back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
NO.07 TAHUN III 2 Juni 1999 |
PANJI MASYARAKAT |
Suku Madura di Tanah Impian
Sudah hampir dua bulan kerusuhan etnis antara suku Madura dan Dayak di Kalimantan Barat berlangsung. Belum diketahui bagaimana penyelesaiannya. Proses relokasi masih menemui banyak hambatan, sementara prospek persandingan mereka secara damai di masa mendatang juga masih kabur. Rona kali ini mencoba memotret realita sosial orang Madura di Sambas. Pahrian G. Siregar, koresponden Panji di Pontianak, menghadirkan penelusurannya ihwal orang Madura di Sambas, dilengkapi hasil pengamatan fotografer Panji A. Satari di tempat-tempat penampungan, dan wawancara wartawan Panji Iqbal Setyarso dengan tokoh Madura di Jakarta.
Stadion sepakbola Pontianak. Para pengungsi Madura itu tampak "berserakan"--tak ubahnya barang-barang jamaah haji di embarkasi. Tak ada tenda. Untuk menghindari sinar matahari dan kemungkinan air hujan, mereka menempati tribun tempat duduk penonton (terbuat dari semen) yang beratap dan di bawah tirisan di emperan luar stadion. Sebagai alas, mereka gelar tikar--tanpa kasur.
Memasuki "rumah-rumah" mereka beberapa pekan lalu, Panji segera disergap bau tak sedap. Ini mungkin dari bau makanan yang tercecer, berbaur dengan bau keringat dan pakaian mereka. Maklum, pasokan air dari PDAM tak mencukupi, sementara banyak dari mereka yang tak membawa pakaian ganti.
Siang itu mereka duduk-duduk sambil bercengkerama atau tiduran, menunggu waktu makan siang. Ada pula yang mencuci pakaian di beberapa fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) yang dibikin di tengah lapangan dari triplek. Sebagian lagi mengipasi anggota keluarga yang sedang sakit. Tinggal di tempat terbuka seperti itu, dengan sanitasi yang buruk, membuat penyakit setia mengunjungi mereka. Apalagi orang Madura sudah terbiasa tidur dengan bertelanjang dada.
Memang, tidak semua pengungsi menampakkan wajah sedih. Lihatlah anak-anak itu. Begitu ceria mereka. Bermain main layang-layang, main dorong-dorong ban mobil, atau membantu orangtua mereka mencari kayu bakar. Mungkin akal kekanakan mereka tak mampu merasakan penderitaan yang dialami orangtuanya. Banyak dari pengungsi yang memasak sendiri, dengan kayu bakar atau kompor. Terutama yang punya anak kecil. Anak-anak kecil kan tidak tahan menunggu makan sampai pukul 14.00. Tapi, tidak semua pengungsi keadaannya mengenaskan seperti itu. Yang ditempatkan di asrama haji masih lebih beruntung. Di sana ada ranjang dan kasur, ada pula posko kesehatan yang dibuat mahasiswa.
Begitu pula yang ditampung di Wajo. Di daerah ini didirikan sekitar 17 barak dari triplek, masing-masing dihuni 200 orang. Yang di stadion tertutup juga bisa dikatakan lebih beruntung karena mereka bisa terhindar dari tusukan angin malam, terik matahari atau tempias air hujan. Namun, alamak, betapa pengapnya tempat ini. Maklum, jumlah pengungsi jauh lebih banyak melebihi daya tampung. Dan, baunya, wow! lebih menyengat dari yang di stadion.
Kembali ke stadion terbuka tadi. Akhirnya, pada pukul 13.00, yang mereka tunggu-tunggu datang juga. Tak lain adalah mobil pikap pengangkut makanan milik Depsos. Serentak para kepala keluarga berbaris, membawa apa saja untuk mewadahi makanan: ember, panci atau lainnya. Selanjutnya adalah pemandangan makan siang yang, celakanya, di situ pun menunjukkan "perbedaan kelas". Yang sudah mendapat pembagian piring bisa membagi makanan jatah itu ke dalam piring. Tapi, bagi yang belum beruntung, ya terpaksa mengeroyok makanan di satu wadah.
Itulah pemandangan dari sisa-sisa kerusuhan antaretnis di Sambas yang pecah hampir dua bulan lalu. Mereka yang masih berpeluk derita itu adalah orang-orang yang belum sanggup hengkang ke Madura. Yang masih ada di pos pengungsian kebanyakan sudah tak punya tanah atau sanak keluarga di Madura. Karena memang mereka lahir dan besar di Kalimantan Barat.
Tak sedikit yang mencari rumah kontrakan dan melibatkan diri dalam kegiatan informal di sekitar kota Pontianak. Namun yang lain, yang belum bisa mandiri, terpaksa mengemis di pasar-pasar. Tak sedikit pula yang sudah berikhtiar mencari penghidupan secara layak, di dalam ataupun di luar penampungan. Barak-barak di Wajo, misalnya, dibangun dengan menggunakan tenaga para pengungsi sendiri yang dibayar harian. "Banyak di antara kawan-kawan saya yang bekerja bangunan atau proyek padat karya. Ada beberapa orang teman wanita yang diambil jadi pembantu oleh keluarga," tutur Edo, ketua Resah (Remaja Asrama Haji) Pontianak. Kegiatan ini harus dilakukan karena hanya pasokan bahan makanan dari Depsos yang tetap rutin mengalir, sedangkan sumbangan donatur yang pada awal-awal gelombang eksodus lumayan besar, makin hari makin menipis.
Manusia Ulet. Para pengungsi ini mungkin tak pernah menyangka bakal mengalami nasib seperti itu. Semua milik mereka tercerabut: rumah, harta benda, lahan pertanian, binatang ternak, bahkan juga banyak anggota keluarga. H. Ismail, misalnya, terpaksa meninggalkan rumah seluas 250 meter persegi berikut segala isinya, kebun seluas 30 borong, dan puluhan sapi, hasil jerih payahnya selama hampir 50 tahun. "Kini semua sudah habis hanya tinggal sehelai baju di badan. Serban ini saya peroleh dari warga di sini," tuturnya di penampungan asrama haji Pontianak.
Sejarah etnis Madura di Kalimantan Barat adalah sejarah sukses orang perantauan. "Pendatang yang sukses biasanya lebih makmur daripada penduduk asli. Ini berlaku bagi pendatang dari mana saja. Apakah itu Madura, Cina, Arab atau India," tulis Amir Santoso, dosen UI Jakarta yang berdarah Madura. Tentu saja tidak semua orang Madura di Kalbar sukses. Ada pula yang menjadi preman, seperti halnya kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Yang pasti, orang Madura dikenal sebagai suku perantau, seperti halnya orang Minang, Bugis, dan suku perantau lainnya. Mungkin didorong oleh keadaan geologis Pulau Madura yang gersang, mereka juga dikenal memiliki etos kerja dan ulet dalam berusaha. Sebagai pekerja, mereka dikenal patuh, mau bekerja keras, dan tak banyak protes. Setidaknya, begitulah kira-kira persepsi pemerintah kolonial Belanda dulu. Itu sebabnya mereka dipilih untuk dipekerjakan di perkebunan di banyak tempat. Begitulah yang terjadi di Kalbar pada sekitar 1902. Waktu itu banyak dari mereka yang dikirim ke sana sebagai kuli kontrak di perkebunan dalam perdagangan budak yang terselubung. Itulah titik awal sejarah keberadaan etnis Madura di Kalimantan Barat.
Gelombang migrasi terjadi lagi pada 1930-an. Menurut catatan Grader yang dikutip Biljmer, kala itu terjadi penjualan tenaga (etnis Madura) ke Kalbar dan Kalsel (Martapura). Karena banyak orang Madura yang berhasil di daerah baru, ditambah transportasi makin lancar, kian banyak saja orang Madura yang hijrah ke "daerah impian" itu pada 1950-an.
Sejak saat itu, dari tahun ke tahun arus migrasi makin besar, lebih-lebih pada masa Orde Baru. "Kebanyakan yang datang ke Kalbar adalah orang-orang dari Bangkalan, sisanya dari Sampang. Walau di beberapa tempat kita jumpai pula orang Madura lainnya," ujar Drs. Abdus Syukur, pemuka masyarakat Madura Kalbar dan wakil ketua PWNU Kalbar. Mereka berangkat menggunakan kapal kayu dari Pelabuhan Telaga Biru, Bangkalan.
H. Ismail termasuk yang datang pada 1950-an bersama kawan-kawan sebayanya dengan perahu kayu. Di tempat baru ini kerja kasar macam apa pun dilakoninya. Mulai dari menggali parit, membuka hutan, memecah batu sampai mencangkul. Hasil kerja kasarnya itu dia tabung, lalu dibelikan sapi, hingga bisa menunaikan ibadah haji pada 1992. "Lima ekor sapi untuk membiayai keberangkatan, lima ekor untuk selamatan," jelas H. Ismail. Dari sapi-sapi itu pula ia kemudian berhasil membangun rumah dan membeli perkebunan.
Berbagai lapangan kerja memang digeluti oleh para pendatang baru ini. Di pedesaan kebanyakan bertani, plus memelihara sapi sebagai tambahan pendapatan. Ada pula yang bekerja sebagai penambang emas, penebang kayu, dan pemecah batu. Sementara yang di kota, sebagian besar bekerja di sektor informal seperti menjadi penarik becak, pengayuh sampan, sopir oplet, pemulung sampai penjual sate.
Sejarah Konflik. Di samping sifat-sifat positif tadi, mereka juga memiliki beberapa kelemahan, khususnya dalam hal watak yang cenderung temperamental. Mereka juga sangat teguh memegang prinsip dan tradisi, dalam bentuknya yang positif ataupun negatif--meski bukannya mereka sama sekali tak mau berbaur dengan budaya setempat. Gara-gara hal sepele mereka bisa langsung angkat senjata, terutama kalau menyangkut kehormatan diri. Hal ini tak terlepas dari pandangan hidup orang Madura, ango’an potea tolang, e tembhang pote mata (lebih baik berputih tulang daripada berputih mata), yang maksudnya mereka lebih baik mati daripada terhina. Kondisi alam dan topografi di Kalbar yang tidak bersahabat telah menempa mereka menjadi kian tangguh, ulet, pantang menyerah, juga keras. Kebetulan, di Kalbar ini berdiam pula suku Dayak yang dikenal keras.
Benturan pun acap terjadi di antara mereka. Yang tertua terjadi di Sukadana, Kabupaten Ketapang, pada 1933. Kejadiannya bermula ketika 25 orang Madura yang akan diperdagangkan sebagai tenaga kerja "memberontak" pada juragan perahu yang akan menjualnya. Atas bantuan etnis Dayak, migran Madura dapat ditangkap kembali. Sebagai tanda terima kasih dan perikatan persaudaraan, seorang gadis Madura dikawini orang Dayak setempat.
Tapi kemudian konflik demi konflik terjadi lagi, setidaknya hingga 10 kali. Ini menurut sebagian pengamat, karena proses sosialisasi berjalan tak sesuai harapan. Pada pola hubungan Melayu-Dayak, terdapat banyak konflik kecil tetapi tidak pernah sampai memuncak. "Ini bisa diselesaikan melalui pengungkapan kembali tradisi lisan atau cerita rakyat yang menyatakan sesungguhnya mereka bersaudara," tutur Stephanus Djuweng, direktur IDRD/Dayakologi. Kondisi serupa juga ditemui pada potensi konflik lainnya seperti Dayak-Cina, Melayu-Cina, Melayu-Jawa, atau Dayak-Jawa.
Tradisi lisan maupun cerita rakyat yang mempertautkan Madura dan Dayak belum terbangun. Ini karena hadirnya masyarakat Madura di Kalbar pada umumnya relatif baru. Pada 1902-an di Kalbar sudah masuk budaya tulis. Akibatnya, orang tidak sempat merekonstruksi cerita rakyat yang menghubungkan masyarakat Madura dan etnis lainnya," ucap Djuweng. Karena itu, kalau terjadi benturan horisontal, secara kultural belum ada "titik kembali".
Sebenarnya, mayoritas penduduk Sambas adalah suku Melayu (49,1). Sementara Dayak termasuk minoritas meski minoritas terbesar (19,86%). Toh, bisa dikatakan, pada konflik terbuka antara etnis Madura--yang merupakan kelompok minoritas sangat kecil (jauh di bawah jumlah Cina yang 17,73%)--dan etnis Melayu--pada kerusuhan dua bulan lalu--hanya sejumlah kecil orang Melayu yang ikut terlarut. Mungkinkah ini dikarenakan di antara mereka ada pertautan agama? Sama-sama muslim? Bisa jadi. Paling tidak, di antara kedua etnis ini proses asimilasi tidak mengalami hambatan (lihat boks). Sudah cukup banyak pemuda Madura yang mempersunting gadis Melayu atau sebaliknya dan tak ada masalah.
Jadi, bagaimana hubungan Madura-Dayak? Djuweng punya resep: "Perlu dilakukan dialog di tingkat yang paling bawah sehingga terjadi perangkaian kotak-kotak budaya demi terciptanya saling pengertian tanpa mengubah budaya dasar mereka."
Komposisi Etnis Madura di Kalbar |
|
Sumber: Data olahan dari berbagai sumber |
Komposisi Etnis Madura di Sambas |
|
Sumber: Data olahan dari berbagai sumber |
Yang Berjaya, yang Teruji
Di mana ada gula, ke situ semut datang. Melihat banyak pengusaha Madura yang sukses di Kalimantan Barat, berbondong-bondong transmigran swakarsa asal pulau garam ini datang ke sana.
Memang cukup banyak nama yang bisa disebut sebagai pengusaha sukses asal Madura. Di antaranya, si bandar sapi H Amat di Tebas, si bandar lelong (pakaian bekas dari Malaysia dan Singapura) Ramli dan H Tamoi, pedagang mobil bekas H Nawawi, dan kontraktor H Hamidin. Namun, umumnya mereka sudah meninggalkan Kalbar untuk mencari peruntungan di tempat lain setelah kerusuhan.
H Hamidin, salah seorang yang masih bertahan, adalah pemilik dan komisaris utama satu-satunya perusahaan kontraktor ber-DRM A di Kabupaten Sambas. Sampai remaja ia masih tinggal di desa kelahirannya, Kokop, Bangkalan. Perkenalan dengan Sambas dimulai pada 1955. Kala itu ia menjadi awak kapal layar yang mengangkut sapi dari Madura ke Sambas.
Rupanya, pulang pergi ke Sambas membuat hatinya terpikat pula dan ia memutuskan untuk berdomisili di sana pada 1965. Mula-mula dia merintis usaha perdagangan sapi antarpulau. Karena keuletannya mencari sapi dari kampung ke kampung, ekonominya menguat. Pada 1972 ia menunaikan ibadah haji.
Pulang berhaji ia banting setir karena bisnis sapi melemah gara-gara pelayaran dengan kapal layar sudah bukan zamannya lagi. Transportasi dengan sarana perhubungan laut yang lebih modern mulai menggusur usaha perdagangan sapi yang ditekuninya. Hamidin lalu bergiat di jalur jasa konstruksi. Selama melakukan usaha ini, ia tidak segan-segan turun sendiri melakukan pengawasan ke lapangan.
Ia mengawali bisnis jasa konstruksi dengan empat orang pekerja. Jangan menduga para pekerjanya semua etnis Madura. Ada yang dari Semarang, Surabaya, dan Melayu Sambas. Meski ia hanya lulusan SD, ada pula bawahannya yang sarjana.
Tapi kejayaan itu disaput peristiwa bentrokan etnis dua bulan lalu. Kerugian material yang diderita Hamidin lebih dari dua miliar rupiah. Empat rumahnya habis dirusak massa, dua truknya ludes terbakar, lima motor dan 20 ekor sapinya raib tak ketahuan rimba. Kerugian terbesar yang dirasakan adalah terbakarnya rumah kebanggaan Hamidin sekeluarga. Rumah itu seluas hampir 1.000 meter, bertingkat dua, dengan delapan unit kamar yang salah satunya ruang rapat, berlantai marmer dan berisikan perabot luks.
"Ini musibah. Harta hanyalah titipan. Jadi bergantung pada Yang Di Atas saja," tutur dia. Hatinya tak tergerak untuk kembali ke Sambas meskipun beberapa hartanya masih tertinggal di sana. Misalnya tanah seluas empat hektare, lima unit truk, dan peralatan pembuatan jalan. Kini ia mengontrak rumah di Pontianak seharga Rp8 juta untuk dua tahun dan mencoba mengalihkan pusat kegiatannya ke Pontianak.
Kisah-Kisah Anak Manusia
Perkawinan campur antara etnis Madura dan Melayu sebenarnya sudah cukup lazim. Perkawinan ada kalanya dilangsungkan dengan adat Madura, ada kalanya dengan adat Melayu. Sementara perkawinan antara Madura dan Cina juga ada meski sedikit. Lalu dengan etnis Dayak nyaris tidak ada karena hambatan agama: Madura muslim, Dayak umumnya kristiani. Berikut adalah pasangan berlainan darah yang ditemui Panji di pos penampungan Pontianak.
Salam dan Maryani. Salam berdarah Madura meski tidak 100%. Maryani berdarah Melayu 100%. Tapi mereka bisa bertemu di pelaminan dan kini bersatu di pos penampungan, menitip nasib yang sama. Menikah pada 1981, mereka dikaruniai empat orang anak.
Salam lahir di Sambas dari ayah Madura dan ibu Sambas. Mereka berasal dari kampung yang sama dan melakukan pernikahan dengan adat Melayu. Kendati punya darah Madura, Salam belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di Pulau Madura. Pekerjaan sehari-harinya bertani padi. Saat kerusuhan, ia masih untung, sang istrinya masih bisa pulang-balik ke kampung sehingga hasil panen musim lalu masih dapat diselamatkan, kendati rumah dan harta benda mereka musnah dilalap api.
Idang dan Yawilah. Kisah mereka diawali saat Yawilah, gadis Melayu tulen, mengunjungi rumah neneknya di Tebas. Rumah Idang, pria peranakan Madura-Melayu, tak jauh dari rumah nenek Yawilah. Mereka kerap bersua, bertatapan, dan akhirnya berkenalan. Pada kunjungan Yawilah yang kedua, benih-benih cinta mulai tumbuh. Akhirnya, dengan restu keluarga kedua pihak, bersandinglah kedua pasangan ini dalam pernikahan adat Melayu.
Setelah menikah, mereka pindah ke Bentunai untuk bertani, tak jauh dari rumah orangtua Yawilah. Setelah hampir 13 tahun perkawinan mereka, pasangan ini dikaruniai tiga orang anak. Dilihat dari penampilannya, orang takkan mengira Idang berdarah Madura. Tampang dan tingkah laku Idang sudah tak lagi terlihat kemaduraannya. Maklum saja, sedari kanak-kanak ia hidup di perkampungan Melayu dan sehari-harinya selalu berbahasa Melayu. "Entah, orang-orang dari mana saja yang datang membakar rumah kami. Tapi yang pasti bukan orang sekampung. Saya dan mereka sudah sangat akrab, sudah seperti keluarga," jelasnya dalam logat Melayu Sambas yang kental.
Mahmud dan Nurmiah. Mahmud lahir dari pasangan orang Madura asli di Pemangkat. Ia bekerja sebagai sopir truk pertambangan emas di Samalantan. Nurmiah, gadis Melayu, bekerja di tempat yang sama sebagai tukang masak. Seringnya perjumpaan menyemaikan bibit cinta antara keduanya. Akhirnya mereka resmi menikah dengan perayaan adat Melayu.
Pasangan ini kemudian mencari kehidupan baru. Mahmud bekerja sebagai petani PIR di perkebunan PTP XIII Samalantan. Sampai kemudian terjadilah prahara itu. Pengungsian kali ini adalah yang kedua kalinya bagi mereka. Pada 1996 lalu mereka juga mengalami kejadian serupa. "Saya sudah jera untuk kembali ke sana. Belum sempat bernafas kami sudah harus kehilangan segalanya lagi," keluh bapak seorang anak yang tidak dapat berbahasa Madura ini. "Saya dan beberapa kawan sudah menghadap Kakanwil Depsos untuk minta agar direlokasikan saja. Kita sudah letih hanya berdiam di penampungan saja, " ujar Mahmud.
Rahman dan Asnawati. Rahman mengaku dalam dirinya mengalir darah berbagai etnis yang pangtongpang (tumpang tindih). Bapaknya Cina yang masuk Islam saat menikah dengan ibunya yang Melayu. Dia menikahi Asnawati, gadis Madura, dan kini dikaruniai empat anak.
Pertemuan mereka tergolong unik. Rahman seperti kebanyakan orang Cina memilih profesi sebagai pedagang. Ia berdagang buah-buahan di pasar Pemangkat. Tak jauh dari tempat mangkalnya terdapat warung nasi, tempat Asnawati membantu kakaknya. Sang kakak ini pulalah yang membawa Asnawati merantau ke Kalimantan Barat. Dari hubungan bisnis, akhirnya hubungan mereka bergeser ke hubungan percintaan. Pada 1974, dalam adat Madura mereka melangsungkan pernikahan. Walaupun berdagang di Pemangkat, Mahmud membangun rumah di Desa Sungai Pangkalan.
Malang tak dapat ditolak, pada kerusuhan Dayak-Madura 1992, rumah yang dibangun dengan susah payah habis dibakar massa. Tapi Rahman tetap tabah dan mencoba menata kembali kehidupannya. Ia pindah dan membangun rumah di Pemangkat yang berada di perkampungan Madura. Pada awal tahun ini, berkat kegigihannya ia berhasil membangun rumah lagi di bekas tanahnya yang terbakar. "Saya lebih dekat dengan Madura daripada Melayu karena tinggal di perkampungan Madura," ujar pria yang menguasai bahasa Madura, Melayu, Sambas, dan Cina ini. "Tanah yang saya miliki kebetulan saja bertetangga dengan perkampungan Madura."
Islam dan Etnis Madura
Orang Madura umumnya sangat fanatik pada Islam. Mereka tak segan mengorbankan jiwa untuk Islam, meski tidak seluruhnya, seperti halnya kelompok etnis lainnya, taat menjalankan agama. Fanatisme kepada kiai panutan dan NU juga umumnya kuat, termasuk di kalangan yang preman sekalipun.
Tidak diketahui secara pasti, bagaimana pengamalan agama mereka ketika pertama kali dibawa ke Kalimantan Barat pada awal abad ini. Tapi kita menduga tak ada masalah. Bukankah tanah baru mereka itu tidak asing dengan agama ini? Bukankah orang Melayu sudah diislamkan sebelum kedatangan Belanda?
Memang ada masalah. Di Sambas, misalnya, selama bertahun-tahun tak kunjung muncul tokoh Islam Melayu di tingkat lokal yang mengakar di kalangan migran Madura. Padahal kiai bagi masyarakat Madura merupakan kebutuhan. Mereka belum merasa mantap melakukan berbagai aktivitas keislaman tanpa kiai.
Bukannya mereka tak emoh pada kiai berlainan suku. Di Martapura (Kalsel), misalnya, ada seorang kiai yang kharismatik, KH Zaini Rani. Dia ini kiai asli Banjar, tetapi karismanya mampu menarik penghormatan dari sebagian besar pemukim Madura di sana.
Sekian lama tak terjumpai kiai panutan di rantau, akhirnya mereka kembali memigurkan ulama-ulama di daerah asalnya di Madura. Baru pada awal 1980-an berdatangan banyak santri asal Madura. Mulailah pendirian sarana ibadah di lingkungan komunitas Madura.
Seperti halnya penganut NU yang fanatik, dalam kehidupan keseharian migran Madura di Sambas, mereka masih melaksanakan beberapa ritual khas seperti barzanji, tahlian, dan maulidan. Pola-pola pesantren dalam pendidikan keagamaan juga sangat mewarnai mereka. Di pedalaman kita masih menjumpai pesantren kecil yang para ustadznya biasanya lulusan pesantren di Madura atau pesantren yang dikelola oleh kiai Madura di Kalimantan Barat.
Kebiasaan migran Madura mendirikan masjid atau surau secara besar-besaran ini menimbulkan kesan eksklusif. Sebenarnya ini lebih didasari permasalahan khilafiah. "Masyarakat Melayu umumnya salat tarawih sebelas raka’at, sedangkan kebanyakan masyarakat Madura, seperti kebiasaan di kampung asalnya, mengerjakan salat tarawih 23 raka’at. Ini motivasi mereka membangun surau agar bisa tetap melanjutkan tradisi itu," tutur Abdus Syukur.
Tapi sebenarnya ini perlu diteliti lebih jauh. Dari penelusuran di lapangan, diperoleh temuan lainnya seputar muslim Madura. Sebagian migran Madura ini menganut tarikat Naqsabandiyah Mudhoriyah yang disebarkan Habib Amin Al Hinduan di Pondok Pesantren Mukarimul Akhlak. Ini proses baru yang menambah warna keagamaan di Sambas. Menurut sejarahnya, Sambas merupakan pusat penyebaran tarikat Naqsabandiyah Qodiriyah dengan dua tokoh besarnya Syekh Khatib Sambas dan Maharaja Imam. Jadi, antara etnis Melayu di Sambas sebenarnya dulu memiliki aliran keagamaan yang sama dengan etnis Madura meski mereka mungkin bukan orang NU.