back | |
Serambi DEPAN |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Selasa 25 Mei 1999 |
Kompas |
Bujuk-membujuk alias seni merayu massa dalam kampanye ini, tentu saja lewat berbagai prosedur yang dianggap merefleksikan nilai-nilai demokrasi, entah itu lewat debat, diskusi, pidato terbuka, baik lewat pengumpulan massa, hingga lewat berbagai bentuk penggunaan medium, dari radio, televisi, media cetak, dan sebagainya. Persoalannya, sejarah demokratisasi mencatat, pertumbuhan kebebasan merayu massa dalam kampanye politik, senantisa diiringi pertumbuhan kode etik kampanye.
Maka, sesungguhnya, kematangan demokratisasi Indonesia akan dinilai tidak saja dari hasil kampanye, namun juga pada bulan kampanye ini, berdasar tolok ukur kemampuan para pengkampanye dalam menjunjung tinggi etika berkampanye itu sendiri.
Franklyn Haiman memberi catatan menarik prinsip etika ini dalam relasinya dengan demokratisasi: "Nilai demokratis fundamental yang menjadi landasan pendekatan adalah peningkatan kapasitas manusia untuk bernalar logis." Dengan kata lain, standar etika berkampanye adalah tingkat pilihan bebas secara sadar dalam menggunakan medium hingga teknik, maupun penggunaan bahasa oral, bahasa tubuh maupun visual dalam berkampanye.
SEJARAH etika berkampanye mencatat, beberapa hal yang harus menjadi tolok ukur berkampanye. Menimbang, bahwa seluruh situasi rayu-merayu ini akan hadir di tengah isu publik yang bersifat kompleks dalam jaringan-jaringan nilai yang saling memotong dan saling mempengaruhi demi sesuatu yang baik maupun yang buruk.
Pertama, pengkampanye harus mampu meneliti pesan, alias mampu menyampaikan pengetahuan kita yang menyeluruh tentang pesan atau subyek itu sendiri. Disertai kepekaan pada isu yang relevan dan implikasinya. Artinya, suatu pernyataan berakar dari informasi yang memadai, keberagaman sudut pandang dan pengetahuan akan kekuatan yang potensial. Sehingga pengkampanye selain meraih suara sebanyak-banyaknya, juga mampu membantu masyarakat untuk menimbang bias-bias prasangka dan motivasi. Baik itu prasangka bersifat horisontal agama, etnik, hingga prasangka vertikal berkait dengan kesenjangan ekonomi, dan lain-lain.
Kedua, pengkampanye dilarang menggunakan teknik-teknik yang mempengaruhi penerima dengan menghilangkan proses pikiran sadarnya. Atau juga, menanamkan sugesti atau melakukan penekanan pada pinggiran kesadarannya untuk menghasilkan perilaku otomatis yang tidak reflektif. Alias semi sadar atau tidak sadar. Pada akhirnya, mengembangkan pe-nerimaan tidak kritis.
Ketiga, pengkampanye harus memiliki kesadaran kritis, untuk tidak melakukan suatu pernyataan, ketika risiko pernyataan itu mendorong kekerasan terlalu besar jika dibandingkan dengan tujuan pernyataan tersebut. Di sisi lain, konse-kuensinya, pengkampanye tidak bo-leh melakukan jenis kampanye yang memiliki bentuk sugesti yang bermain pada kehendak tersembunyi, frustrasi, maupun rasa bermusuhan.
Catatan di atas mengisyaratkan bahwa etika rayu-merayu massa adalah, skala antara tujuan meraih massa pemilih sebanyak mungkin, dan di sisi lain, berhadapan dengan prinsip-prinsip nilai etika yang mengandung pengertian benar-salah yang menunjuk pada etika larangan dan kebolehan. Nilai-nilai ini merupakan nilai yang diinternalisasikan, dirasakan secara alamiah oleh sebuah bangsa, dipertahankan serta dikembangkan dialogis oleh kebudayaan bangsa itu dalam menjaga pertumbuhan demo-kratisasinya. Dengan kata lain, nilai ini bukanlah nilai yang statis, namun terbuka lewat pilihan bebas dengah tolok ukur kesadaran kritis.
Pada giliranya, prinsip etika ini akan menjadi nilai kontrol terhadap oportunitas individual ataupun golongan ataupun partai yang ingin meraih kemenangan dengan menghalalkan segala cara. Atau juga menjadi nilai kontrol bagi pengkampanye yang memandang rendah obyek dan mementingkan efek murni pada masyarakat. Atau juga, nilai kontrol untuk para pengkampanye yang mengorbankan substansi berbangsa demi ke-pribadian dan pesona.
Persoalannya, prinsip-prinsip etika berkampanye ini, pada bulan kampanye ini, akan senantiasa dihadapkan dengan isu publik dalam harapan kedamaian, pada satu sisi. Di sisi lain, isu publik tentang kekerasan disertai guncangan serta hancurnya panduan berbangsa baik oleh hukum, alat keamanan, maupun kepemimpinan. Sebutlah, yang paling aktual, bentrokan antarpartai, kasus Ciamis, dan sebagainya.
Yang harus dicatat, isu publik ini disertai berbagai metode rayu-merayu dalam perspektif permainan politik yang sudah melewati batas-batas kemanusiaan itu sendiri. Yang melahirkan berbagai bentuk pengadilan jalanan, teror, dan pembantaian.
Sehubungan dengan hal itu, S Jack Odell dengan tegas mengatakan: "Prinsip-prinsip etika adalah prasyarat wajib bagi keberhasilan keberadaan sebuah komunitas sosial. Tanpa prinsip etika, mustahil manusia bisa hidup harmonis."
Bisa dimaklumi, sekiranya masyarakat merasa khawatir, tidak pasti maupun ketakutan terhadap situasi kampanye. Bisa diduga, karena masyarakat melihat, merasa, dan menduga bahwa prinsip etika berkampanye belum dikonsumsi meluas kepada pengkampanye, anggota partai ataupun ke warga masyarakat itu sendiri. Padahal, pensosialisasian etika berkampanye, tidak saja pada pengkampanye, tetapi pada warga masyarakat, membantu rasa percaya masyarakat, sekaligus suatu cara untuk mengajak masyarakat terlibat secara kritis menumbuhkan kampanye yang demokratis.
Pada akhirnya, kesemuanya itu, lalu menuntut kapasitas pengkampanye. Yakni, pengkampanye yang "dapat menjawab". Dengan kata lain, menuntut kapasitas pengkampanye yang memiliki personalitas kepemimpinan, keahlian, kompetensi, pengetahuan, sifat dapat dipercaya, ketulusan, kewaspadaan, dan perhatian pada khalayak. Yang lalu harus mendapat catatan tersendiri, sesungguhnya, periode bulan kampanye ini adalah sebuah persemaian untuk lahirnya kepemimpinan. Alias sebuah tempat pendadaran untuk lahirnya para negarawan yang mampu menjawab tuntutan demokrasi.
SEJARAH demokratisasi mencatat bahwa berbagai bentuk pelaksanaan pemerintahan seperti yang dilakukan semasa Orba, yakni dilaksanakan dengan cara kekerasan dan manipulasi akan menghasilkan masyarakat yang rentan dan mudah dipengaruhi situasi rayu-merayu. Hal itu dikarenakan, masyarakat terbiasa dibujuk untuk menerima alasan yang buruk atau kekeliruan fakta (lewat kekerasan dan berbagai bentuk penekanan serta manipulasi) untuk mendukung sebuah kesimpulan. Pada waktu yang sama, masyarakat tersebut menderita pengaruh yang merugikan karena terbiasa kepada pembelaan yang keliru, akhirnya masyarakat sebagai pendengar bertumbuh menjadi masyarakat yang rentan.
Pada gilirannya, rentan pula terhadap berbagai hasutan yang dilakukan dengan maksud buruk. Pada akhirnya, masyarakat akan menuju pada disintegrasi serta kemunduran yang dipenuhi kekerasan.
Oleh karena itu, para pengkampanye yang mengingkari atau mengkhianati prinsip-prinsip etika berkampanye, tidak lebih mengulang kesalahan Orde Baru. Konsekuensinya, para pengkampanye hendaknya senantiasa melakukan kesadaran kritis terhadap seluruh unsur yang dikampanyekan dan biasnya. Tidak saja kesadaran kritis terhadap isi, bentuk serta konteks, bahkan juga terhadap unsur terkecil.
Sebutlah, "sebuah kata" yang diucapkan ataupun ditulis, atau juga divisualisasikan.
Dag Hammarskjold, mantan Sekjen PBB, menulis: "Menyalahgunakan kata, berarti memperlihatkan penghinaan terhadap manusia. Itu meruntuhkan jembatan dan meracuni sumber air. Menyebabkan manusia terjerambab jatuh dari jalan evolusinya!"
(Garin Nugroho, pengamat budaya, alumni FHUI dan Fak Film TV-IK.)