back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

KOMPAS
Sabtu, 5 Februari 2000

Mempertanyakan Profesionalisme
Oleh Lie Charlie

BARU saja salah seorang mantan menteri yang mirip Doyok (setidak-tidaknya begitulah pengakuan Doyok sendiri dalam sebuah acara televisi) dinyatakan menjadi tersangka dalam skandal Bank Bali. Mantan menteri ini pula yang dahulu dipuja-puji sebagai profesional paling tangguh dan cemerlang, saat berkiprah di jalur swasta. Dan karena beliau bergelar MBA, maka sejak itu gelar tersebut lalu diburu-buru dan disanjung sebagai salah satu simbol profesionalisme.

Padahal profesional itu identik dengan orang yang 'makan gaji'. Artinya, hidup dari hasil kerja dalam bentuk sejumlah gaji yang dibayarkan per bulan. Karena barangkali istilah 'makan gaji' itu murahan, kurang keren, dan tidak dipahami internasional, maka mereka yang merasa dirinya lebih daripada sekadar makan gaji kemudian suka menyebut dirinya profesional. Tinggallah orang yang gajinya memang hanya cukup buat makan ikhlas mengaku dirinya 'makan gaji'.

Herannya, para profesional ini juga kemudian makan komisi, insentif, dan bonus sekaligus. Sudah bagus, kalau tidak makan komisi, insentif, dan bonus orang lain. Kalau begitu, apa bedanya profesional dengan salesman, sopir taksi, atau makelar tanah? Profesional mestinya menerima gaji saja. Bukankah mereka tidak menanggung risiko apabila perusahaan merugi? Lalu giliran perusahaan untung, mengapa minta dibagi?

Salesman, sopir taksi, dan makelar tanah justru tanpa malu-malu dari awal-awalnya mengharapkan komisi, insentif, bonus, atau entah apalah sebutannya yang lain. Mereka ini jelas-jelas tahu diri dan tidak pernah memposisikan diri sebagai profesional. Di dunia olahraga profesional diperbedakan dengan amatir. Seorang profesional menerima bayaran setanding dengan kehebatannya, sementara sang amatir bertarung untuk negara dengan gaji ala kadarnya.

***

SEBUTAN profesional juga disandang oleh mereka yang bekerja (atau mendapat pekerjaan) pada bidang yang sesuai dengan keahliannya (pendidikannya). Hanya apabila mereka telah bekerja dengan baik, maka mereka layak dinamakan profesional. Maksudnya jelas, kalau sekolah di kedokteran dan akhirnya menjadi dokter yang baik, itu profesional. Bila bergelar dokter tetapi beternak ayam, maka
tidak profesional.

Ada juga yang beranggapan bahwa profesional bermakna terbaik di kelasnya. Karena terbaik, maka berdaya saing sangat tinggi. Apa-apa yang profesional pastilah lebih mahal. Ibarat durian, maka dia itu durian Bangkok.

Tak perlu jauh-jauhlah, pokoknya profesional artinya taat profesi. Profesi itu pekerjaan atau mata pencaharian. Jadi, petani atau nelayan pun layak berpredikat profesional selama mereka memang menanam padi dan menangkap ikan sebagai mata pencaharian, meskipun kadang-kadang tidak ahli dan tidak sukses pula. Rendra yang hanya baca sajak pun seorang profesional, karena dia konsekuen; lapar atau kenyang, hujan atau terik, tetap membaca sajak.

Begitulah, bahkan maling sekalipun konon ada yang profesional, yaitu mereka yang telah menekuni profesi ini dengan berhasil dalam waktu cukup lama, serta tidak pernah tertangkap. Melacur juga sebuah profesi, sehingga mereka yang melakukannya dengan sepenuh hati boleh pula disebut profesional, meskipun jauh dari membanggakan. Cuma, kalau bisa, jadilah profesional yang positif.

***

CELAKANYA nilai profesionalisme di sini merosot terus dari masa ke masa, alih-alih bertambah maju dan baik. Kaidah-kaidah profesionalisme dilangkahi dengan tidak semena-mena. Kalau orang yang bukan profesional mendapat cuti 12 hari setahun, kaum profesional maunya cuti 21 hari serta tidak mau bekerja pada hari Sabtu.

Organisasi profesi tumbuh dan berkembang sejalan dengan penggolongan profesi yang semakin hari semakin terinci saja. Barangkali pula sekarang sudah ada organisasi profesi dari pengangkut air dan penggali sumur se-DKI (disingkat Opas DKI).

Profesional bukan birokrat, sehingga bila dituntun oleh aturan ini-itu yang serba protokoler dan resmi, dia malah menjadi manyun. Menjadi menteri sudah terang bukan prioritas seorang profesional, lantaran menjadi menteri itu tidak bisa seumur hidup, juga bukan suatu profesi. Jangan memilih menteri dari kumpulan kaum profesional, melainkan carilah seorang menteri dari antara para patriot.

Profesional haruslah menjadi pelopor dalam bidang masing-masing, sebab mereka menggarap ladang yang sama dalam waktu yang lama dan dengan keahlian yang setara pula. Profesional mestinya beruntung karena menikmati dan mencintai pekerjaannya. Mereka pun seyogianya berprestasi tinggi, lantaran dengan pengalaman dan pengetahuannya bisa menaklukkan dunia. Maka itu, menjadi aneh dan disayangkan apabila ada seorang profesional yang bernasib sial tergelincir menjadi tersangka kriminal.

(* Lie Charlie, sarjana tata bahasa Indonesia Unpad, Bandung)


Berita opini lainnya :

atas