back | |
Serambi DEPAN |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Jumat 30 April 1999 |
Suara Pemabaruan |
Prof Dr Anna S. Soeparno, anggota Majelis Penelitian Pendidikan Tinggi, Komisi Pendidikan Depdikbud dan Dr. Arief Purnomo, pakar pendidikan LIPI merisaukan minat dan budaya meneliti mahasiswa dan dosen kita. Padahal, peran penelitian dan pengembangan merupakan prasyarat penting agar bangsa kita tidak tertinggal di era globalisasi ini.
Sedang, Arief Arihman, seorang pakar LIPI yang lain, menyoroti bahwa jumlah penelitian Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah peneliti negara ASEAN yang lain. Menurut dia, kurikulum pendidikan tinggi perlu diperbarui atau diperbaiki seiring dengan perkembangan keilmuan (Suara Pembaruan, 10/04/1999).
Persoalan seputar kegiatan penelitian di negara kita untuk ke sekian kali terangkat ke permukaan. Banyak usulan dikemukakan dan tindakan dilakukan untuk meningkatkan kegiatan penelitian, namun keadaan itu tidak juga berubah. Mengapa? Karena mungkin kita tidak pernah menyentuh inti permasalahannya.
Kita setuju misalnya, kurikulum pendidikan tinggi harus senantiasa diperbarui atau diperbaiki seiring dengan tuntutan zaman. Namun, apakah kurikulum merupakan sumber permasalahan tersebut? Menurut hemat penulis, ada sesuatu yang lebih mendasar daripada hal itu.
Jumlah judul penelitian dalam sepuluh tahun terakhir, sebetulnya meningkat cukup tajam. Dana penelitian mengucur cukup deras dari Direktorat Pendidikan Tinggi dan Dewan Riset Nasional. Penelitian pun dilakukan, walaupun mungkin masih terkonsentrasi di universitas- universitas seperti UI, UGM, Unair, IPB, ITB dan institusi seperti LIPI dan BPPT.
Pertanyaannya, apa dan ke mana hasilnya? Ini yang menyedihkan, karena hasil penelitian sering kali berhenti sebagai laporan penelitian, yang ditumpuk entah di mana dan kemudian terlupakan. Seandainya hasil penelitian tersebut bermutu, sudah sepantasnya dipublikasikan di majalah atau jurnal ilmiah dan bila mungkin ditindaklanjuti oleh pihak industri atau instansi lain yang terkait. Tetapi, rupanya hal ini jarang terjadi. Mengapa?
Penelitian bagi kebanyakan dosen di perguruan tinggi merupakan kegiatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan, bukan untuk menghasilkan suatu terobosan atau memberikan kontribusi bagi ilmu. Gaji dosen tergolong rendah, karena itu mereka memerlukan penghasilan tambahan tersebut.
Motivasi lain tentu untuk kenaikan pangkat. Dari laporan penelitian yang ditulis, seorang dosen akan mendapat 5 point. Bila, ia menulis makalah dari hasil penelitian yang dilakukan dan dipublikasikan di majalah atau jurnal ilmiah, ia akan mendapat 10 s/d 15 point. (Bandingkan dengan mengajar satu masa kuliah selama satu semester yang hanya akan mendapat 2 point).
Karena mempublikasikan makalah di jurnal internasional bukan hal mudah, kebanyakan dosen mempublikasikan makalah mereka di jurnal lokal yang biasanya dikelola sendiri, diterbitkan sendiri dan dibaca sendiri. Toh poin yang diperoleh tidak berbeda banyak dan mereka tetap bisa naik pangkat, bahkan mungkin menjadi profesor pula.
Tidak Akan Dipecat
Menulis proposal penelitian bagi kebanyakan dosen lainnya, sudah menjadi hal merepotkan, apalagi melakukan penelitian. Sementara itu, fasilitas dan suasana kerja/akademis tidak mendukung. Mengharapkan mereka melakukan penelitian adalah mimpi yang sulit menjadi kenyataan. Mereka pikir: "Saya toh tidak akan dipecat karena tidak melakukan penelitian.''
Semua itu terjadi karena sistem kepegawaian dosen yang berlaku di negara kita, paling tidak sejak Orde Baru berkuasa, sebagaimana pernah penulis ungkapkan (The Jakarta Post, 13/6/1998 dan Suara Pembaruan, 14/6/1998). Dosen PTN, khususnya, adalah pegawai negeri. Sebagai pegawai negeri, ia direkrut dengan modal ijazah sarjananya. Melalui masa capeg dua tahun, ia diangkat sebagai dosen tetap dengan golongan III/a dan jabatan Asisten Ahli Madya. Dan ia pun menjadi dosen PTN tersebut sepanjang sisa hidupnya atau sampai pensiun. Selama tidak neko-neko, ia tidak perlu takut kena PHK atau dipecat walaupun tidak terlalu berprestasi.
Untuk naik golongan dan jabatan, ia harus mengumpulkan sejumlah point, yang dapat dia peroleh dari kegiatan mengajar, meneliti dan melayani masyarakat (Tridharma Perguruan Tinggi). Untuk naik dari golongan III/a ke III/b misalnya, diperlukan 50 point.
Bila ia giat mengumpulkan point, golongan (dan jabatannya) pun akan merangkak naik ke III/b (Asisten Ahli), III/c (Lektor Muda), III/d (Lektor Madya), IV/a (Lektor), IV/b (Lektor Kepala Madya), IV/c (Lektor Kepala) dan seterusnya, dengan waktu minimal dua tahun dari satu golongan ke golongan berikut.
Bila memenuhi kualifikasi yang ditentukan dan ''hal-hal lain yang tak tertulis'', barulah ia akan naik ke golongan IV/d (Gurubesar Madya) dan mulai menyandang sebutan profesor dan mungkin akhirnya naik ke golongan tertinggi IV/e (Gurubesar), setingkat jenderal berbintang empat.
(Dalam peraturan terakhir, seorang dosen dimungkinkan menjabat Gurubesar Madya dengan golongan di bawah IV/d, karena untuk naik jabatan tidak ada batasan waktu minimal dua tahun. Loncat jabatan pun dimungkinkan, namun hanya dari jabatan Lektor Muda ke jabatan Lektor).
Lalu apa masalahnya? Pertama, begitu banyak ''tangga'' yang harus dititi dan betapa repot mengurus kenaikan pangkat membuat dosen kelelahan untuk berkarya. Kedua, toh tidak ada batasan maksimal berapa tahun ia boleh tetap berada pada golongan dan jabatan sekarang. Ini berarti bahwa ia tidak akan dipecat, karena tidak mengumpulkan point yang cukup setelah sekian tahun pun. Karena tidak ada ancaman itu, mengapa repot-repot melakukan penelitian, misalnya?
Ketiga, sistem perekrutan dosen seperti itu tidak menjamin dosen di universitas seperti UI, UGM atau ITB sekalipun memiliki kemampuan meneliti sebagaimana diharapkan. Banyak lulusan S-1 yang direkrut sebagai dosen dan disekolahkan lagi, tetapi kemudian ketahuan kemampuannya tidak dapat berkembang lebih jauh lagi. Terus mau apa?
Seharusnya, sistem kepegawaian memungkinkan perguruan tinggi yang bersangkutan untuk memberhentikan dosen tersebut. Menobatkan dia sebagai dosen tetap (baca: seumur hidup) setelah masa capeg dua tahun sungguh terlalu riskan. Sistem seperti ini, sepanjang pengetahuan penulis, hanya berlaku di Indonesia.
Seorang lulusan S-1 di kebanyakan negara lain, hanya dapat menjadi grader atau asisten honorer paruh waktu (biasanya sambil mengambil program master atau doktor di universitas yang bersangkutan). Setelah meraih gelar doktor, ia harus melamar dan bersaing dengan orang lain untuk menempati posisi yang tersedia (itu pun bila ada lowongan). Bila diterima, paling hanya sebagai dosen sementara dengan kontak satu sampai dengan lima tahun.
Bila ingin diperpanjang kontraknya, ia harus benar-benar memperlihatkan prestasi, baik dalam mengajar maupun meneliti. Bila prestasinya memadai, barulah mungkin ia diangkat sebagai dosen tetap. Sekalipun demikian, ia harus tetap berprestasi untuk meraih jabatan tertinggi. Dengan sistem kenaikan pangkat dan jenjang kepangkatan yang jauh lebih sederhana, seseorang dimungkinkan menjadi profesor pada usia relatif muda (di bawah 40 tahun) karena prestasi yang gemilang.
Rasanya sistem kepegawaian dosen, baik di PTN maupun PTS, di negara kita perlu dirombak. Sebab, bila tidak, kita benar-benar akan semakin tertinggal di era globalisasi ini, sebagaimana diperingatkan di awal tulisan ini. ***