantu Rektor I Universitas Islam Indonesia (UII). Bagi wartawan di Yogyakarta, pakar hukum yang baru saja dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) ini memang menyenangkan, karena sangat ramah dan terbuka untuk dimintai pendapat dan pandangan. Begitu juga bila diminta kesediaannya menulis artikel dan menjadi pembicara di forum seminar, Mahfud akan dengan senang hati memenuhinya, sejauh ia mampu. Sikap demikian muncul tak lain karena pria kelahiran Sampang (Madura) 13 Mei 1957 ini memang sangat hobi me nulis dan berdiskusi. Bahkan lantaran seringnya Mahfud menuangkan pikiran dalam tulisan, ia jadi terlatih menulis cepat. Tak heran bila analisis-analisisnya tentang politik dan hukum kerap menghiasi koran dan majalah. Tahun 1996 dan 1997 ia pernah meraih juara II dosen paling produktif menulis di lingkungan UII. Setahun kemudian pria berambut ikal ini meraih juara I. Karirnya sebagai pengajar dimulai sejak 1983 sebagai dosen tetap Fakultas Hukum (FH) UII Yogyakarta, selepas ia menamatkan studinya di perguruan tinggi yang sama. Selama mengajar Mahfud mendapat kesempatan melanjutkan studinya (S2) di Program Ilmu Politik Pascasarjana UGM, yang kemudian dituntaskan dengan program doktor (S3) ilmu hukum di universitas itu juga, yang diselesaikannya 1993. Seiring dengan itu, karirnya di UII kian menanjak. Mulai dari Pembantu Dekan FH, Asisten Pembantu Rektor, Direktur Karyasiswa, Direktur Pascasarjana, serta Pembantu Rektor I selama dua periode (1994-1998, 1998-2002). Sebagai PR I, tahun ini ia mencanangkan program sabatical leave bagi para dosen UII, yakni cuti ke luar kota atau ke luar negeri untuk memberi kesempatan mereka meningkatkan kemampuan menyusun karya tulis ilmiah. Biayanya ditanggung UII dengan standar internasional. Untuk program itu UII akan menyediakan dana Rp 2,8 miliar per tahunnya (tahap pertama Rp 500 juta). Atas dedikasi dan kecintaannya menekuni dunia pendidikan, sepuluh tahun silam (1990) Mahfud mendapat penghargaan sebagai dosen teladan I tingkat Kopertis Wilayah V dan nominator tingkat nasional. Belakangan, Mahfud sempat berkecimpung sebentar di dunia politik praktis dengan menjadi Ketua Departemen Hukum dan Keadilan DPP Partai Amanat Nasional (PAN) ketika partai itu baru dibentuk. Karena kebetulan kolega Amien Rais di PPSK (Pusat Pengkajian Studi Kebijakan) ini turut serta membantu tokoh reformasi tersebut dalam membidani kelahiran PAN. Tetapi ketika diharuskan memilih antara dunia kampus dan dunia politik, ayah tiga anak ini memilih mundur dari kepengurusan PAN dan kembali menekuni profesinya semula. Apa sebab? Kepada wartawan Sahid, Saiful Hamiwanto, dan koresponden di Yogyakarta, Fauzan, pria energik ini mengaku merasa sulit menyesuaikan diri dengan dunia kepartaian. Karena menurut Mahfud, di dalam partai terdapat sejumlah kontradiksi yang sulit ia terima. “Partai politik itu kan dibangun dengan cita-cita, platform, dan visi yang ideal. Tapi di sisi lain harus merangkul orang sebanyak mungkin, sehingga orang-orang yang nggak karu-karuan pun bisa masuk partai kita,” kilah suami Z. Nihayati ini. Karena itu Mahfud kemudian memutuskan lebih baik dia berada di luar partai saja. “Cukup jadi simpatisan saja,” tegasnya. Wawancara berlangsung akrab dalam tiga kali pertemuan. Dua kali, ba'da Ashar dan Subuh, di rumahnya yang tak terlalu besar di perumahan Sambilegi Baru, tak jauh dari Bandar Udara Adi Sucipto Yogyakarta. Satu kali di kampus UII Yogyakarta di sela-sela pertemuannya dengan Meneg HAM Hasballah M Saad. Berikut ini petikannya: Menurut Anda, benarkah kita sekarang sedang memasuki Indonesia Baru? Sebenarnya banyak orang yang tidak setuju dengan istilah Indonesia Baru, karena seolah-olah yang dulu adalah Indonesia lama. Tetapi saya mengerti, maksudnya adalah Indonesia yang lebih baik. Ada konsep yang menarik dari pemerintahan Habibie tentang masyarakat madani. Saya kira yang dimaksud dengan Indonesia Baru itu ya masyarakat madani itu. Tapi oleh Gus Dur diplesetkan menjadi masyarakat madani. Dalam bahasa Jawa, madani itu artinya memaki-maki. Konsep masyarakat madani itu kan bagus, di mana peran masyarakat kuat dan pemerintah terkontrol. Dominannya peran Gus Dur tampaknya agak menyurutkan upaya menuju masyarakat madani itu ya? Saya kira kalau Habibie atau Megawati yang jadi presiden, kondisinya justru akan lebih parah. Anda memahami masyarakat madani jangan hanya melihat pada peran kepresidenan, karena masyarakat madani itu juga tampak pada tumbuhnya kekuatan-kekuatan masyarakat secara lebih otonom. Sekarang itu kan sedang tumbuh. Meskipun Gus Dur tampak sewenang-wenang, tapi sebenarnya Gus Dur memancing tumbuhnya itu. Jadi ada semacam blessing in disguissed (keuntungan yang tidak disangka-sangka) juga dari sikap-sikap Gus Dur yang otoriter itu. Artinya, dengan demikian merangsang tumbuhnya kekuatan-kekuatan masyarakat untuk bersuara dan bergerak. Sementara Gus Dur sendiri tidak pernah melakukan tindakan yang menindas. Dia hanya bersikap semau gue saja. Itu harus diakui. Sebagian orang menilai, Gus Dur mulai otoriter seperti Soeharto, sementara lembaga legislatif masih belum kuat. Bagaimana Anda melihat hal ini? Seperti sudah saya katakan, potensi seperti itu memang ada pada pemerintahan Gus Dur. Tapi dia kan tidak hegemonik. Dia memang seenaknya sendiri, otonom. Tapi saya lihat dia tidak sewenang-wenang dalam kebijakannya. Dia membuat banyak pernyataan, tapi dia mau memberi ruang bebas kepada pers dan dia juga mau datang ke DPR; suatu yang tidak pernah terjadi pada masa sebelumnya. Meski tidak dia lanjuti, tapi yang penting dia sudah mau untuk menyampaikan. Ini sebuah konvensi yang bagus. Dan anggota DPR pun sekarang kan sudah mulai berani bicara. Nah, amandemen yang akan datang harus menghasilkan mekanisme yang memungkinkan presiden tidak boleh berkata 'prek', namun harus berkata 'ya' kepada DPR. Tetapi juga harus dijaga agar presiden tidak mudah dijatuhkan, karena kalau itu yang terjadi akan sangat melelahkan. Sebentar-sebentar pemilihan umum. Sebelum pasal yang mengatur itu diamandemen, mekanisme itu sangat tergantung pada niat baik pemerintah ya? Memang,
karena sistem konstitusi kita masih begitu. Kalau dulu Habibie sangat mendengar
kata DPR dan publik, barangkali bukan karena ikhlas ingin membangun demokrasi.
Tapi situasinya memaksa demikian. Nah, pada Gus Dur dukungan dari bawah
sangat kuat, sehingga dia berani berkata 'prek' seperti itu.
Barangkali
Gus Dur telah terlalu percaya diri?
Ya
di samping terlalu percaya diri, dukungan dari bawah memang kuat. Dia sadar
betul atas kekuatannya itu, sehingga dia tahu tidak akan ada kekuatan yang
berani gegabah mendongkel dia.
Dia
tahu bahwa setiap pernyataannya akan memunculkan reaksi, tapi dia pun tahu
reaksinya paling jauh sekian, tidak sampai menjatuhkan dia. Oleh karena
itu dia enak saja mengejek Poros Tengah, karena dia tahu Poros Tengah tidak
akan menjatuhkan dia. Poros Tengah akan rugi kalau menjatuhkan Gus Dur,
hahaha....
Kalau
posisi legislatif lemah seperti itu, bagaimana cara mengingatkan Gus Dur?
Saya
berharap banyak kepada pers.
Jadi
Anda pun belum bisa berharap terlalu banyak kepada parlemen sekarang?
Berharap
juga. Tapi untuk berharap penuh kepada parlemen dalam konfigurasi seperti
sekarang, masih terlalu cepat. Kemajuan parlemen sekarang sudah jauh dibandingkan
yang dulu. Tapi kalau berharap bahwa parlemen bisa mengubah Gus Dur dengan
cepat, itu terlalu awal. Kita masih harus menunggu cukup lama. Tapi komponen-komponen
demokrasi itu kan bukan hanya parlemen. Anda (pers -red) juga sebenarnya
komponen yang kuat. Gus Dur kan banyak sekali mengubah kebijakan karena
pers juga. Karena itu pers harus kritis dan objektif. Anda sudah lama dekat Amien Rais. Dulu Amien cenderung bergaya fundamentalis, tetapi sekarang tidak. Apakah dia sudah berubah? Ya, saya melihat ada perubahan pada dirinya. Ketika ICMI baru terbentuk, Amien Rais bergerak di tataran struktural. Tapi perlu diingat, situasi saat itu memang menuntut tokoh Islam berbuat demikian. Karena waktu itu Islam formal dipinggirkan. Tetapi setelah Orba runtuh, hal itu tidak perlu lagi. Karena itu kemudian Amien Rais berubah menjadi orang pluralis dan inklusif. Itu perubahan strategis, bukan prinsip. Prinsip perjuangannya tetap. Pada tabligh akbar di Monas, Amien menyatakan dukungannya terhadap penyatuan partai Islam, tapi ia pun menegaskan PAN tetap sebagai partai inklusif. Kok bisa begitu? Sebagai seorang demokrat dan tokoh Islam dia tidak boleh keberatan terhadap ide itu (penyatuan partai-partai Islam -red). Tapi kan dia boleh punya ijtihad sendiri dengan PAN-nya. Berkaitan dengan pro-kontra tentang amandemen pasal 8 UUD. Bagaimana pendapat Anda? Pro-kontra
itu lebih kental aspek politisnya ketimbang aspek ketatanegaraannya. Dulu
PDIP menolak pasal 8 karena menolak Habibie. Tetapi sekarang mereka mempertahankannya.
Poros
Tengah ingin mengamandemen pasal 8 lebih pada pertimbangan jangka pendek.
Padahal lima tahun mendatang mungkin presidennya Megawati, wapresnya Amien
Rais. Kalau Megawati berhalangan tetap, sementara pasal 8 sudah terlanjur
diamandemen, Amien Rais tidak otomatis jadi presiden. Karena itu marilah
kita berpikir jangka panjang dan rasional.
Dalam
perjuangan dikenal strategi `perjuangan dari dalam' seperti yang dilakukan
ICMI pada pemerintahan Soeharto. Tapi risikonya, ICMI ikut `tergusur' bersamaan
jatuhnya kekuasaan Orba. Pendapat Anda tentang strategi ini?
Masalahnya
strategi itu dilakukan sudah terlalu akhir. Jadi agaknya terlambat ijtihad
itu. Sehingga sekarang peran besarnya sudah habis.
Tapi
kenapa tidak dibangun lagi, berjuang dari dalam?
Keberhasilan
ICMI itu justru karena kehancuran dia bersama Orde Baru. Coba kalau ICMI
tidak ikut membusukkan dari dalam, barangkali Pak Harto masih berjaya sampai
sekarang. Jadi kita harus berterima kasih pada ICMI. Dia memang jadi korban,
karena ibarat pohon rubuh, dia ikut tertimpa.
Pembusukan
yang dilakukan ICMI seperti apa?
Dia
berjuang dari dalam dan mulai mendobrak hal-hal yang tidak benar sehingga
terjadi pertentangan-pertentangan antar kekuatan kotor di kelompok Orde
Baru. Akibatnya pemerintah menjadi rapuh lalu jatuh, dan ICMI-nya ikut
jatuh. Tapi sudah banyak yang siap di belakang ICMI yang kemudian bermunculan.
Jadi
ibarat orang berperang, ICMI itu syuhada.
Bukankah
ICMI belum mati?
Sekarang
memang belum mati betul. Tapi kekuasaannya sudah habis.
Dengan
memanfaatkan era keterbukaan setelah kejatuhan Orba jatuh, ada tuntutan
masyarakat agar komunisme dibolehkan hidup kembali dengan cara mencabut
Tap MPR yang melarangya. Bagaimana pendapat Anda?
Dalam
demokrasi memang berbagai paham dibolehkan hidup. Tetapi paham yang membahayakan
demokrasi itu sendiri boleh dilarang. Jadi secara akademis paham komunisme
tidak ada masalah untuk mempelajarinya, tetapi kalau komunisme sudah menjadi
sebuah gerakan sosial maka harus kita tolak.
Sebagai
seorang Muslim, apa komitmen Anda terhadap perkembangan Islam di tanah
air?
Saya
ingin di Indonesia ada lembaga pendidikan Islam yang kuat, tempat persemaian
generasi muda Islam. Dari sejarah kita ketahui, ada tokoh pembaharu Islam,
yakni Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Jamaluddin memilih jalur politik, sedangkan Abduh memilh jalur pendidikan. Dua-duanya baik. Tapi
saya lebih tertarik pada jalur pendidikan. Saya ingin agar lembaga pendidikan
Islam itu berwibawa.
Tapi kita lihat kondisi sekarang masih banyak lembaga pendidikan Islam yang
tertinggal?
Ya,
karena kita mayoritas, wajar saja sekarang masih banyak lembaga pendidikan
Islam yang masih terbelakang. Tapi insya Allah lambat laun akan semakin
baik.
Sebagai pakar tata negara, bagaimana Anda melihat perkembangan masalah ketatanegaraan
dalam perspektif Islam?
Di
kampus-kampus ada studi tentang sistem tata negara dalam perspektif Islam.
Meski dalam sumber primer ajaran Islam yakni al-Qur'an dan al-Hadits tidak
banyak, tapi ada sumber lain berupa ijtihad yang bersumber dari kitab-kitab
klasik. Misalnya di IAIN itu dikenal pelajaran Fiqh Siyasah (Fiqh Politik).
Tapi
kebanyakan teori ketatanegaraan kita masih bersumber dari ilmuwan Barat,
sedikit sekali bersumber dari Islam?
Saya
termasuk yang berpendapat bahwa Islam tidak mengatur urusan negara secara
rigid. Sebab kalau ada aturan rigid, tentu semua negara Islam sama bentuknya.
Kita lihat, Islam menerima berbagai bentuk, apakah itu kerajaan, republik,
dan sebagainya. Yang penting ada imam yang adil, demokrasi, dan penegakan
hukum.
Sebagian
orang berpendapat bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi tertua di dunia,
tetapi kabarnya Anda tidak sepakat. Kenapa?
Piagam
Madinah adalah sebuah perjanjian, bukan konstitusi. Karena konstitusi itu
harus ada pemerintahan yang jelas dan ada batas-batas kekuasaannya.
Tetapi
sebagai sebuah perjanjian, Piagam Madinah itu contoh yang baik tentang
bagaimana hidup di tengah masyarakat yang majemuk (plural). Jadi, seperti
waktu itu, tidak harus berbentuk negara Islam tetapi yang penting bisa
menaungi semua. Nah, jika masyarakat Madinah yang majemuk itu mau tunduk
pada Piagam Madinah, kenapa kita di sini sulit?
Anda
percaya pada gagasan kebangkitan Islam kedua?
Saya
percaya, tetapi tidak dalam arti politik, melainkan dalam arti masyarakat
atau dalam arti wacana, yang ditunjukkan dengan munculnya pemikir-pemikir
atau cendekiawan Islam. Misalnya, kalau dulu orang enggan mengakui sebagai
cendekiawan Muslim, sekarang tidak lagi.
Cendekiawan
Muslim sudah mulai bangkit. Bagaimana Anda lihat dari kalangan ulamanya?
Sebenarnya
cendekiawan itu ya ulama. Tapi kalau yang Anda maksud ulama itu ahli fiqh,
menurut saya, kajian mereka itu masih terlalu klasik. Padahal di masa kini
produk klasik itu harus dikombinasikan dengan ilmu-ilmu kontemporer. Maka
dari itulah di pesantren-pesantren mulai didirikan pula pendidikan umum
modern seperti universitas.
Di
zaman sekarang ijtihad tidak bisa lagi dilakukan perseorangan, tetapi harus
secara jama'i. Ijtihad harus dibuat oleh sebuah lembaga seperti
Majlis Tarjih di Muhammadiyah atau Bahtsul Matsail di NU. Misalnya saja
masalah kloning, kan tidak bisa diputuskan oleh ahli fiqh saja, tapi juga
oleh ahli kedokteran, ahli biologi, dan sebagainya.
“Sekolah
saya cenderung zig-zag,” aku Mahfud. Maksudnya, rangkaian pendidikannya
merupakan kombinasi dari pendidikan agama dan pendidikan umum.
Misalnya,
sejak SD penulis berbagai buku hukum dan politik ini merangkap sekolah
di madrasah ibtidaiyah di daerah kelahirannya, Sampang, Madura.
Mahfud
juga sempat mengecap pendidikan pesantren sebelum kemudian masuk Pendidikan
Guru Agama -- setingkat tsanawiyah -- 4 tahun. Waktu kecil ia memang bercita-cita
jadi guru agama, sebagaimana harapan orang tua di kampungnya.
Tetapi
takdir telah mengantarkannya hijrah ke Yogyakarta menempuh Pendidikan Hakim
Islam Negeri (PHIN). Di PHIN itulah dia mulai masuk ke pendidikan Muhammadiyah.
“Dan saya terpesona dengan pengembangan keilmuan Muhammadiyah yang begitu
rasional, penuh debat,” ungkap Mahfud penuh bersemangat.
Dari
situlah warna tradisional NU dan Muhammadiyah bergabung dalam diri Mahfud.
Meski secara formal organisatoris ia tidak masuk keduanya. “Tetapi juga
tidak di luar keduanya,” ia buru-buru menambahkan. Maka jadilah Mahfud
sosok paduan (konvergensi) tradisi NU dan Muhammadiyah. “Alhamdulillah,
saya jadi tahu dalil dari kedua belah pihak itu.”
Selesai
dari PHIN ia berencana melanjutkan sekolah ke PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu
al-Qur'an) di Mesir. Sementara menunggu persetujuan beasiswa, ia coba-coba
kuliah di Fakultas Hukum UII dan Fakultas Sastra (Jurusan Sastra Arab)
UGM. Tapi rupanya keterusan di FH UII, telanjur betah di fakultas itu.
Sedangkan
kuliahnya di Fakutas Sastra tidak berlanjut. “Tanpa mengurangi rasa hormat
saya pada jurusan itu, saya merasa ilmu bahasa Arab yang saya peroleh di
jurusan itu tidak lebih dari yang saya dapat ketika di pesantren dulu,”
kilahnya. Di samping itu ada faktor lain, yakni kesibukannya sebagai pemimpin
umum majalah kampus UII Muhibah yang diminati banyak mahasiswa saat
itu dan sebagai ketua komisariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) UII.
Berkaitan
dengan HMI, ada tradisi unik di UII. Karena konon HMI itu lahir di UII
Yogyakarta -- melalui Lafran Pane -- maka ada tradisi cuma HMI saja yang
hidup di UII. Ormas mahasiswa Islam lain seperti IMM dan PMII tidak hidup
di sini.
Setelah
menjadi sarjana hukum, Mahfud sempat kecewa berat dengan bidang yang ditekuninya
itu. Karena ia melihat tiadanya supremasi hukum di negeri ini. Maka ketika
mendapat kesempatan melanjutkan studi pascasarjana di UGM ia banting stir
ke program studi ilmu politik. Di situlah Mahfud memahami, ternyata bidang
hukum sangat berkaitan dengan problem politik suatu negara.
Yusril
Ihza Mahendra berpendapat, jurusan Hukum Tata Negara itu kering. Kenapa
Anda memilihnya?
Saya
masuk Fakultas Hukum UII ketika sedang situasi demo, sementara saya pun
terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik itu. Maka, saya pikir waktu itu,
jurusan yang cocok dengan aktivitas saya adalah jurusan Tata Negara.
Selain
itu, saya pun mulai berkeinginan menjadi pengajar. Padahal menjadi pengajar
tidak ada kering dan basah. Jadi pilihan saya waktu itu tidak mempertimbangkan
kering atau basah.
Itu
keinginan sejak kecil?
Waktu
kecil cita-cita saya sederhana saja, yakni ingin jadi guru ngaji. Saya
lahir di desa kecil di Madura. Anda tahu, Madura itu kan seperti Aceh,
sejak kecil orang diajar agama. Kami dulu biasa tidur di surau.
Setelah
kuliah, saya ingin jadi dosen, karena saya suka sekali melihat dosen-dosen
yang kreatif dan suka berdebat. Makanya saya sering bolos bila yang mengajar
dosen yang tidak kreatif.
Sajak
kapan Anda punya hobi menulis?
Sejak
kuliah. Waktu itu saya ingin agar nama saya masuk di koran sebagai penulis.
Saya mulai dari tulisan kecil satu kolom tentang kegiatan keagamaan di
sebuah masjid desa di Yogyakarta. Waktu tulisan saya dimuat, senangnya
bukan main.
Sekarang
saya terbiasa menulis untuk artikel di koran sekurang-kurangnya dua artikel
dan satu makalah seminggunya. Dulu sewaktu baru mulai, untuk satu artikel
saja harus menunggu berbulan-bulan, menunggu momentum datang. Jawa
Pos dan Republika misalnya, kalau minta naskah lewat telepon
sore hari, malamnya sudah bisa saya kirim.
Saya
punya waktu rutin menulis setiap ba'da Shubuh, dari pukul 06.00-08.00.
Saya harus aktif membiasakan demikian. Sebab jika tidak, bisa tumpul kembali.
Anda
juga melatih anak-anak untuk menulis?
Sudah
saya mulai, terutama kepada yang sulung. Saya minta kepadanya untuk mulai
belajar menulis. Alhamdulillah, ternyata ia punya bakat juga, karena itu
saya beri kesempatan ia berlatih dengan komputer.
Problem
kesulitan menulis kan kerap juga dialami para mahasiswa dan sarjana, termasuk
dosen. Perlukah suatu program khusus untuk melatih mereka?
Anda
bisa baca pada koran hari ini (Mahfud memperlihatkan koran Kedaulatan
Rakyat), UII sedang mengembangkan program cuti akademik untuk para
dosen guna meningkatkan kemampuan mereka dalam menulis. Namanya program
sabatical leave.
Saya
lihat di Indonesia ini para dosen pintar ngomong tapi tidak
pintar menulis. Padahal seperti semboyan bahasa Arab, dosen itu harus fasihul
kalam (pandai bicara) dan fasihul qalam (pandai menulis). Nah,
dosen kita hanya bisa fasihul kalam, pandai ngomong tapi
disuruh menulis dua lembar saja hasilnya jelek.
Jadi
dengan program <sabatical leave itu setiap dosen yang sudah
mengajar lima tahun berturut-turut diberi kesempatan oleh UII untuk pergi
ke luar negeri atau ke luar daerah selama enam bulan untuk menulis sebuah
karya ilmiah, baik dalam bentuk text book, studi riset, atau orasi
pengukuhan guru besar. UII akan membiayai dengan standar internasional.
Ini
orisinal ide Anda?
Ide
ini kami adopsi dari Malaysia. Di sana program itu diwajibkan, sedangkan
di UII ditawarkan. Siapa yang berminat kami persilakan mengajukan proposal.
Dananya dari mana?
Sebagian
besar dana dari mahasiswa. UII punya mahasiswa 23.000 dengan SPP rata-rata
Rp 2,2 juta. Selain itu, dari mahasiswa baru ada sumbangan yang namanya
uang Tri Dharma yang disumbangkan berdasar kesukarelaan. Kalau dirata-rata,
sumbangan mahasiswa baru untuk tahap pertama itu sekitar Rp 4,5 juta. Sedangkan
mahasiswa baru setiap tahun ada sekitar 4.000 orang.
Kalau
begitu hanya anak orang kaya saja yang bisa masuk UII?
Ya,
ini memang problem besar. Sebab dilemanya, kalau kita ingin pendidikan
bagus memang harus mahal, sehingga yang ekonomi lemah tidak berani masuk.
Karena itu kita berbagi tugas. Ada perguruan tinggi yang menggarap mereka
yang ekonomi lemah, kami menggarap yang kelas menengah ke atas. Tetapi
kami menyediakan 10% kursi untuk mereka yang ekonomi lemah dengan memberikan
pembebasan kuliah plus uang buku setiap tahunnya.
Dari
perkawinannya dengan Z. Nihayati yang berprofesi sebagai guru SMU, Mahfud
dikarunia tiga orang anak: Ikhwan Zein (14), Vina Amalia (10), dan Royhan
Akbar (8,5). Setiap hari Mahfud menyempatkan diri untuk mengantar atau
menjemput sekolah mereka di SD Muhammadiyah.
Yang
menarik, meski ia seorang pakar hukum, Mahfud mengaku sulit untuk benar-benar
berlaku adil terhadap anak-anaknya, karena ia cenderung lebih sering membela
yang kecil jika terjadi pertengkaran antar saudara. “Saya tidak tahu apakah
ini memenuhi rasa keadilan atau tidak, karena kalau ada pertengkaran antar
anak, saya selalu membela yang lebih kecil, meskipun yang kecil itu salah,
hahaha...”
Sikap
demikian terjadi karena sudah jadi nalurinya untuk berpihak kepada `orang
kecil'. “Kalau ada orang besar berbuat sewenang-wenang terhadap orang kecil,
saya ikut sakit hati,” akunya.
Di
antara anak Anda ada yang bersekolah di pesantren?
Tidak.
Tidak seperti saya dulu. Anak-anak saya semuanya sekolah di SD Muhammadiyah
karena situasinya sudah berbeda.
Tapi
di samping sekolah, anak saya belajar agama dan belajar membaca al-Qur'an
di rumah dan di TPA dekat rumah. Kemudian setiap ba'da shalat Maghrib saya
simak bacaan dan hafalan mereka. Jadi seperti di pesantren, mereka setor
kepada saya.
Anda kurang menaruh kepercayaan kepada pesantren untuk masa depan anak Anda?
Sampai
saat ini belum. Pesantren belum bisa memberi jawaban terhadap tantangan
pendidikan sekarang. Barangkali pesantren bisa membekali untuk tahapan basic (dasar) hingga SLTP. Tapi untuk tahap sesudah itu — dengan
segala hormat — pesantren kalau kondisinya seperti sekarang, tidak bisa
diandalkan untuk mengantarkan anak menyongsong masa depan yang semakin
berat.
Kalau
begitu pesantren juga belum bisa diandalkan untuk menjadi pilar kebangkitan
Islam dong?
Ya,
pesantren belum cukup siap untuk itu. Untuk menjadi pembimbing masyarakat
di sekitarnya, perannya telah cukup efektif. Tapi untuk mencetak para profesional,
sampai sekarang belum ada yang bisa diharapkan, termasuk pesantren-pesantren
modern.
Anda
kan hobi berdialog dan berdebat. Kebiasaan kritis ini Anda wariskan juga
ke anak-anak Anda?
Ya,
jelas. Mereka sering saya ajak berdebat. Dan mereka saya persilakan langganan
koran dan majalah kesukaan mereka masing-masing.
Soal
pendidikan agama pun saya kontrol betul, termasuk shalat dan mengajinya.
Saya juga memberinya buku-buku agama. Sebab meski mereka sekolah di sekolah
Muhammadiyah, porsi yang didapatkan masih kurang juga. Misalnya, saya berikan
buku Kunci Ibadah. Setelah sebulan saya uji. Kalau belum
menguasai, saya suruh baca lagi.
Saya
harus begitu karena saya tidak bisa mengirim mereka ke pesantren. Terus
terang — mungkin saya terlalu sentimentil — saya membayangkan anak saya di
pesantren tidak cocok, karena biasanya hidup di pesantren tidak begitu
teratur, begitu juga makanan dan kesehatannya. Jadi saya mendidik anak
dengan cara demikian saja.
Materi-materi
pendidikan agama itu Anda sampaikan dengan metoda diskusi juga?
Dalam
banyak hal kami sering berdiskusi. Tapi untuk pelajaran agama diskusinya
belum terlalu tajam, karena mereka lebih banyak bertanya.
Wawancara
diakhiri ketika sinar mentari mulai menerobos masuk jendela ruang tamu
tempat kami berbincang. Sahid pun pamit setelah menikmati suguhan
kue dan teh hangat buatan istrinya yang ramah.
|