back "SEJAK meninggalkan Madura, saya tak punya harapan lagi untuk bisa makan sayur kelor seperti di daerah asal saya," kata Ny Hj Syamsiah, yang istri Bupati Gresik, Soewarso.
Soalnya, tidak di semua daerah bisa makan sayur kelor, kecuali klenthang buahnya. Selain daun dan buahnya untuk sayur bening, batang kelor berfungsi sebagai rambatan sirih atau cabai. Namun bagi sebagian orang Jawa, daun kelor digunakan untuk pelengkap air mandi orang meninggal, atau untuk penangkal magi hitam.
Suatu hari, ia diundang syukuran boyongan rumah warganya di kompleks GKB. Sejak belasan tahun ia meninggalkan Madura, pertama kali itulah ia bertemu sayur kelor dengan sambal brondhot sebagai menu hidangan. "Nyaris saya tak menyentuh menu lainnya, kecuali sayur kelor," tuturnya di sekretariat TP PKK, Senin (8/12).
Menjelang lomba toga (tanaman obat keluarga) di Desa Lebaniwaras, Ny Syamsiah memborong bunga anggrek di Taman Kayon, Surabaya. Secara tak sengaja, dia melihat tanaman kelor milik penjual bunga. Hasrat untuk memiliki pun tak bisa dibendung. "Pokoknya, kalau tanaman kelor diberikan, bunga anggrek ini jadi saya beli. Kalau tidak boleh ya batal saja," katanya setengah mengancam.
Daripada gagal transaksi anggrek, penjual bunga pun akhirnya menyerahkan kelor, walau dengan hati rada owel. Soalnya tanaman kelor itu koleksi pribadinya, bukan barang dagangan.
Sejak itu, sebatang kelor menjadi tanaman langka kesayangannya di halaman pendapa kabupaten. Setiap hari dia selalu mengikuti pertumbuhan kelor dengan hati yang berbunga-bunga.
Suatu hari, tiba-tiba perawat taman memetik daun kelor yang sedang semi itu, dengan alasan agar tidak mengganggu tanaman lainnya. Betapa kecewanya ia, sampai menjerit. "Ya ampuuun, kelor itu diprekes di depan mata saya," katanya.
Dengan sanksi disetrap, perawat taman pun akhirnya mencari penggantinya. Kini tanaman kelor telah bersemi kembali di halaman pendapa, dan bersemi di hati isteri Bupati. "Sebentar lagi saya akan bernostalgia makan sayur kelor," katanya di depan ibu-ibu pengurus PKK. (pra)