back | |
Serambi KAMPUS |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Jumat, 30 April 1999 |
Suara Pembaruan |
Adakah visi lain yang dapat dipakai untuk mengubah pola pikir guna mengemban misi perguruan tinggi (PT) kita dalam menghadapi tantangannya? Pertanyaan seperti ini rasanya sudah sering dilontarkan, menjadi pokok bahasan dan kajian, baik dalam forum terbatas maupun tulisan di media massa. Kebetulan dengan adanya gerakan reformasi, maka momentum ini membuat kita lebih bebas dan berkesempatan menggagas ide, berpikir dan mengeritik secara bertanggung jawab, tetapi yang lebih baik lagi kalau bisa melaksanakan suatu gagasan yang sudah matang.
Mungkinkah agenda perubahan yang dihembus angin reformasi dapat juga membakar semangat perubahan dalam sistem belajar-mengajar di PT kita? Kalau selama ini PT seakan dan memang begitu adanya yaitu terbelenggu dengan program Tridharma, di mana dana selalu menjadi kendala klasik dari ketidakberesan pengelolaannya, maka mahasiswa adalah korbannya yang pertama, dan pada gilirannya masyarakat ikut terseret menjadi korban juga.
Konon, mahasiswa cenderung hanya belajar berteori saja dalam ruangan kuliah, ketimbang melakukan praktek di laboratorium dan lapangan. Belum lagi pendidikannya, khususnya para dosen yang mendarmabaktikan ilmunya, kurang atau hampir tidak lagi bersemangat akibat rendahnya pendapatan. Memang bukan karena gaji, tetapi dedikasilah yang membuat para dosen masih bertahan mengajar. Suatu hal yang sungguh-sungguh harus dihargai oleh bangsa ini pada dedikasi para dosen, yaitu pahlawan tanpa tanda jasa.
Namun bisakah para dosen itu bertahan bekerja dengan gaji guru besar hanya berkisar Rp 1,3 hingga 1,5 juta, sedangkan gaji dosen biasa antara Rp 500 ribu sampai 900 ribu? Fakta ini dikemukakan oleh seorang guru besar, Prof Dr Muhammad Budyatna dari FISIP UI (Suara Pembaruan, 7/4/99, halaman 10). Lebih lanjut menurut sang guru besar, faktor gaji tidak akan mendukung terselenggaranya Tridharma PT dengan baik sekarang ini maupun di masa mendatang. Kalau begitu masih perlukah kita adu argumen lagi tanpa ada upaya mempertimbangkan gagasan lain, yang dapat membuat kita berpindah dari kondisi yang sudah sama kita ketahui tidak akan mendukung misi PT?
Reformasi Dan Terobosan
Reformasi sebagai langkah awal dalam proses penataan kondisi PT yang tidak laik kerja bagi sivitas akademika, sebetulnya harus berani dilakukan oleh penghuni PT itu sendiri. Ironis memang, di mana institusi pendidikan yang notabene dihuni oleh para intelektual, seakan hanya mempunyai otak dan mulut untuk berpikir dan berbicara tanpa bisa berbuat apa-apa.
Kemapanan kadang menjadi kendala yang membelenggu kampus dan mengebiri mahasiswa agar tidak bisa bersuara. Mapan dalam arti, peraturan atau regulasi itu sudah baik dan tak perlu diubah-ubah meski waktu telah berubah. Tridharma seakan darma sakral yang tidak boleh digugat oleh sivitas akademika apalagi oleh masyarakat awam.
Tidak hanya Tridharma yang sakral, tetapi birokrasi juga ikut diartikulasikan ke dalam proses terjadinya kemunduran dalam proses belajar-mengajar di PT. Siapa pun dosen yang menyadari hal ini, tidak bisa berhenti mengeluh sendiri. Ada kasus-kasus yang sudah pernah dilansir media cetak beberapa waktu lalu, bahwa di hampir semua Fakultas Kedokteran Negeri di Indonesia, tidak ada formasi untuk pengangkatan dosen baru.
Pengangkatan dosen baru terbatas hanya untuk menggantikan tempat yang sudah pensiun atau meninggal. Dari sebab itu, akibatnya adalah formasi dosen menjadi seperti piramida terbalik, alias lebih banyak senior ketimbang yunior, atau lebih sering diungkapkan sebagai pasukan dengan mayoritas jenderal dan hanya ada segelintir perwira bawahan.
Apakah corak PT seperti ini masih layak kita jaga demi kemapanan, kestabilan maupun alasan keuangan, sebagaimana yang sering dipakai di masa Orde Baru untuk suatu kebijaksanaan yang tidak jelas arahnya? Dalam alasan perubahan, adakah argumen yang pantas dan bisa mendukung visi perubahan itu?
Dalam konteks ini, penulis melihat sumber daya manusia pendidik yang andal adalah kebutuhan primer untuk memenuhi maksud dari perubahan tersebut. Maksudnya, profesionalisme pendidikan tinggi kita akan dapat mempunyai bobot apabila kadar profesionalisme itu ditentukan oleh pendidiknya.
Memang kita sadari bahwa usulan selalu ada perhitungan baik-buruknya, ada kekuatan dan kelemahannya. Namun, pengalaman orang lain di mancanegara boleh dipakai sebagai cerminan. Bukti-bukti sudah cukup untuk meyakinkan, yang perlu sekarang adalah keinginan untuk berani mengubah kondisi yang ada. Sudah barang tentu perlu perhitungan dan semangat, bukan hanya nekat. Dalam perspektif ini, bukanlah perubahan radikal terhadap apa yang sudah ada, tetapi dengan meminjam istilah reformasi gradual menurut tingkat dan kondisi setempat.
Dengan mengacu pada profesionalisme pendidik, maka masalah kita adalah gaji pendidik. Siapa pun juga akan sepakat bahwa gaji guru besar maupun dosen di PT kita bukan saja tidak cukup untuk bekerja, tetapi juga untuk mengembangkan dirinya sendiri. Guru besar dan dosen harus memperkaya dirinya dengan informasi ilmiah yang terkini, barulah mereka dapat menyalurkan kekayaan itu pada anak didiknya.
Artinya, ditilik dari standar gaji yang ada, sudah jelas mereka tidak dapat memenuhi kadar profesionalismenya. Baru-baru ini ada iklan di media cetak Ibukota (30 Maret 1999), dari Universitas Sains Malaysia Penang yang menawarkan pengisian kekosongan dosen/profesor madya dengan imbalan gaji tahunan berturut-turut: profesor madya RM 58.512 - RM 76.392 dan dosen RM 34.128 - RM 59.472 (1 dolar AS = 3,80 ringgit Malaysia). Secara iseng kita bisa menghitung lebarnya jurang perbedaan gaji di negeri jiran dan gaji dosen di negeri tercinta ini.
Kontrak Dan Pecat
Secara historis, sistem penggajian tenaga dosen kita mengacu pada aturan pegawai negeri, yang menuntut loyalitas dan dedikasi lebih besar ketimbang memikirkan kebutuhan hidup. Dengan sistem seperti ini pula kita bisa berargumen bahwa telah banyak tenaga intelektual dan sumber daya manusia akademik dihasilkan oleh PT. Namun, waktu dan tempat tidaklah sama dan kekal. Proposal ke arah perubahan perlu kita pikirkan di sini, antara lain dengan mengadopsi kemudian mengadaptasikan sistem kontrak dan pecat.
Artinya, guru besar dan dosen bisa kita peroleh dengan cara membuka peluang melalui iklan. Dengan cara ini bisa tercipta peluang untuk menempati posisi dosen maupun guru besar menjadi sama besar untuk tiap pelamar, setelah memenuhi syarat-syarat yang ada. Setelah terpenuhi kualifikasinya, seorang tenaga dosen dapat memperoleh gaji yang ditawarkan. Imbalan gaji ini akan sepadan dengan prestasinya, berapa banyak penelitian maupun publikasi ilmiah yang akan dihasilkannya, berapa banyak jam kuliah dan mahasiswa yang dibimbingnya dan seterusnya.
Di kemudian hari, bila dalam evaluasi ternyata prestasi guru besar dan dosen itu meyakinkan, patut diberi pujian dan bonus, misalnya tambahan gaji. Sebaliknya, bilamana tenaga dosen atau profesor tidak bisa memenuhi kewajibannya, atau prestasinya tidak meyakinkan, maka kontraknya bisa diputuskan alias dipecat.
Keuntungan dari penerapan sistem ini sebagaimana yang terpantau di negara-negara yang sudah melaksanakannya, adalah di PT yang terbaik akan terkonsentrasi guru besar dan dosen yang berprestasi. Dengan ketentuan ini, akan terjadi upaya rekrut sekaligus kompetisi di antara tenaga guru besar dan dosen. Tidak perlu ada lagi seleksi penerimaan pegawai negeri, dan upaya penjenjangan yang panjang serta birokratif untuk menghasilkan tenaga dosen yang berkualitas.
Tidak dipungkiri bahwa penerapan sistem ini punya segi kelemahan, apalagi kalau ada campur tangan pemerintah. Otoritas pemerintah barangkali kelemahan yang bakal dihadapi oleh PT negeri melalui kebijakan pilih kasih misalnya. Kelemahan subjektif seperti ini plus penilaian Tridharma yang sudah menghasilkan guru besar dan dosen senior yang tidak bermutu, bukan lagi hal yang baru. Ada banyak tenaga dosen yang tak punya prestasi, tetapi bagaimana memecatnya, tidak ada alasan yang tepat. Tak heran kalau di kampus-kampus beredar plesetan GBHN, alias guru besar hanya nama.
Dengan adanya sistem kontrak dan pecat, otoritas pimpinan PT mulai dari rektor berurutan ke dekan, ketua jurusan, kepala departemen, kepala laboratorium dan sebagainya menjadi penting dan menentukan. Tidak ada lagi jabatan politis di dalam dunia akademik. Operasionalisasinya akan menjadi masalah yang perlu dipikirkan, sekaligus akan memberdayakan pimpinan PT dan mengangkat citra PT.
Dengan begitu akan tercipta orang yang tepat berada di tempat yang tepat. Mau cari orang yang tepat, lihat saja iklan di halaman akhir dari majalah ilmiah: misalnya dibutuhkan tenaga dekan, guru besar, dosen, tenaga laboratorium, ilmuwan peneliti dan sebagainya dengan kualifikasi tertentu. Kepastian ini akan sangat mempengaruhi kredibilitas PT yang bersangkutan.
Saat ini mungkin masih banyak calon mahasiswa memilih PT karena namanya, tetapi di masa depan dengan sistem kontrak dan pecat, pandangan calon mahasiswa adalah tenaga yang pas dengan profesinya di PT yang bermutu.
Bersaing
Perlu dicatat bahwa kita akan kalah bersaing dengan PT swasta (PTS) maupun perguruan tinggi asing yang tampaknya sudah mulai menerobos masuk ke negeri ini oleh dampak proses globalisasi. Padahal PTN dan PTS kita bisa bersaing menarik minat mahasiswa dalam negeri dengan jaminan mutu pendidiknya. Dan kalau mau, PT kita bisa menarik mahasiswa asing seperti apa yang sekarang tengah dilakukan Malaysia maupun Singapura.
Kedua negeri itu berani menawarkan kursi PT mereka ke calon mahasiswa asing sebagai suatu komoditi pendidikan. Dampak dari bisnis pendidikan tidak hanya menguntugkan bagi PT yang bersangkutan, tetapi juga bagi masyarakat di lingkungan PT itu berada. Dengan sendirinya akan menjamur tempat penampungan mahasiswa, fasilitas kebutuhan mahasiswa seperti tempat fotokopi, toko kebutuhan sehari-hari dan sebagainya. Mengapa kita sendiri selalu terlambat mengantisipasi kesempatan yang ada? Keprihatinan ini barangkali akan menjadi salah satu topik bahasan kita di dalam bisnis pendidikan di era globalisasi.
Dengan mengajukan proposal kontrak dan pecat, penulis melihat bahwa akan ada kegairahan baru di kalangan dosen PT. Tenaga dosen tidak akan memikirkan senioritas, tetapi mutu keilmuan atau kepakaran di bidangnya masing-masing. Dengan cara demokratis ini, tidak peduli siapa dosen itu, meski usianya masih muda, yang penting mutu keilmuannya menonjol, maka ia harus dikedepankan.
Begitu juga dengan tenaga dosen senior, mereka tak perlu berkutat dengan disiplin ilmunya, karena dengan perkembangan teknologi dan informasi canggih, maka minat orang bisa berubah. Pengalaman kita selama ini, seorang tenaga dosen hingga menjadi guru besar terbentuk sejak dari asisten mahasiswa, selama kariernya tetap di disiplin ilmu yang sama, bahkan sampai pensiun di situ juga. Padahal dosen bisa memilih dan mengembangkan minat ilmu lainnya sesuai dengan seleranya.
Menyinggung masalah kelemahan sistem ini, barangkali akan kembali ke soal dana. Alasan klasik ini akan terjawab sendiri, misalnya biaya untuk mengontrak beberapa orang guru besar dan dosen, bisa dianggap sebagai modal investasi. Namun dengan jaminan nama dosen itu, akan menjadi iklan yang akan menarik mahasiswa untuk mendaftar di PT yang favorit, sehingga pada gilirannya dana investasi itu akan impas. Pertama kali mungkin terobosan ini baru bisa dilaksanakan di PTS yang tidak terikat birokrasi ketimbang PTN yang sudah mapan.***
Penulis bekerja di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya