back | |
Serambi MADURA |
https://zkarnain.tripod.com/ Internet Based Virtual Life-long Learning Environment for Maintaining Professional Vitality |
Nomor 23 / Tahun I 2-8 Agustus 1999 | Ali@nsi |
Amien Serius Calonkan Gus Dur
Hanya gara-gara gandeng tangan dua orang tokoh, Gus Dur dan Amien Rais, peta politik sesudah pemilu benar-benar berubah. Poros tengah yang dibentuk kedua tokoh itu membuat rikuh beberapa pihak penting, termasuk PDI-Perjuangan pemenang Pemilu 1999. Sampai mereka harus mengatur strategi khusus menghadang kelompok yang juga melibatkan partai-partai Islam itu. Bagaimana gambaran sesungguhnya prospek baru yang secara tak resmi mencalonkan Gus Dur jadi presiden ini? Berikut ini wawancara dengan Dr Mohammad Mahfud, pengamat politik UII Yogyakarta, yang cukup dekat dengan Amien Rais ini.
Katanya kelompok politik poros tengah semakin menguat, tapi perpecahan semakin jelas di tubuh PKB. Bagaimana Anda melihatnya? Saya kira itu akan menguat kok dan semakin mendapat sambutan. Dan saya melihat itu bagus. Itu penting. Anda harus ingat kultur NU sendiri cukup unik. Dan Gus dur sendiri sangat berpengaruh sekali. Kalau ia sudah bilang ia maka semuanya akan menerimanya. Walaupun sekarang Matori dan Muhaimin teriak mendukung PDI-P tapi kalau nanti pernyataannya sudah final dan lebih tegas tidak ada yang berkutik. Dan kalau nanti masih ngotot juga orangnya nanti di MPR tidak akan Matorian. Mereka pasti akan ikut Gus Dur itu. Bagusnya itu bagaimana? Di mana itu saya katakan penting, karena faksi poros tengah ini menawarkan agenda reformasi. Sebab PDI-P dan Golkar sama-sama tidak reformis itu. Maka harus ditekan kekuatan poros tengah seperti itu. Siapa pun yang ingin didukung oleh banyak orang maka ia harus menyetujui rencana-rencana reformasi yang lebih mendasar, supaya tidak kabur. Seperti yang selama ini diperlihatkan oleh PDI-P yang nggak jelas reformasinya. Maka kalau dia tidak mau mengagendakan reformasi semacam amandemen, tentang penegasan peran sospol kekaryaan ABRI ini atau penyelesaian kasus-kasus hukum oleh pemerintah selama ini tentu poros tengah ini bisa menawarkan kontrak reformasi ini kepada pihak-pihak lain. Misalnya kepada Habibie. Habibie bisa mendapat dukungan kalau mempunyai rekomitmen yang jelas kepada reformasi. Nah, persoalannya dari dua calon ini (Habibie dan Mega) nampak tidak menjanjikan apa-apa itu. Habibie itu tidak sungguh-sungguh menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum, nampaknya main kucing-kucingan aja dengan kita. Maka jika dia mau jadi presiden lagi tentu harus sungguh-sungguh melakukannya. Termasuk misalnya dalam pengangkatan orang-orang. Kalau orang-orang itu pernah diduga melakukan korupsi tetapi tidak diadili karena dilindungi oleh penguasa, ya masalah dong. Itu tidak usah dilibatkan lagi dalam pemerintahan. Lalu jika kontrak-kotrak politik seperti itu tidak mau disetujui maka poros tengah bisa mengajukan calon presiden sendiri. Dan itu kalau diadu tidak akan kalah bahkan cukup seimbang. Kubu Mega dan Habibie kan masih sangat kuat, apa yang bisa diandalkan poros tengah? Nggak juga. Anda lihat selama tiga hari ini kekuatan Mega dan kekuatan Habibie sekarang ini sudah mulai ditandingi oleh kekuatan poros tengah. Lihat saja sambutan masyarakat cukup bagus itu terhadap poros tengah. Dan itu begini, untuk menghindari pembodohan masyarakat. Kan selama ini masyarakat dibodohkan dengan opini-opini yang tidak benar, seakan-akan yang menang pemilu itu mendapat suara terbanyak lalu menjadi presiden. Itu kan sangat tidak mendidik masyarakat. Konstitusinya kan tidak seperti itu. Jadi diselesaikan di MPR apalagi menang cuma 30% lalu 70% kalau diberi pilihan belum tentu setuju untuk memilih PDI-P. Dan ini yang harus disadarkan kepada masyarakat. Bahwa demokrasi itu ada aturan-aturannya, tidak sekedar menang lalu jadi. Itu kalau fair berdemokrasi. Apakah Amien Rais bersungguh-sungguh mendukung pencalonan Gus Dur? Itu kalau dari sudut Amien sendiri saya kira dan saya tahu dia bersungguh-sungguh. Artinya dalam perhitungan realistis. Karena Amien sendiri itu untuk menjadi presiden kira-kira benturan yang keras akan datang dari PDI-P dan TNI. Kemudian kalau itu betul maka benturannya dengan PDI-P tidak akan terlalu berat, kemudian dengan TNI sendiri Gus dur tidak akan terlalu sulit. Jadi Amien itu cukup realistis. Dan sudah bertemu sungguh-sungguh dan bukan sekadar manuver di mana Amien mencalonkan Gus dur itu pura-pura nanti dengan kesehatan Gus dur yang semakin menurun maka dia tidak akan diterima maka nanti Amien yang akan muncul. Apakah faktor Gus Dur tidak mengganjal di hati partai-partai Islam? Ya memang untuk partai-partai Islam sendiri memang tidak ideal. Tetapi kalau berpikir luas yang paling tinggi tingkat akseptabilitasnya (penerimaannya) itu kan Gus Dur. Karena ini politik, sedang dalam politik itu tidak bisa main mutlak-mutlakan. Maka bila Gus Dur naik benturannya akan bisa dikurangi atau diatasi daripada calon lain yang terlalu eksklusif. Ini kalau kita melihat dari pandangan peta-peta politik. Kalau dari kita sendiri calon ideal memang bukan Gus Dur, tapi itu secara politik yang paling realistis. Jika benar Gus Dur naik. Bagaimana sistem pemerintahan yang baik agar tidak terbawa manuver Gus Dur yang aneh-aneh itu? Ya itu tinggal bagaimana nanti kabinetnya dibentuk, lalu DPRnya diperkuat. Dari pandangan aspirasi umat sendiri saya kira ada dilema yang besar. Umat Islam yang mendukung Habibie susahnya selalu di identikkan diri dengan orang Orde Baru yang tidak serius menyelesaikan kasus. Sedangkan kalau umat Islam itu mendukung PDI-P maka lebih jelek lagi bagi kepentingan umat. Karena sejelek-jeleknya Gus Dur itu masih lebih baik daripada Megawati pun tidak dari pandangan politik umat. Utusan Golongan dan Daerah bisa menghalangi laju poros tengah? Utusan Daerah dan Golongan itu belum tentu ke Golkar dan ke PDI-P. Begini menghitung Utusan Daerah dan Golongan itu menunggu tata tertib DPRD II masing-masing daerah. Kalau masing-masing daerah itu menggunakan sistem paket maka pemenang pemilu itu akan mengambil voting sesuai partai pemenang di daerah masing-masing. Tapi kalau memerinci menggunakan sistem alternatif independen maka perolehannya akan proporsional lagi. Artinya setiap partai akan memperoleh masing-masing sesuai dengan hasil yang diperoleh secara nasional misal PAN dapat 8 % maka ia juga akan dapat 8 % begitu pula partai yang lain. Ini tergantung dari tata tertibnya. Sehingga setiap daerah bisa berbeda-beda. Sekali lagi ingat jika nanti proses pemilihan menggunakan mekanisme one man one vote tertutup akan banyak sekali orang Golkar dan PDI-P yang akan memilih poros tengah karena resiko kemunculan konfliknya lebih kecil. Kemunculan kelompok baru ini bukannya malah akan memecah suara Islam di MPR? Memang itu risiko yang akan diterima. Akan tetapi alternatif calon sendiri itu kalau kontrak-kontrak politik yang disodorkan Habibie itu gagal. Kalau Habibie itu tidak mau melakukan kontrak-kontrak politik tersebut maka demi perjuangan reformasi ya sudah. Karena umat Islam sendiri juga harus punya sikap terhadap reformasi. Tetapi yang saya bayangkan, poros tengah ini akan berhasil mungkin karena Habibie mampu untuk membersihkan dari orang-orang yang bermasalah. Tetapi karena dalam tim suksesnya sendiri ia melibatkan orang-orang yang dulunya korupsi, itu kan pertanda akan bergabung lagi. Dan kalau orang-orang seperti itu masih di pakai juga saya kira umat Islam malu juga kalau punya pemimpin yang seperti itu lagi. Terpaksa bertanding itu dan memang akan mengurangi suara tapi saya yakin suara poros tengah cukup besar. Artinya cukup bisa diandalkan sehingga Golkar akan berpikir ulang jika akan terus mencalonkan Habibie. Beberapa kalangan menganggap ide poros tengah itu adalah upaya menjegal Megawati serta antidemokrasi? Antidemokrasinya di mana? Saya sangat tidak sependapat dengan pernyataan Mochtar Pabottingi yang mengatakan poros tengah itu sebagai ide untuk menjegal Megawati bahkan dia menyebut sebagai anti demokrasi. Antidemokrasinya di mana? Kenapa tidak dibalik saja, apakah Megawati tidak menghalangi kelompok lain jika kelompok itu tidak mencalonkan dia? Dalam wacana demokrasi, koalisi semacam itu sah-sah saja. Koalisi untuk tidak mencalonkan Megawati jangan diartikan menjegal lho. Saya ini sering kecewa jika ada kelompok tidak mencalonkan Megawati lalu dianggap menjegal. Jadi anda tidak sepedapat? Saya sangat tidak sependapat terhadap Mochtar Pabottinggi itu. Sejauh ini bagaimana Anda melihat respon kubu Habibie terhadap koalisi poros tengah? Saya melihat kubu Habibie dalam arti Golkar sebagai institusi saya melihatnya cukup responsif. Tapi Habibie pribadi rupanya terlalu percaya diri. Seakan-akan tidak mau dengar dia merasa yakin kalau orang akan memilih dia. Benar itu semua kalau tidak ada poros tengah. Tapi jika ada poros tengah dan divoting maka dia akan kalah. Yusril bilang pencalonan presidennya belum final, apakah itu bukan tanda-tanda belum solid? Sekarang dalam proses penggodokan sendiri setiap orang berhak untuk mengajukan pendapatnya. Misalnya Hartono Marjono bila belum tentu Gus Dur kedalam proses. Tetapi jika nanti dalam proses tidak ada pilihan lain tentu akan mengerucut. Apakah simbol-simbol Islam yang mulai rajin digunakan Mega dan kawan-kawan akan efektif mengambil hati umat Islam? Saya kira itu biasa saja. Dan itu tidak terlalu berpengaruh karena sekarang bola saat ini berada di MPR, tidak ada di rakyat. Kalau rakyat mau dikelabui seperti itu bisa. Misalnya dulu menggunakan fatwa oran-orang NU, oke itu bisa pada tingkat rakyat. Tetapi pada tingkat MPR lain lagi tidak bisa menggunakam cara-cara seperti itu tidak akan efektif. Ingat orang datang di MPR itu lebih banyak menggunakan rasionya dibandingkan yang lain dalam masalah-masalah politik bukan pragmatis.
Tanggal 18 Mei, tiga hari sebelum Pak Harto jatuh, kami membuat release dan surat resmi kepada Presiden waktu itu untuk menggunakan kewenangannya membentuk presidium. Tetapi rupanya Pak Harto pintar, dia memilih minta berhenti, sehingga Pasal 8 UUD itu secara otomatis berlaku bagi Habibie. Meskipun beberapa orang mempersoalkan, tetapi kami yang mempelajari hukum tata negara memandang itu adalah jalan yang sah. Tampilnya Habibie dari sudut legitimitas, proses itu legitimate hukum konstitusional, tapi dari sudut legitimasi politik masih jadi persoalan. Barangkali ini yang belum terungkap di media massa. Saya mendapat info ini dari Amien Rais, karena waktu itu hampir setiap minggu saya bertemu Amien Rais dalam forum diskusi terbatas. Pada waktu itu Amien Rais sudah dihubungi oleh pimpinan MPR yang menyatakan, jika sampai hari Senin Pak Harto masih bertahan juga, tidak mau turun, MPR akan mengundang Sidang Istimewa dan akan mengangkat Amien Rais sebagai Presiden dan mengangkat Syarwan Hamid sebagai Wakil Presiden. Itu sudah disepakati. Oleh karena itu Harmoko bisa bersikap tegas, "Kalau hari Senin Soeharto tidak meletakkan jabatan, pimpinan MPR akan memproses persiapan Sidang Istimewa." Nah sampai di situ Soeharto terdesak. Kalau Amien Rais jadi Presiden, lantas dia disidang, habislah dia, karena akan diadili betul. Tetapi dia mau menggunakan kekuatan ABRI. Kan pada waktu itu sudah ada order dari Pak Harto, agar ABRI mengambil tindakan tegas, sebagaimana diakui Wiranto secara terbuka di koran, agar terhadap apapun yang terjadi ABRI harus mengambil tindakan tegas. Siapapun yang melakukan gerakan, pimpinannya harus ditangkap. Tetapi sampai saat itu Wiranto tidak mengambil tindakan itu. Alasannya, kata Wiranto, tidak konstitusional. Tetapi kalau melihat situasi politik ketika itu, menurut saya, karena ABRI ketika itu tidak solid. Dua hari sebelum itu, Prabowo yang mempunyai kekuatan militer sudah menyatakan dia setuju Pak Harto diganti. Waktu itu Prabowo melalui Pak Malik Fajar bisa mengerti jika Pak Harto diganti secara konstitusional, Pak Amien Rais silakan didukung jadi Presiden lewat Sidang Istimewa. "Tetapi posisi Pangab untuk saya," katanya. Jadi dia sudah pesan jabatan. Nah meski Pak Harto sudah memberi perintah demikian, Wiranto tidak mau mengambil risiko. Karena kekuatan Prabowo di militer ketika itu riil. Kalau Wiranto mengadakan gerakan militer, lalu Prabowo mengadakan gerakan kontra militer, bangsa ini. Maka dalam keadaan terdesak begitu, dengan menggunakan nasihat Yusril Ihza Mahendra, Soeharto mengambil jalan minta berhenti saja. Asal jangan sampai dibawa ke Sidang MPR. Karena dengan Sidang MPR yang merupakan sidang pengadilan politik, akan menyusul sidang pengadilan hukum untuknya. Nah itu latar belakang peristiwa yang tidak banyak terungkap di era reformasi ini. Memang waktu itu Amien Rais dan Syarwan Hamid hanya diberi waktu 6 bulan sampai setahun untuk melakukan tindakan-tindakan pemulihan. Tetapi Pak Harto lebih cerdik menghindar, dia pilih jalan berhenti secara sepihak, tanpa perlu memberikan pertanggungjawaban. (shw) * dipetik dari sebuah diskusi terbatas di kampus UI Salemba |