back | |
Serambi MADURA |
https://zkarnain.tripod.com/ Internet Based Virtual Life-long Learning Environment for Maintaining Professional Vitality |
Nomor 20/V 3 April 1999 |
GATRA |
Emosi Ekstrem Orang Madura
A. Latief Wiyata* ITULAH dua larik lagu Ibu Pertiwi, yang menyiratkan perasaan hati begitu "lara". Ya, Ibu Pertiwi patut merintih dan bersedih, menyaksikan negeri kita yang tidak henti-hentinya dilanda musibah kerusuhan antaranak negerinya sendiri. Setelah Jakarta, Solo, Aceh, Kupang, Ambon, kini giliran Sambas dan sekitarnya. Ratusan jiwa melayang. Belum lagi harta benda yang musnah sia-sia, dibakar oleh massa yang bertikai. Jika dicermati sekilas, kerusuhan kali ini seakan merupakan babak lanjutan dari sebelumnya. Namun, mengapa kejadiannya tak ubahnya "putaran arisan"? Apakah hal ini mencerminkan adanya kaitan dengan situasi dan kondisi sosial-budaya-ekonomi-politik negara kita yang makin lama makin tidak menentu? Jika demikian halnya, sulit membenarkan bahwa kerusuhan di Kalimantan Barat kali ini merupakan babak lanjutan dari kerusuhan sebelumnya. Apalagi, pada babak sebelumnya, telah dicapai suatu kata sepakat untuk berdamai dari kedua pihak yang bertikai. Apakah tidak ada kemungkinan, kerusuhan kali ini memang sengaja diskenariokan oleh pihak-pihak yang menginginkan negara kita kacau-balau? Tulisan ini mencoba mengulas konteks-konteks sosial budaya apa saja yang kira-kira melekat pada peristiwa itu. Sebab, secara faktual, kerusuhan itu melibatkan dua kelompok etnik yang secara antropologis berbeda dalam hal nilai-nilai sosial budaya yang dianut. Sudah bukan rahasia, kerusuhan yang menelan banyak korban itu melibatkan dua kelompok etnik: Madura dan Dayak. Kelompok etnik Madura sebagai kaum pendatang di daerah Kalimantan Barat, secara sosiologis, akan selalu berupaya membentuk dirinya sebagai suatu unit kesatuan sosial budaya yang solid. Itu dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan eksistensi sosial budaya mereka di tengah-tengah pergaulan sosial budaya dengan kelompok etnis tuan rumah. Dalam konteks ini, maka setiap individu orang Madura akan menemukan identitas pribadinya dalam identitas kelompok. Dengan demikian, jika ada semacam gangguan, ancaman, dan sejenisnya terhadap individu orang Madura, maka akan selalu dimaknakan sebagai ancaman terhadap komunitas mereka secara keseluruhan. Sebagai suatu kelompok etnik yang memiliki karakteristik sosial budaya yang sangat ekpresif, maka ekspresivitas orang Madura akan muncul secara spontan dalam bentuk sikap dan perilaku reaktif jika dihadapkan pada kondisi dan situasi semacam itu. Bentuk-bentuk ekspresivitas sikap dan perilakunya bergantung pada sejauh mana gangguan dan ancaman itu melanggar "wilayah harga diri". Adapun batas-batas "wilayah harga diri" orang Madura identik dengan: dalam situasi dan kondisi apa mereka malo (bukan malu dalam artian umum). Malo adalah suatu situasi psikokultural yang sedang dialami orang Madura ketika mendapat atau merasakan adanya perlakuan yang menyebabkan dirinya merasa tidak memiliki makna apa-apa (tada' ajhina) sebagai manusia dalam lingkungan sosial budayanya. Jika hal terakhir itu terjadi, maka dapat dipastikan, seketika itu juga orang Madura akan melakukan resistensi sangat keras. Karena itu, kiranya tidak terlalu sulit untuk "mengambil hati" seorang Madura. Dengan mencoba menahan diri melakukan sesuatu sehingga tidak memasuki "wilayah harga diri" mereka, maka seorang Madura akan memperlakukan orang yang berbuat seperti itu layaknya saudara sendiri (oreng dhaddi taretan). Dalam konteks ini, kiranya mudah memahami sikap dan perilaku orang Madura dengan meminjam istilah I.M. Lewis pada kata pengantar dalam buku Emotion of Culture: A Malay Perspective, karya Wazir Jahan Karim (1990). Yakni, apa yang terjadi pada orang Madura merupakan bentuk dari patterning of emotions yang pada umumnya berlaku juga di dunia Melayu dan Indonesia. Kongkretnya, emosi-emosi diatur secara ekstrem. Di satu pihak, bentuk-bentuk kesopanan dipertunjukkan secara transparan, dan di lain pihak bentuk-bentuk kekerasan dipertontonkan pula secara sangat mencolok. Tampaknya, hampir tidak muncul bentuk-bentuk emosional tingkat menengah. Apakah "pemicu" kerusuhan yang terjadi di Sambas dan sekitarnya berkaitan dengan upaya memanipulasi, sekaligus memanfaatkan karakteristik sosial budaya orang Madura dalam konteks patterning of emotions? Dengan merenungkan hal ini, diharapkan dapat ditemukan suatu cara penyelesaian yang lebih arif agar kerusuhan bisa segera diredam, dan tidak terulang di kemudian hari. Ibu Pertiwi pun tak perlu merintih berkepanjangan. * Kandidat doktor antropologi Pascasarjana UGM, Yogyakarta, dengan spesialisasi budaya Madura |