Pustaka Hidayah
Reformasi Sufistik
PUASA : Syariat dan Tarikat
Oleh Jalaluddin Rakhmat
"Ketahuilah bahwa syariat, tarikat dan hakikat menunjukkan satu kenyataan
yang sama. Hakikat dan ahlinya lebih tinggi dari tarikat dan ahlinya.
Tarikat dan ahlinya lebih tinggi dari syariat dan ahlinya"
Syariat itu tingkat pemula, tarikat itu tingkat menengah dan hakikat tingkat
paling akhir. Penyempurnaan tingkat pertama terletak pada tingkat kedua.
Penyempurnaan tingkat kedua terletak pada tingkat terakhir. Tingkat menengah
tidak dapat dicapai tanpa melalui tingkat pertama dan tingkat terakhir tidak
akan tercapai tanpa tingkat kedua. Maksudnya, adanya tingkat lebih atas
tidak mungkin tanpa adanya tingkat lebih bawah... walaupun yang sebaliknya
mungkin saja terjadi.
Syariat mungkin ada tanpa tarikat, tapi tarikat tidak mungkin ada tanpa
syariat. Begitu pula, tarikat mungkin ada tanpa hakikat, tetapi hakikat
tidak mungkin ada tanpa tarikat dan syariat. Semuanya ini disebabkan karena
yang berikutnya merupakan penyempurnaan dari yang sebelumnya. Karena itu
walaupun tidak ada kontradiksi di antara yang tiga itu, penyempurnaan syariat
hanya dapat dilakukan melalui tarikat; dan penyempurnaan tarikat hanya dapat
dilakukan melalui hakikat. Dengan demikian penyempurnaan dari penyempurnaan
adalah gabungan dari ketiganya.
Dua hal, bila digabungkan bersama, pastilah lebih baik dan lebih sempurna
daripada dua hal yang terpisah.
Dengan tulisan diatas, Sayyid Haydar Amuli, sufi pada abad delapan Hijriah,
berusaha menyadarkan para ulama dizamannya. Melalui bukunya, Jami' al Asrar
(kumpulan rahasia), ia menunjukkan kekeliruan orang orang yang
mempertentangkan ketiganya. Keliru orang yang berpendapat bahwa tarikat
meninggalkan syariat; sama kelirunya juga orang yang merasa cukup dengan
syariat dan meninggalkan tarikat. Ia memberikan penjelasan dengan hadist
nabi SAW. berikut ini.
Pagi pagi Haritsah bertemu dengan nabi saw. Matanya cekung karena kurang
tidur dan perutnya kempes karena kurang makan. Malam harinya ia shalat
malam dan siang harinya ia berpuasa. Rasulullah saw. bertanya kepadanya, "
Hai Haritsah, bagaimana keadaanmu pagi ini?" Haritsah menjawab, "Pagi ini
aku menjadi mukmin sejati". Rasulullah saw. bertanya, "Segala sesuatu ada
hakikatnya. Apa hakikat imanmu?" Ia menjawab, "Aku melihat penghuni surga
saling berkunjung dan penghuni neraka saling meraung. Aku melihat arasy
Tuhanku". Nabi saw. bersabda, "Engkau benar, pertahankan keadaan itu".
Kata Amuli, beriman pada yang ghaib itu syariat; tersingkapnya dan terasanya
situasi surga, neraka dan arasy adalah hakikat; sedang zuhudnya dalam dunia,
kurang tidur dan kurang makannya adalah tarikat. Syara' meliputi semuanya.
Dalam Jami' al Asrar, Amuli menjelaskan semua ibadah Islam dari ketiga
dimensi itu. Shalat dari segi syariat adalah kebaktian kepada Allah
(khidmad), dari segi tarikat pendekatan diri kepada Allah (qurbah), dari
segi hakikat bergabung dengan Allah (alwuslah).
Dari segi syariat, puasa adalah menahan diri dari makan dan minum, dan seks
untuk periode tertentu, yakni sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari.
Inilah puasa yang lazim kita ketahui. Inilah puasa orang awam. Karena itu
kita tidak akan membicarakannya disini. Menurut ahli tarikat, setelah
menyempurnakan puasa secara syariat, kita harus mengendalikan alat indra
kita supaya tidak bertentangan dengan ridha Allah. Ada dua macam alat indra: lahiriah dan batiniah.
Berdasarkan lahiriah ada lima macam puasa.
Pertama, puasa bicara. Disini Anda menahan diri dari bukan saja mengucapkan
kata-kata kotor, kasar atau menyakitkan tetapi dari juga pembicaraan yang
tidak perlu. Al Qur'an mengisahkan seorang perempuan suci. Ia banyak
beribadah di mighrabnya. Allah berfirman kepadanya: Guncangkan batang pohon
kurma itu kearahmu, maka ia akan menjatuhkan kurma yang segar. (QS 19:25).
kemudian Allah menyuruhnya untuk berkata, "...Aku sudah berjanji kepada
Allah yang Mahakasih untuk berpuasa, maka aku tidak akan berbicara hari ini
dengan manusia" (QS. 19:26). Seperti Maryam, melalu puasa bicara, kita akan
memperoleh anugerah ruhaniah yang segar. Karena Maryam diam dengan lidahnya,
nabi Isa a.s. berbicara dengan jelas dalam rahimnya. Bila kita membisakan
diam, kita akan mendengar suara hati nurani kita.
Kedua, puasa melihat. Dengan puasa ini, anda akan menghindar dari hal hal
yang buruk atau pemandangan yang menjauhkan Anda dari ridho Tuhan:
Katakanlah kepada lelaki yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya
dan memelihara kehormatan-nya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka perbuat (QS. 24:30).
Ketiga, puasa mendengarkan. AlQur'an memuji orang yang mendengarkan
pembicaraan dan mengikuti yang terbaik. Tetapi, Al-Qur'an melarang kita
mendengarkan pergunjingan, fitnah, ucapan kotor atau suara suara yang
melalaikan kita dari Allah. Maka celakalah hari itu orang orang yang
mendustakan, yaitu orang orang yang bermain-main dalam pembicaraan yang
batil (QS 52:11-12).
Keempat, puasa penciuman. Islam mengajarkan kita untuk menghindari bau bauan
yang merusak. Dimakruhkan berangkat ke Masjid dengan membawa bau bawang.
Dianjurkan mandi sebelum sholat Jum'at. Pada saat yang sama, Islam juga
melarang kita mengikuti bau parfum yang merangsang imajinasi kita.
Kelima, puasa cita rasa. Disini kita membatasi makanan dan minuman.
.... Makan dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak suka pada orang yang berlebih-lebihan (QS> &:31).Termasuk puasa kelima
ialah kita tidak menyentuh apapun yang dilarang olehNya.
Di atas puasa cita rasa indra lahiriah, ada puasa yang lebih berat: puasa
indra batiniah kita. Disini kita mengendalikan pemikiran, hati dan imajinasi
kita dari segala hal yang mejauhkan kita dari kehadiran Allah SWT.
Betapapun sulitnya, puasa ini baru menyampaikan kita pada puasa dari segi
tarikat. Hakikat puasa masih harus kita jelang.
(Dari Reformasi Sufustik : Jalaluddin Rakhmat - Pustaka Hidayah 1998)
atas