back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Senin 19 April 1999 |
Kompas |
Sambas, Kami akan Datang Lagi .....
WAJAH Ny Sariali (40) tampak cerah ketika menginjak tanah Pelabuhan Tanjungperak Surabaya, Rabu lalu. Sebuah karung goni berisi pakaian, terlihat tak berarti apa-apa bagi ibu dari 11 anak itu, meski harus berjalan sekitar satu kilometer dari dermaga ke lokasi parkir. Ia pantas riang karena sebagai wanita Madura kelahiran Sambas, Kalimantan Barat, baru kali itu bakal menginjakkan kaki di tanah leluhurnya.
"Saya tak menyangka bisa melihat Madura. Kerusuhan di Sambas membawa hikmah. Mungkin tanpa kerusuhan saya tidak akan mengunjungi tanah leluhur," kata Sariali sambil mengusap air matanya. Wanita berperawakan kurus ini mengaku tidak tahu persis siapa saudara atau kerabatnya di Bangkalan.
"Pikiran saya, bersama suami bisa keluar dari Sambas. Nanti kalau situasi memungkinkan, keluarga kami kembali ke Sambas untuk mengurus harta, terutama tanah dan kebun," tuturnya.
Pengakuan serupa diungkap H Asmawi (35), yang selama ini tinggal di Desa Rambayan Kecamatan Tebas, Sambas. Pemilik bengkel kendaraan di pasar Rambayan ini tidak pernah membayangkan jika ia bersama istri dan empat anaknya harus mengungsi ke Madura.
"Memang banyak kerabat di Bangkalan, tetapi sampai kapan mereka bersedia memberi tumpangan," kata Aswawi yang berpenghasilan sekitar Rp 150.000 per hari dari bengkel dan penjualan kue.
Tanpa pekerjaan tetap, Asmawi yang selama ini menghidupi empat keponakannya di Sambas mengaku tidak mungkin hidup terus-menerus atas bantuan pemerintah atau keluarga.
"Anak saya butuh sekolah. Istri juga tidak betah diam di rumah karena selama ini berjualan kue di pasar. Jadi, tidak ada alasan untuk bertahan di Madura. Sambas sangat menjanjikan karena harta benda saya masih ada meski rumah sudah terbakar," tutur Asnawi yang juga memiliki kebun kelapa hibrida seluas satu hektar ini.
MENURUT Asnawi, warga Madura di Sambas menguasai banyak bidang, mulai dari pekerja kasar, penarik becak sampai pemilik toko. Karena itu, mereka melihat Sambas tetap lebih menjanjikan.
Keinginan pulang ke Sambas juga mereka utarakan kepada Gubernur Imam Utomo yang berkunjung ke Desa Katol Kecamatan Geger, Bangkalan, Kamis (15/4) lalu. Pengungsi tidak mungkin menggantungkan hidup kepada pemda maupun keluarga.
Walaupun pemerintah bersedia menanggung biaya hidup, mereka tetap ingin pulang ke Sambas.
"Delapan anggota keluarga saya tewas saat kerusuhan dan rumah habis terbakar, tetapi tak ada alasan untuk tidak kembali ke Sambas," kata Ibu Nisa (70) sambil menangis tersedu-sedu.
Niat pengungsi itu disambut baik Gubernur Jatim. Kata gubernur, "Saya setuju mereka kembali ke Kalbar, sebab jika bertahan di Madura mereka akan menghadapi persoalan baru yakni ketiadaan lapangan kerja, apalagi di propinsi ini sudah terdapat 1,4 juta penganggur".
Di Kalbar, mereka memiliki harta benda. Pemda Jatim menyiapkan dana khusus untuk upaya relokasi pengungsi ke wilayah Pontianak sesuai rencana pemerintah pusat. Pemda Kalbar tengah menyiapkan barak-barak di sebuah kawasan di Pontianak untuk menampung 9.000 KK.
"Suasana kehidupan Sambas sudah akrab dengan para pengungsi, yang umumnya sudah puluhan tahun tinggal di sana, sehingga dorongan untuk kembali sangat besar," ujar mantan Pangdam V Brawijaya itu.
Sebanyak 6.000 jiwa pengungsi kini dititipkan di rumah-rumah warga Bangkalan. Meskipun keluarga di Madura menerima kehadiran mereka, para pengungsi umumnya mengaku sungkan tinggal berlama-lama dengan keluarga.
"Tidak ada kegiatan, cuma makan dan tidur, itu sangat menyiksa diri," kata seorang ibu yang sudah dua pekan menumpang di rumah saudaranya pemilik bengkel di Bangkalan.
Bagi orang Madura, hidup di Kalbar relatif enak. Asal mau bekerja keras membuka lahan baru dan mematangkannya untuk ditanami, tak ada kesulitan yang berarti. Hamparan tanah masih luas dan tinggal mematok sesuai kemampuan.
"Jika punya modal, seratus hektar tanah bisa digarap oleh satu keluarga tanpa perlu meminta izin. Pokoknya mau bekerja keras dan tidak mengenal putus asa," kata Abdul Latief (45) yang mengaku delapan ekor sapinya dibunuh saat kerusuhan.
PERTIKAIAN etnis di Kalbar sudah pasti menimbulkan trauma. Meski demikian, hal itu tidak juga menghalangi niat orang Madura untuk kembali ke sana.
"Peristiwa keji akan teringat sepanjang masa, tetapi bukan berarti membuat jera. Kami akan datang lagi ke Sambas menengok harta benda yang masih tersisa terutama kebun," kata seorang ibu muda sambil menarik napas panjang.
Mungkin ada rasa dendam? Jawabnya, "Tidak sama sekali, karena saya tak tahu siapa yang membunuh suami dan anak saya. Yang jelas, Sambas merupakan tanah kelahiran yang sangat menjanjikan. Modal agar bisa sukses di perantauan adalah kerja keras dan tidak memusuhi orang. Pandai-pandailah membawa diri. Keringat akan membawa berkah, jika hidup tidak menggantungkan diri kepada orang lain."
Latief punya tekad yang sama. Tuturnya, "Kami ingin pulang kembali ke Sambas, karena Madura sudah sempit dan tak ada lowongan bagi kami yang biasa hidup dari pertanian." (eta)