|
KOMPAS
OPINI - Sabtu, 15 Juli 00
Demokrasi Indonesia
Dilema dan Jalan Keluar Atasi Krisis
Oleh Nurcholish Madjid*
DALAM usaha menemukan tapak jalan yang sedekat mungkin kepada
kebenaran untuk langkah-langkah pertama kita beranjak menuju ke
Indonesia Baru, marilah kita sempatkan sejenak menyusur kembali
pertumbuhan kebangsaan dan kenegaraan kita ke masa lampau yang
semoga tidak terlalu jauh.
Kita mulai dengan sedikit menelusuri tumbuhnya konsep
"Indonesia". Sebenarnya, perkataan "Indonesia" adalah suatu
peristilahan antropologi, bersama "Melanesia", "Mikronesia", dan
"Polinesia". Mula-mula agaknya dimaksudkan sebagai designasi kawasan
dengan ciri utama budaya Melayu, perkataan "Indonesia" kemudian
"dipinjam" (atau "dibajak"?) untuk memberi designasi hanya kepada
kawasan Hindia Belanda semata.
Para pendiri negara kita dengan begitu menunjukkan pandangan
mereka yang jauh ke depan. Sebab dengan sebutan "Indonesia", dan
bukan "Hindia Belanda", mereka mengedepankan konsep kemerdekaan dan
kedaulatan secara cukup dini. Ditambah lagi dengan berbagai wawasan
tentang negara modern yang mereka serap melalui pendidikan Belanda,
"Indonesia" melambangkan suatu imajinasi, angan-angan dan cita-cita
terbentuknya sebuah negara kebangsaan modern (modern nation
state), yaitu suatu negara yang dibentuk dan didirikan untuk
semua anggota bangsa atau warga negara, bukan untuk kepentingan raja
penguasa.
Dari sudut ini, negara kebangsaan adalah lawan negara kerajaan,
khususnya kerajaan mutlak atau monarki absolut dari zaman pramodern.
Karena itu modern nation state merupakan konsistensi wawasan
republicanism, suatu wawasan bahwa negara berkewajiban
menciptakan kesejahteraan seluruh bangsa, suatu wawasan yang dikenal
dalam khazanah budaya Islam sebagai al-mashlahat al-'ammah,
"kebaikan umum", untuk semua tanpa kecuali dan tidak mengenal
diskriminasi.
Sebagai angan-angan dan imajinasi, "Indonesia" terwujud mula
pertama dengan menjadikan agregat "Hindia Belanda" sebagai pangkal
tolak. Dalam kenyataan kerasnya, apa yang disebut "Hindia Belanda"
adalah sekumpulan gugusan pulau-pulau besar-kecil yang jumlahnya
mencapai belasan ribu, dengan penghuni yang terdiri dari berbagai
pengelompokan etnis, bahasa dan budaya yang sangat beraneka-ragam.
Oleh karena itu angan-angan tentang "Indonesia" memerlukan prasarana
sosial-budaya yang mampu mempersatukan (bukan "menyatukan") berbagai
ragam etnis, bahasa dan budaya itu, guna mendukung pelaksanaan ide
dasarnya, yaitu terbentuknya modern nation state, negara
kebangsaan modern, yang bercirikan egalitarianisme, keadilan,
kebebasan dan keterbukaan.
Para pelopor gagasan "Indonesia" menemukan pada bahasa Melayu
ciri-ciri utama yang mereka kehendaki tersebut. "Penemuan" yang
terjadi (1928) itu sebenarnya bukanlah kejadian mendadak dan
mengherankan. Sebab sudah sejak berabad-abad bahasa Melayu telah
menjadi lingua franca Asia Tenggara. Bahasa yang prototipenya
berkembang di zaman Sriwijaya itu memiliki ciri-ciri budaya pantai,
yang egaliter dan terbuka, dan yang dijiwai oleh semangat mobilitas
tinggi ekonomi perdagangan daerah-daerah pantai seluruh Asia
Tenggara. Karena itu gejala menunjukkan bahwa penduduk daerah-daerah
pantai umumnya bercakap dalam dua bahasa, Melayu dan daerah,
demikian pula penghuni pulau-pulau kecil, lebih-lebih lagi
pulau-pulau yang bernilai perdagangan tinggi, seperti Maluku. Maka
penduduk Ambon, misalnya, dari semula memang berbahasa Melayu dan
dapat digolongkan berbudaya Melayu, sedangkan penduduk daerah
pedalaman, umumnya orang Jawa pedesaan misalnya, tidak berbahasa
Melayu, betapapun tingginya peradaban mereka dan seberapa pun
dekatnya daerah mereka dari daerah asal bahasa Melayu.
Dari lingua franca warisan Sriwijaya, bahasa Melayu
meningkat menjadi bahasa literer, bahasa buku dan sastra, oleh
Kesultanan Aceh. Dengan menggunakan fasilitas huruf Arab, sebagai
bahasa literer bahasa Melayu mengalami pembakuan dan pemantapan.
(Saat itu huruf Arab untuk bahasa Melayu disebut huruf Jawi, karena
bahasa Melayu itu sendiri disebut bahasa Jawi, mengikuti pandangan
geo-kultural penduduk Tanah Suci yang menamakan seluruh Asia
Tenggara sebagai Jawa dan penduduknya orang Jawi). Dari rintisan
Kesultanan Aceh, bahasa Melayu berkembang lebih lanjut di
kawasan-kawasan pada kedua sisi Selat Malaka baik sisi Sumatera
maupun sisi Semenanjung. Puncak perkembangannya terjadi di
Kesultanan Riaw, dilambangkan dalam karya Raja Ali Haji, seorang
pujangga Bugis pindahan dari Sulawesi. Bahasa Melayu Riaw dijadikan
standar bahasa persatuan Indonesia yang diangan-angankan, yang kelak
disebut Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia inilah prasarana
sosial-budaya paling utama untuk mendukung pembentukan modern
nation state "Indonesia", selain prasarana kewilayahan geografis
sebagai kelanjutan Hindia Belanda.
Dalam usaha memberi wujud nyata wawasan sosial-politik
"Indonesia" itu, dari berbagai bukti dapat diketahui bahwa para
bapak pendiri negara sangat terkesan oleh ide-ide yang berkembang di
Amerika Serikat melalui tokoh-tokoh besar seperti Thomas Jefferson,
Abraham Lincoln dan Franklin Delano Roosevelt. Lebih-lebih Roosevelt
yang hidup sezaman dengan mereka itu, sangat mengesankan bagi mereka
dengan visi New Deal-nya dan dengan agenda politik
kepemimpinan Amerika untuk menyudahi kolonialisme dan imperialisme
dari muka bumi, lalu membangun kembali dunia setelah perang dunia
kedua selesai.
***
MESKIPUN tidak sempurna, para pendiri negara kita ingin meniru
model Amerika itu. Banyak segi sistem Amerika yang ditinggalkan,
tetapi unsur paling utama, yaitu penjabaran ide-ide dasar kenegaraan
sebagai titik temu (common platform) semua unsur bangsa,
sistem pemerintahan presidensial periodik dan bahkan motto
kenegaraan, mereka tiru dan ambil alih. Ide-ide dasar kenegaraan
mereka tuangkan dalam suatu dokumen yang sekarang menjadi Mukadimah
UUD 45 (sebanding dengan Deklarasi Kemerdekaan Amerika), sistem
pemerintahan presidensial periodik sedikit mereka ubah dari empat
tahun menjadi lima tahun, dan motto kenegaraan yang amat
fundamental, yaitu E Pluribus Unum mengilhami
digunakannya ungkapan Sansekerta, Bhinneka Tunggal Ika. Kedua
motto itu menunjuk kepada pengertian yang amat penting, yaitu
"persatuan dalam perbedaan" (unity in diversity), dengan
kandungan makna toleransi, pluralisme, dan inklusifisme. Sekalipun
menghasilkan sebuah tiruan tidak sempurna, namun Indonesia adalah
negara pertama di dunia yang ingin menerapkan model Amerika, yang
kemudian disusul oleh yang lain-lain, seperti Filipina, Taiwan, dan
Korea Selatan.
Para bapak pendiri negara, dipelopori oleh Bung Karno, mencoba
mewujudkan cita-cita modern nation state Indonesia tersebut
segera setelah proklamasi kemerdekaan. Tetapi mereka segera
terbentur kepada kenyataan belum tersedianya prasarana sosial-budaya
pada bangsa kita guna mendukung ide-ide negara modern itu. Rentetan
coba-salah yang mereka lakukan akhirnya berujung pada malapetaka
politik 1965, hanya 20 tahun setelah proklamasi.
Sejalan dengan logika urutan perkembangan sosial-politik yang
terjadi saat itu, militer mengambil alih kepemimpinan, di bawah
naungan Pak Harto. Mereka menamakan masa kekuasaan mereka "Orde
Baru", sambil menyebut masa sebelumnya "Orde Lama". Dengan
menggunakan suatu gabungan hampir sempurna antara hierarkisme
kemasyarakatan Jawa (feodal) dan garis komando linear militer, Pak
Harto berhasil banyak sekali dalam usahanya mengatasi persoalan
bangsa dan negara, dengan cara yang sangat efisien dan efektif.
Namun, akhirnya ternyata, setelah sekitar dua dasawarsa
kepemimpinannya, Pak Harto menunjukkan rendahnya pengertian tentang
wawasan modern nation state dan banyak melakukan tindakan
yang dalam ukuran wawasan itu merupakan skandal besar. Dan dalam
pola kepemimpinannya, Pak Harto menabrak langsung ide-ide modern
nation state, khususnya hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan
asasi. Setelah 32 tahun Pak Harto harus meninggalkan kursi
kepresidenannya in disgrace secara amat memilukan. Kehidupan
Pak Harto dan keluarga yang sangat stigmatis bukan alang-kepalang
itu masih berlanjut sampai saat ini suatu pelajaran yang bukan main
mahalnya bagi seorang pemimpin negara.
Jangka waktu pendek kepresidenan Pak Habibie jelas tidak terlalu
ideal, karena cap buruk padanya sebagai anak emas Pak Harto yang
manja dan dimanjakan. Kepresidenannya ditandai dengan kesulitan
besar usaha menyesuaikan diri kepada perkembangan yang terjadi
mendadak-sontak, yaitu reformis. Dalam SU MPR 1999, ia meninggalkan
kursi kepresidenan gracefully, tanpa stigma.
Sekarang kita hidup dalam masa kepresidenan Gus Dur (KH
Abdurrahman Wahid), dan hari-hari ini, persis saat-saat kita
berkumpul di Surabaya ini, kita sedang menyaksikan puncak-puncak
eskalasi krisis sosial-politik dan ekonomi yang luar biasa gawatnya.
Karena, ini bukan persoalan pribadi Gus Dur semata, juga bukan
persoalan lingkungan dekatnya dari kalangan NU saja, melainkan
persoalan bangsa yang wilayahnya terbentang dari Sabang sampai
Merauke (seperti London sampai Teheran) dan 220 juta warga
negaranya, maka mau tidak mau semua orang terpanggil untuk ikut
mencari pemecahannya. Akan tetapi, karena kedudukan dan peran yang
begitu sentral bagi seorang kepala negara yang bertindak sebagai
chief executive, yang dalam ekstensi kepribadiannya meliputi
pula lingkungan dekatnya, maka tidak dapat dihindari bahwa kita
harus bicara tentang siapa kepala negara itu dan apa hakikat
lingkungan yang mewarnai dan membentuk kepemimpinannya. Karena itu
berikut ini "terpaksa" kita coba memahami Gus Dur, NU dan
Ahlussunnah Waljama'ah.
***
PERASAAN adanya krisis yang mengancam kelangsungan kehidupan
negara merupakan persoalan yang paling menguasai wacana publik
sekarang ini. Dalam percakapan umum yang sangat luas, krisis itu
dianggap berpangkal pada kinerja dan gaya kepemimpinan Presiden
Abdurrahman Wahid, sekalipun ia sendiri tampak tidak menyadari, dan
pasti tidak menghendaki. Tetapi sekalipun tidak disadari, namun
dampaknya tidak terhindarkan.
Sesungguhnya kepresidenan Gus Dur telah menjadi tumpuan harapan
besar luar biasa pada keseluruhan masyarakat untuk mewujudkan
cita-cita nasional pada tahap perkembangan kenegaraan paling akhir,
yaitu tegaknya pemerintahan yang bersih dari KKN dan dorongan baru
membangun masyarakat adil makmur.
Harapan besar juga ditumpahkan kepada kepemimpinan Gus Dur untuk
mengakhiri "politik jalanan" dan "politik tawuran" yang dengan amat
gawat menunjukkan gejala akan berkembang menjadi "aturan main".
Harapan kedua itu sampai batas tertentu telah terwujud, sekalipun
akhir-akhir ini dalam masyarakat timbul kekhawatiran baru terhadap
munculnya gejala milisia komunal yang militan dan gampang
tersinggung, yang ironisnya sebagian datang dari kelompok Gus Dur
sendiri.
Karena itu, kita semua hendaknya berusaha ikut mencari jalan
secara bersama-sama bagaimana menyelamatkan negara dari
gejala-gejala yang mengancam itu, dengan implikasi bagaimana
meluruskan kepresidenan Gus Dur dengan menyelamatkan aset-aset
positifnya dan menghilangkan segi-segi negatifnya yang mengancam
kehidupan bernegara tersebut.
***
GUS DUR adalah tokoh yang tampil mantap dengan wawasan
sosial-keagamaan yang sangat absah dan mutlak diperlukan dari sudut
kepentingan nasional Indonesia dan dunia modern, yaitu wawasan
toleransi, pluralisme, inklusifisme, dan non-sektarianisme. Dapat
dikata hampir merupakan suatu mukjizat tersendiri bahwa dari
kalangan kelompok sosial yang paling teringkari dan terpinggirkan
tersebut tampil seorang tokoh dengan wawasan yang amat maju itu.
Di bidang ini, Gus Dur mewakili suatu usaha terobosan yang
penting sekali bagi pembangunan bangsa secara keseluruhan. Sudah
tentu banyak pemimpin nasional lain yang memiliki wawasan yang sama,
tetapi Gus Dur adalah tokoh yang mengemban wawasan itu tidak semata
secara kebetulan dan atas pertimbangan kepentingan jangka pendek,
melainkan karena kesadaran ajaran agama serta legitimasi dan
validasi oleh pandangan keamaan yang otentik.
Dengan kata lain, wawasan-wawasan itu dipegang Gus Dur sebagai
persoalan prinsipil, bukan persoalan prosedural semata. Maka jelas
sekali bahwa Gus Dur harus dibantu merealisasikan wawasan-wawasan
besar itu, justru demi masa depan Indonesia yang lebih adil, terbuka
dan demokratis. Wawasan itu harus dikembangkan sebagai wujud nyata
motto kebangsaan Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, setelah
sekian lama diingkari melalui arus penyeragaman yang dipaksakan,
dalam suasana dominasi sosial-politik angkatan bersenjata.
***
SINYALEMEN tentang adanya krisis yang gawat sekarang ini, yang
dinyatakan dalam berbagai cara dalam wacana publik, menilai sebagian
besar bersumber dari gaya kepemimpinan Gus Dur yang
kontra-produktif. Gaya kepemimpinan itu diperkirakan sebagai akibat
pertumbuhan kedirian atau personality Gus Dur yang paling
pribadi, dan sebagai kelanjutan pandangan hidup dan hubungan sosial
paguyuban dunia pesantren.
Kelemahan yang dipandang paling parah dan amat mengkhawatirkan
dalam gaya kepemimpinan Gus Dur ialah rendahnya kemampuan membedakan
antara urusan pribadi dan urusan umum, masalah privat dan masalah
publik. Tidak adanya garis pembeda yang tegas antara urusan pribadi
dan urusan umum dalam pola kepemimpinan kiai di dunia pesantren
adalah memang benar-benar wajar belaka. Tetapi jika hal itu dibawa
ke dalam pola kepemimpinan seorang presiden sebuah negara kebangsaan
modern (modern nation state), maka pola kepemimpinan yang
dominan paguyuban itu akan banyak menimbulkan skandal sosial-politik
yang sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Berbagai desas-desus dalam masyarakat luas tentang
praktik-praktik negatif dalam gaya kepemimpinan Gus Dur dan
lingkungannya memang harus dibuktikan benar-tidaknya. Justru
semangat Reformasi menghendaki dihentikannya kebiasaan menilai
negatif, atau mengenakan stigmatisasi dan menghakimi seseorang tanpa
pembuktian hukum yang jelas secara tak terbantah. Dan memang sangat
diharapkan bahwa desas-desus yang amat negatif tentang Gus Dur itu
tidak terbukti sama sekali. Tetapi jika terbukti secara tak
terbantah, dan ternyata Gus Dur telah melakukan tindakan
menutup-nutupi (cover up), maka sangat wajar jika ada
pihak-pihak yang berpikir untuk melakukan impeachment
terhadap Presiden Abdurrahman Wahid.
Sebab jika desas-desus negatif itu benar-benar terbukti (yang
sungguh kita berharap semoga tidak lebih daripada desas-desus
semata), maka semua itu telah benar-benar memenuhi syarat untuk
dilakukan impeachment, karena telah merupakan salah satu dari
bentuk-bentuk (dalam ungkapan asing) "treason, bribery, or other
high crimes and misdemeanors", yaitu tindakan penyelewengan dan
penyalahgunaan jabatan dan kekuasan yang paling gawat. Kalaupun
jelas bukan bentuk "treason, bribery, or other high crimes",
maka apa yang didesas-desuskan dalam masyarakat luas itu, jika
terbukti benar, dapat digolongkan sebagai suatu bentuk
"misdemeanors", sekurang-kurangnya
"maladministration". Dan tindakan cover up itu
sendiri, jika benar-benar dilakukan Gus Dur, dapat saja
dikategorikan sebagai suatu bentuk high crime, atau sebagai
"lying under oath (perjury)", yaitu kebohongan di bawah
sumpah pengadilan, sekurangnya di bawah sumpah jabatan. Semuanya
adalah tindakan yang membuat seorang pejabat negara, termasuk
seorang presiden, menjadi "impeachable".
***
TIDAK dapat tidak, tantangan dekat di hadapan kita sekarang ialah
menyelamatkan proses pembangunan demokrasi di negeri ini, dengan
menyelamatkan perolehan-perolehan gerakan Reformasi yang amat
berharga, khususnya perolehan berupa diwujudkannya
kebebasan-kebebasan asasi (menyatakan pendapat, berkumpul dan
berserikat), dan mencegah sekuat-kuatnya jangan sampai
perolehan-perolehan amat berharga dan mahal itu terampas kembali
oleh kekuatan tiranik, otoriter dan totaliter. Implikasi paling
dekat dari komitmen itu ialah meluruskan kepemimpinan Gus Dur selaku
kepala negara.
Berdasarkan hal di atas itu semua, maka sebagian dari kemungkinan
sumbangan kita kepada negara, khususnya kepada kepemimpinan Gus Dur
selaku Presiden Republik Indonesia, ialah menyerukan bahwa Gus Dur
dapat meneruskan kepemimpinannya selaku kepala negara dengan syarat
mutlak, tanpa dapat ditawar-tawar, sekitar hal-hal berikut;
1. Selaku presiden sebuah negara yang sedang dilanda
krisis hebat, Gus Dur harus menjabarkan dengan jelas wawasan
kepresidenannya dan mengkomunikasikannya secara efektif kepada
seluruh warga negara melalui berbagai forum dan kesempatan, resmi
dan tidak resmi. Dan sebagai lambang kepresidenan bangsa, Gus Dur
hendaknya "presents himself presidentially" yang membuat
semua negara bangga dan hormat.
2. Untuk itu, Gus Dur harus menampilkan diri sebagai tokoh
dengan jaminan kebersihan etis dan moral yang seluhur-luhurnya, guna
memberi landasan otentisitas kepemimpinan yang mutlak diperlukan
untuk dapat secara efektif memberantas dan mengakhiri
praktik-praktik KKN untuk selama-lamanya, sesuai dengan tuntutan dan
raison d'etre gerakan Reformis.
3. Gus Dur juga diharapkan dengan aktif mewujudkan
pelaksanaan nyata komitmen moral itu dalam kebijakan dan tindakan
yang adil, meritokratik, terbuka, rasional, sekalipun tetap harus
realistis dan pragmatis.
4. Sebagai chief executive dalam suatu pemerintahan
presidensial, Gus Dur harus menampilkan gaya kepemimpinan yang
konsisten dan predictable, agar dapat dengan jelas menjadi
acuan semua jajaran pengambil keputusan dan rujukan semua warga
negara.
5. Gus Dur berkewajiban menjaga amanat rakyat yang telah
menaruh harapan begitu tinggi kepada kepemimpinannya, dengan ucapan
dan tindakan yang penuh tanggung jawab, dan menjauhi tingkah laku
yang mengesankan gaya santai, tidak serius, gojek, guyonan, easy
going, menganggap sepele persoalan, dan seterusnya.
6. Kepemimpinan yang efektif memerlukan pembinaan
kesepakatan umum (consensus building) dan penggalangan
dukungan seluas mungkin terhadap kebijakannya. Gaya-gaya oneman
show dan berjalan semau sendiri bertentangan dengan kemes-tian
bekerja dalam kelompok (team work), prinsip pembagian kerja
dan pendelegasian wewenang, yang mutlak diperlukan dalam usaha maha
sulit mengatasi krisis sosial-ekonomi saat ini.
7. Tantangan maha berat dalam mengatasi krisis
sosial-ekonomi yang semakin gawat itu harus dihadapi Gus Dur dengan
membentuk tim kerja yang mendahulukan kecakapan pribadi anggota tim
itu melalui pertimbangan meritokratik dan mengesampingkan
sejauh-jauhnya pertimbangan komunalistik, apalagi geneologis.
8. Dalam suasana krisis hebat ini, Gus Dur harus tampil
dengan tepat sebagai lambang harapan seluruh bangsa dan menjadi
sumber inspirasi partisipasi universal warga negara, dengan berperan
sebagai tokoh akhlaq karimah yang patut diteladani, dan
mencegah secara efektif jangan sampai bangsa ini mengalami
kebangkrutan moral yang mengancam eksistensi dan kelangsungan
hidupnya, antara lain karena meluasnya perasaan putus asa kepada
situasi umum kenegaraan.
9. Masyarakat sedang menyaksikan gejala sosial yang amat
berbahaya itu, yaitu bahwa perasaan putus asa dari keadaan umum
telah mendorong gejala runtuhnya tertib hukum dan maraknya praktik
main hakim sendiri (hukum rimba). Berkenaan dengan itu, Gus Dur
harus dengan tegas dan tanpa kompromi melancarkan kampanye nasional
menegakkan hukum dan menjamin tidak seorang pun bersikap dan
bertingkah laku di atas hukum. Sebagai dukungan, perlu dikembalikan
harkat dan martabat alat negara dan aparat ketertiban dan keamanan,
dalam suatu susunan baru sosial-politik demokratis, sesuai dengan
gagasan utama Reformasi.
10. Terakhir, dengan sendirinya Gus Dur harus tetap
mempertahankan komitmennya kepada wawasan besar yang telah
dipelopori untuk menumbuhkan dan membangun secara sejati
prinsip-prinsip toleransi, pluralisme, inklusifisme,
non-sektarianisme, dan egalitarianisme sebagai fondasi masyarakat
madani, suatu masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, beradab
serta taat hukum dan aturan.
Demikianlah, dan itu semua memang tidak mudah, memerlukan tekad
seorang pemimpin yang otentik, dan yang tegas namun tetap bijaksana.
Dengan begitu insya Allah, bersama kita semua yang dengan tulus ikut
memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, Gus Dur akan dicatat oleh
sejarah sebagai seorang presiden yang telah meletakkan fondasi
demokrasi di Indonesia, menegakkan pemerintahan yang bersih dan
accountable, menjunjung tinggi standar moral dan akhlak
mulia, memulihkan ekonomi nasional yang telah porak-poranda, dan
menjaga keutuhan wilayah negara yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke.*
* Cupilkan dari pidato Nurcholish Madjid dalam
welcome party, Munas IV KAHMI di Surabaya, 14 Juli 2000.
Berita opini lainnya:
atas
|